Jumat, 16 Januari 2015

Agar Suami Istri Makin Mesra

Berhubungan intim dengan suami atau istri tak hanya menyalurkan hasrat seksual. Lebih jaun lagi membangun hubungan emosional yang dalam. Bahkan ikatan tersebut bisa menjadi salah satu faktor pendukung untuk mencapai kepuasan.

Dr Wei Siang Yu menyebutkan bahwa secara mental pasangan tersebut harus dalam kondisi rileks dan memiliki rangsangan atau stimulasi psikologis untuk satu sama lain. ''Ikatan emosional pasangan harus kuat,'' ujar dokter yang banyak berpraktik di dunia maya melalui situs www.loveairways.com yang dikelolanya.

Lebih lanjut Wei menjelaskan bahwa hubungan emosional tersebut mampu memengaruhi proses fisiologis dan psikologis pada tubuh manusia. Sebagai contoh, ketika seorang wanita dalam kondisi stres karena tekanan pekerjaan atau tekanan dalam rumah tangga.

Saat stres siklus hormon wanita tersebut melambat sehingga akan mengubah waktu dan irama jalinan hubungan antara dia dengan suaminya. ''Demikian pula halnya dengan pria, ketika pria stres, proses ereksi akan terganggu yang tentunya memengaruhi proses hubungan seksual pasangan tersebut,'' ujar lulusan terbaik Monash University ini.

Selain kepuasan seksual yang berkaitan dengan posisi vagina, lebar pelvis, dan kelengkungan tulang belakang, Wei menyarankan kepada pasangan untuk tidak memiliki masalah-masalah sosial seperti masalah keuangan, stres pekerjaan ataupun orang ketiga. ''Karena hal ini yang bisa membuat kualitas orgasme dan keintiman menjadi berkurang,'' katanya.

Sementara itu menurut Dr Anita Gunawan MS, hubungan emosional yang terjalin baik itu juga termasuk adanya komunikasi yang lancar antara pasangan suami istri. Ditambah lagi dengan perlakuan kepada masing-masing pasangan. Pengalaman buruk dalam hal seksualitas bisa mengakibatkan trauma yang nantinya bisa mengurangi kualitas keintiman. ''Dengan komunikasi yang baik sang istri tidak akan merasa diperkosa ketika sedang berhubungan intim,'' ungkapnya.



֎֎֎

Awas, Ini Dia Godaan untuk Keluarga

Membina keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, keluarga yang harmonis, yang dilandasi dengan penuh cinta dan kasih sayang, merupakan dambaan semua umat Islam di dunia. Sebab, dari keluarga sakinah akan lahir generasi yang baik dan sholeh. Allah swt dengan tegas mengingatkan dalam firmannya pada Alquran surat

Ar-Ruum (30) ayat 21, ''Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian, itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.''
Untuk membina keluarga yang sakinah, menurut ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat KH Harfidz Usman, sekarang ini memang bukanlah hal mudah. Hal itu, kata ulama asal Menes Banten ini, karena godaan kehidupan dunia yang dihadapi masyarakat sekarang ini cenderung begitu beragam. ''Sekarang ini, godaan demi godaan terus menghantui kita. Dari godaan yang kita lihat secara nyata di depan mata, atau pun godaan secara visual di televisi. Secara umum diakui, orang yang paling mudah tergoda adalah perempuan,'' tandas kyai Hafidz.

Keharmonisan keluarga, sambung Kiai Hafidz, kadang terganggu oleh hal-hal yang sepele. Semisalnya adanya komunikasi yang kurang baik antara suami dan istri. ''Gesekan seperti ini sering terjadi dalam sebuah rumah tangga. Hanya, karena tidak ada komunikasi yang baik, atau sebaliknya, di antara kedua belah pihak antara suami dan istri, tidak mampu meredam emosi sehingga terlontar komunikasi dan kata-kata yang kasar, sangat berdampak buruk terhadap keluarga mereka terutama anak-anak mereka,'' ia mengingatkan.

Karena itu, Kiai Hafidz Usman menyodorkan cara yang efektif untuk menjaga keutuhan sebuah keluarga. ''Cara yang efektif untuk menjaga keutuhan keluarga adalah dengan menyelenggarakan shalat berjamaah, walaupun tidak mesti harus setiap waktu. Dengan adanya shalat berjamaah di dalam rumah tangga atau juga diisi makan bersama keluarga di dalam rumah tangga, keharmonisasn yang tercipta. Suami yang menjadi imam, istri dan anak yang menjadi makmum, akan timbul rasa kebersamaan yang tinggi. Shalat berjamaah merupakan tonggak membikin keluarga harmonis,'' ujarnya.

Pimpinan Pesantren Arafah Ciawi Bogor KH Anwar Sanusi mengungkapkan setidaknya ada tiga pondasi utama untuk membangun keluarga sakinah. Pertama qaulun ma'rufun (saling bicara baik). Hendaknya, dalam rumah tangga tercipta sebuah komunikasi, adanya pembicaraan yang baik antara suami dan istri, antara ayah, ibu dan anak. Suami tak pernah bertutur kata kasar kepada istri dan anaknya, istri tak pernah mengeluarkan kata-kata yang kasar kepada suami dan anak, begitu pun anak tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang menyakiti kedua orang tuanya. Kondisi inilah yang membangun keluarga sakinah.

Pondasi kedua, adalah ta'muruna bil ma'ruf yakni selalu berusaha mengajak kepada kebaikan. “Suami selalu mengajak istri dan anaknya kepada hal-hal yang baik. Istri selalu cenderung untuk berbuat baik dan anak pun demikian,” tambahnya.


Pondasi ketiga adalah mu'syarah bil ma'ruf yakni saling berhubungan yang baik antara anggota rumah tangga. Jika ketiga fondasi ini bisa dilaksanakan dengan baik, insya Allah keharmonisan keluarga akan tercipta di setiap rumah tangga umat Islam,'' tandas kyai Anwar Sanusi seraya menambahkan, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana seorang ibu benar-benar menjadi tauladan dalam rumah tangga.

Ia lalu mengutip pernyataan seorang ulama terkemuka asal Mesir yang mengatakan Al-Ummu madrasatun, idzaa a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal a'raq (Ibu itu bagaikan sekolah. Apabila dipersiapkan/dididik dengan baik, ia akan melahirkan generasi yang baik.. Kyai Sanusi sangat menyayangkan fakta menyebutkan 60 persen perceraian yang terjadi belakangan ini, atas inisiatif perempuan. ''Begitu perempuan memiliki karir dan ekonomi yang mapan, kadang merasa lebih dari suaminya. Lihat, bagaimana Khadijah kaya dan terkemuka, namun ia juga memiliki keimanan yang sangat tinggi, sangat patuh kepada sang suami,'' ujarnya.


֎֎֎


RAHASIA KEHARMONISAN RUMAH TANGGA..

Nasehat Untuk Para Isteri;
Lelaki Adalah Lelaki..
Laki-laki itu, siapapun dia, setinggi apapun ilmu dan kedudukannya tetap saja dia adalah lelaki yang tidak lain hanyalah;
‘Anak Kecil Bertubuh Besar [Thiflun Kabir]’.
Cara memahami laki-laki itu sama persis dengan cara memahami anak kecil.


Nasehat Untuk Para Suami;
Wanita Adalah Wanita..
Siapapun dia, setinggi apapun ilmu dan kedudukannya tetap saja dia adalah wanita, yang suka disanjung, dipuja, dimanja, dirayu dan dicinta..
Hati wanita hanya mengenal satu kegembiraan di dunia ini, yaitu mencinta dan dicinta.



֎֎֎

KISAH INSPIRATIF UNTUK KEHARMONISAN RUMAH TANGGA..

Seorang teman dari Jeddah bercerita, ketika saya baru menikah datanglah sahabat saya ke rumah. Saya minta kepada istri untuk membuat kopi Arab dan menyiapkan korma dan makanan ringan lainnya.

Istri mengetuk dari balik tabir sebagai pertanda termos kopi sudah siap untuk dihidangkan.

Ketika kami mulai meminum kopi, rasanya aneh sekali ?! Ia memang sama sekali belum bisa membuat kopi yg enak dan belum bisa memasak.

Sahabat saya mengatakan bahwa kita berdua harus menghabiskan kopi satu termos, untuk menjaga perasaan istri dan memotivasi lebih semangat membuat kopi yg enak.

Ketika tamu pulang, istri merapikan jamuan maka ia dapati termos dalam keadaan kosong. Ia gembira sekali dan timbul percaya diri.

Saat makan ternyata masakan istri kebanyakan garam sangat asin. Istri saya sendiri yang memasak hanya mampu makan satu atau dua suap saja. Saya teringat dengan pesan sahabat maka saya santap makanan yang dihidangkan dengan lahap tanpa tersisa dalam rangka menggembirakan hati istri dan menumbuhkan rasa percaya dirinya.

Alhamdulillah sekarang istri saya paling pandai memasak diantara keluarganya dan di keluarga kami.

Dalam berumah tangga perlu kesabaran ekstra dan masing-masing hendaklah memberikan yang terbaik untuk pasangannya.

Semoga kisah ini bermanfaat untuk penganten baru dan untuk calon penganten, termasuk untuk kita semua yang sudah lama menikah.


֎֎֎

Kamis, 15 Januari 2015

Isteri Itu Hebat.. Isteri Itu Luar Biasa.. Isteri Itu “Masya Allah”..

“Rumah Tanpa Isteri Ibarat Malam Tanpa Rembulan”.
Isteri adalah pengganti ibu yang sangat dibutuhkan setiap lelaki, karena laki-laki itu, siapapun dia, setinggi apapun ilmu dan kedudukannya tetap saja dia adalah lelaki yang tidak lain hanyalah;
‘Anak Kecil Bertubuh Besar [Thiflun Kabir]’.

Cara memahami laki-laki itu sama persis dengan cara memahami anak kecil.
Suami yang lelah bekerja dan beraktivitas di luar rumah merasa bahagia ketika telah pulang ke rumah karena mendapatkan apa yang ia inginkan dari isterinya..
Bersama isteri, suami mendapatkan sakinah, yaitu; ketenangan, ketenteraman dan kedamaian.

Dalam rumah tangga ada mawaddah wa rahmah, yaitu; cinta dan kasih sayang yang sangat dibutuhkan setiap insan.

Sungguh benar firman Allah dalam surat 30 Ar-Ruum ayat 21 yang artinya;
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Isteri ibarat “pakaian” bagi suami yang memberikan kehangatan, kenyamanan, menutupi keburukan dan memperindah suaminya.

“Di balik laki-laki yang sukses terdapat wanita yang hebat, yaitu isterinya.”
Kata orang Jawa, isteri itu adalah “garwo” sigare nyowo atau separuh jiwa.
Isteri adalah partner dan mitra suami, ia ada untuk menyempurnakan iman dan hidup kita agar hidup kita menjadi semakin “hidup”…

Diantara jasa-jasa Isteriku;
1. Mau menikah denganku.
2. Menyelamatkanku dari perbuatan terlarang.
3. Setia menemani dan membantuku dalam suka dan duka.
4. Mengandung, melahirkan dan menyusui anak-anakku.
5. Menjadi madrasah bagi anak-anakku.
6. Sabar merawat anak-anakku dalam segala keadaan, ketika mereka sehat atau sakit.
7. Menjadi pelengkap hidupku…Dll..

Ya Allah, kumpulkan kami di dunia ini sampai di Jannah Firdaus, memandang WajahMu yang Maha Mulia dan mendapat ridhaMu tanpa kemurkaanMu selamanya.. Ya Robb..



֎֎֎

Bersetubuh yang Halal

Ada istilah “wath’u” (الوطء) dan istilah “jima’” (الجماع), keduanya dimaksudkan untuk hubungan badan atau bersetubuh. Dalam istilah fiqih, jima’ didefinisikan dengan memasukkan kemaluan laki-laki pada kemaluan perempuan sehingga seakan-akan seperti satu kesatuan.

Macam Jima’
Perlu sekali kita mengetahui tentang masalah jima’ ini karena akan berkonsekuensi pada hukum halal dan haram. Ada jima’ (hubungan badan) yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam dosa bahkan dosa besar. Namun ada jima’ yang mengantarkan pada meraih pahala. Oleh karena itu, para ulama fiqih membagi jima’ menjadi dua macam, yaitu jima’ masyru’ dan jima’ mahzhur. Jima’ masyru’ adalah jima’ yang halal, yaitu berhubungan badan dengan istri atau hamba sahaya. Namun jima’ seperti ini dapat berubah menjadi haram (jima’ mahzhur) ketika menyetubuhi istri dalam keadaan haidh atau nifas.

Jima’ mahzhur yang berkonsekuensi haram dapat dibagi menjadi dua macam:
1.       Jima’ yang haram yang sewaktu-waktu bisa berubah jadi halal. Seperti jima’ dengan wanita bukan mahrom di kemaluannya setelah menikahinya. Setelah menikahinya barulah menjadi halal, sebelumnya haram.
2.       Jima’ yang selama-lamanya tetap haram, tidak bisa berubah menjadi halal. Seperti liwath (homoseksual), menyetubuhi wanita yang halal untuknya tetapi di duburnya, menyetubuhi wanita yang belum halal untuknya (belum dinikahi atau belum menjadi budak), menyetubuhi binatang. Yang lebih parah, apabila yang disetubuhi masih ada hubungan mahrom.
Sebab Jima’ yang Halal
Sekarang kita melihat jima’ yang masyru’ (yang halal). Ada dua sebab yang menyebabkan jima’ menjadi halal, yaitu akad nikah dan pemilikan hamba sahaya.
Pasangan yang telah menikah boleh menyetubuhi pasangannya kapan pun itu. Waktu yang dikecualikan adalah ketika haidh, mendapati nifas, dalam keadaan dizhihar sebelum bayar kafaroh, dalam keadaan ihrom dan beberapa kondisi lainnya. Mengenai halalnya hubungan badan keduanya disebutkan dalam firman AllahTa’ala,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5-7).

Dalam ayat di atas disebutkan pula mengenai halalnya hamba sahaya yang dimiliki oleh tuannya, artinya ia boleh disetubuhi layaknya istri. Bahkan para ulama tidak berselisih pendapat tentang bolehnya menyetubuhi hamba sahaya yang telah sah dimiliki, sekali pun tanpa melalui akad nikah. Ibnu Qudamah berkata, “Hamba sahaya memberikan manfaat dalam kepemilikan, termasuk di dalamnya adalah bolehnya disetubuhi (oleh tuannya).”

Pahala Jima’ yang Halal
Dalam hadits riwayat Muslim, dari Abu Dzar Al Ghifari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ »
Hubungan badan antara kalian (dengan isteri atau hamba sahaya kalian) adalah sedekah. Para sahabat lantas ada yang bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala’.” (HR. Muslim no. 1006)

Berdasarkan hadits di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa pahala seorang pria yang menyetubuhi istri atau budaknya bisa diraih jika didasari niat yang sholeh, yaitu untuk menjaga dirinya atau pula pasangannya agar tidak terjerumus dalam yang haram. Atau jima’ tadi diniatkan untuk menunaikan hak dari pasangannya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan. Atau hubungan badan tadi bertujuan untuk mencari keturunan sehingga anak-anaknya kelak bisa mewariskan ilmu orang tuanya dan bisa semakin menyemarakkan Islam. Inilah niatan-niatan sholeh yang dimaksud.

Lantas bagaimana jika hubungan badan tersebut hanya ingin memuaskan nafsu syahwat dengan istri atau budak, tidak diniatkan dengan niatan sholeh seperti dicontohkan di atas? Hal ini terdapat khilaf (beda pendapat) di antara para ulama. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa keadaan seperti itu tetap mendapatkan pahala. Sebagian lainnya mengatakan tidak. Yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat terakhir, yaitu tidak mendapati pahala karena tidak didasari niat yang sholeh saat berhubungan badan. Dalil penguatnya di antaranya adalah hadits berikut,
إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهْوَ يَحْتَسِبُهَا ، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
Jika seorang muslim berinfak pada keluarganya dengan maksud meraih pahala dari Allah, maka itu dinilai sedekah.” (HR. Bukhari no. 5351).
Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud hadits ini adalah sedekah dan infak secara umum dengan syarat ingin mengharap wajah Allah (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/88). Para ulama yang mengatakan mesti dengan niatan sholeh berkata, “Jika pada infak yang wajib saja disyaratkan meraih pahala Allah, bagaimana lagi dengan jima’ yang asalnya mubah?” Sehingga hal ini menunjukkan bahwa jima’ yang bisa berpahala adalah jika diniatkan meraih pahala atau didasari niatan sholeh dan tidak sekedar melampiaskan syahwat belaka.
Demikian bahasan kami seputar jima’ yang halal. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.


֎֎֎

Hubungan Seksual yang Terlarang

Saking ingin menambah cinta dan kemesraan, sebagian pasangan suami istri melakukan hubungan seks yang terlarang, apalagi ditambah karena tidak pernah “ngaji” atau mendalami ilmu agama. Karena jauh dari agama, apa pun dianggap halal.
Dalam hubungan seksual (coitus), asalnya boleh-boleh saja dengan berbagai cara asalkan tidak melanggar syariat atau tuntunan Islam. Berikut kami sebutkan dua hubungan seks yang terlarang, ditambah dengan bahasan hukum oral seksSemoga bermanfaat bagi pasutri sekalian.

Pertama: Seks anal
Seks anal adalah menyetubuhi istri pada duburnya (anus). Kita tahu bersama bahwa anus adalah tempat keluarnya kotoran dan berbagai macam kuman. Apalagi anus tidak menghasilkan cairan sebagaimana pada vagina wanita, sehingga dapat berakibat fatal bagi alat seksual saat berhubungan. Dari sinilah di antara alasan mengapa seks anal seperti ini terlarang.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama yang jadi rujukan dalam Islam bersepakat haramnya menyetubuhi istri pada duburnya baik saat wanita tersebut haid atau suci”. Ulama Syafi’iyah pun berpendapat, “Tidak halal menyetubuhi seseorang di duburnya begitu pula menyetubuhi hewan seperti itu dalam keadaan apa pun itu. Wallahu a’lam.” (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10: 6). Hadits yang mendasari larangan ini adalah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا
Benar-benar terlaknat orang yang menyetubuhi istrinya di duburnya.” (HR. Ahmad 2: 479. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits tersebut hasan)
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Allah Ta’ala pun menerangkan bahwa kita hendaknya menyetubuhi istri di kemaluan. Dalam sebuah ayat disebutkan,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al Baqarah: 223).

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “ ‘الْحَرْثُ’ dalam ayat tersebut bermakna tempat bercocok tanam. Artinya, anak itu tumbuh dari hubungan di kemaluan dan bukan di dubur. Jadi maksud ayat tersebut adalah setubuhilah istri kalian pada kemaluannya, tempat tumbuhnya janin. Sedangkan makna ‘أَنَّى شِئْتُمْ’ yaitu sesuka kamu bagaimana variasi hubungan seks, mau dari arah depan atau belakang, atau antara keduanya, atau pun dari arah kiri. Dalam ayat tersebut, Allah menyebut wanita sebagai ladang dan dibolehkan mendatangi ladang tersebut yaitu pada kemaluannya. Selain atsar disebutkan bahwa seks anal semacam ini termasuk bentuk liwath shugro (sodomi yang ringan). Dalam hadits yang shahih juga disebutkan,
إنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي حُشُوشِهِنَّ
Sungguh Allah tidaklah malu dari kebenaran. Janganlah kalian menyetubuhi wanita di duburnya” (HR. Al Baihaqi). Kata “الْحُشُّ” yang dimaksud adalah dubur, yaitu tempat yang kotor. Allah Ta’ala sendiri mengharamkan menyetubuhi wanita haid karena adanya haid di kemaluaannya. Bagaimana lagi jika yang disetubuhi adalah tempat yang keluarnya najis mughollazhoh (najis yang berat)? Seks anal tidak dipungkuri lagi termasuk jenis liwath (sodomi). Menurut madzhab Abu Hanifah, Syafi’iyah, pendapat Imam Ahmad dan Hambali, perbuatan seks anal ini haram, tanpa adanya perselisihan di antara mereka. Demikian pula hal ini menjadi pendapat yang nampak pada Imam Malik dan pengikutnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 267-268)

Kedua: Hubungan seks saat menstruasi
Sebagian kalangan ada yang menghalalkan di saat wanita menstruasi (haid). Padahal dari sisi kesehatan pun sangat tidak dianjurkan karena:
1. Saat haid terjadi peluruhan lapisan endometrium (lapisan dinding rahim bagian dalam) yang mengandung berbagai  macam protein serta asam amino. Namun, jika ternyata tidak terjadi pembuahan, maka endometrium tersebut bisa menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan berbagai penyakit. Nah, bisa dipastikan kuman penyakit yang masuk ke endometrium ini masuk melalui pintu vagina. Selain vagina, penis juga bisa membawa kuman penyakit dari luar.
2. Jika si perempuan menderita salah satu dari sekian banyak penyakit STD (Sexually Transmitted Diseases) seperti herpes dan gonorrhea, maka darah haid merupakan medium yang sangat baik untuk berpindahnya virus atau bakteri penyebab penyakit tersebut kepada pasangan.
3. Saat haid, vagina dipastikan dalam kondisi yang sangat sensitif. Jika dipaksakan terjadi penetrasi, biasanya si perempuan akan merasa sakit dan perih karena terkoyak. Jika sudah begini, maka akan membutuhkan waktu lama untuk penyembuhan.
4. Para pakar kesehatan mengatakan, saat terjadinya penetrasi dikhawatirkan akan ada udara masuk ke dalam rahim sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan, bahkan bisa mengantar kepada kematian.
Dari segi dalil dan pendapat ulama, hubungan seksual saat haid terlarang. Imam Nawawi rahimahullahberkata, “Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.” (Al Majmu’, 2: 359) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haid yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)

Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, atau mendatangai dukun, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.”
Hubungan seks yang dibolehkan dengan wanita haid adalah bercumbu selama tidak melakukan jima’ (senggama) di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haid) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)
Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?”   (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haid di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haid atau selain kemaluannya.

Bagaimana dengan Seks Oral?
Bagi kebanyakan pasangan, seks oral (oral seks) biasanya dilakukan sebagai bagian dari pemanasan atau foreplay.  Kaum lelaki banyak yang menyukai aktivitas ini sebab oral seks mampu membakar fantasi mereka dalam meraih kepuasan.  Pria biasanya merasakan kenikmatan yang lebih tinggi dalam menerima maupun memberikan seks oral.

Namun bagaimana Islam menilai perbuatan seks semacam ini?
Mengenai hukum oral seks (jika yang dimaksud adalah mencium kemaluan pasangan saat berhubungan) diperselisihkan oleh para ulama. Ulama Hambali membolehkan mencium kemaluan istri sebelum jima’, namun dimakruhkan jika dilakukan setelah itu. Hal ini yang disebutkan dalam kitab Kasyful Qona’, salah satu buku fikih madzhab Hambali. Yang bermasalah, jika yang dicium adalah kemaluan yang sudah terdapat najis seperti kencing dan madzi.

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya, “Bolehkah seorang wanita mencium kemaluan suaminya, begitu pula sebaliknya?”
Jawab beliau rahimahullah, “Hal ini dibolehkan, namun dimakruhkan. Karena asalnya pasutri boleh bersenang-senang satu dan lainnya, menikmati seluruh badan pasangannya kecuali jika ada dalil yang melarang. Boleh antara suami istri menyentuh kemaluan satu dan lainnya dengan tangannya dan memandangnya. Akan tetapi, mencium kemaluan semacam itu tidak disukai oleh jiwa karena masih ada cara lain yang lebih menyenangkan.”

Sehingga saran kami, cara seks oral sebaiknya dijauhi apalagi mengingat bahaya dari sisi kesehatan. Kata seorang konsultan seks, dr Ferryal Loetan, ASC&T, MMR, SpRM, M.Kes, “Di dalam mulut terdapat banyak air liur yang dapat menularkan penyakit. Sebab di dalam air liur manusia, terdapat beberapa kuman dan bakteri. Demikian pula dengan berbagai macam jamur, yang biasa menempel di tubuh manusia. Ketiganya bisa mengakibatkan penyakit saat kita melakukan oral seks.” Jika seks oral membawa dampak bahaya seperti ini, maka sudah seharusnya dijauhi karena mengingat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ
Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits inishahih).
Semoga bahasan ini bermanfaat bagi pasutri. Semoga dengan cara hubungan seksual yang halal bisa memupuk cinta kasih terhadap pasangan. Setiap hubungan seksual pun butuh kesadaran untuk bertakwa pada Allah.


֎֎֎

Hukum Onani

Kalangan remaja atau dewasa tidak sedikit yang kecanduan dengan onani. Remaja yang pergaulannya tidak karuan, atau pasutri yang saling berjauhan, banyak yang mengambil onani sebagai solusi untuk memenuhi hasrat seksual. Bahasan kali ini akan meninjau bagaimana pandangan Islam mengenai onani (masturbasi).
Mengenal Istilah “الاستمناء
Dalam bahasa Arab dikenal istilah “الاستمناء”, yaitu memaksa keluarnya mani. Atau secara istilah didefinisikan, “الاستمناء” adalah mengeluarkan mani dengan cara selain jima’ (bersenggama/coitus) dan cara ini dinilai haram seperti mengeluarkan mani tersebut dengan tangan secara paksa disertai syahwat, atau bisa pula “الاستمناء” dilakukan antara pasutri dengan tangan pasangannya dan cara ini dinilai boleh (tidak haram).
Dalam kitab I’anatuth Tholibin (2:255) disebutkan makna “الاستمناء” adalah mengeluarkan mani dengan cara selain jima’ (senggama), baik dilakukan dengan cara yang haram melalui tangan, atau dengan cara yang mubah melalui tangan pasangannya.
Istilah “الاستمناء” di sini sama dengan onani atau masturbasi.

Wasilah (Perantara) Onani
Onani bisa dilakukan dengan tangan, atau cara bercumbu lainnya, bisa pula dengan pandangan atau sekedar khayalan. Kita akan mengulas ketiga cara tersebut. Onani dengan bercumbu yang dimaksud adalah seperti dengan menggesek-gesek kemaluan pada perut, paha, atau dengan cara diraba-raba atau dicium dan tidak sampai terjadi senggama pada kemaluan. Pengaruh onani semacam ini sama dengan onani dengan tangan.

Hukum Onani
Onani dengan hanya sekedar untuk membangkitkan syahwat, hukumnya adalah haram secara umum. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (29) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (30) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (31)
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Ma’arij: 29-31). Orang yang melampaui batas adalah orang yang zholim dan berlebih-lebihan. Allah tidaklah membenarkan seorang suami bercumbu selain pada istri atau hamba sahayanya. Selain itu diharamkan. Namun, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Imam Ahmad, hukum onani itu makruh tanzih (sebaiknya dijauhi).

Jika onani dilakukan untuk menekan syahwat dan takut akan terjerumus zina, maka itu boleh secara umum, bahkan ada yang mengatakan wajib. Karena kondisi seperti ini berarti melakukan yang terlarang di saat darurat atau mengerjakan tindakan mudhorot yang lebih ringan.
Imam Ahmad dalam pendapat lainnya mengatakan bahwa onani tetap haram walau dalam kondisi khawatir terjerumus dalam zina karena sudah ada ganti onani yaitu dengan berpuasa.
Ulama Malikiyah memiliki dua pendapat. Ada yang mengatakan boleh karena alasan kondisi darurat. Ada yang berpendapat haram karena adanya pengganti yaitu dengan berpuasa.

Ulama Hanafiyah seperti Ibnu ‘Abidin berpendapat bahwa jika ingin melepaskan diri dari zina, maka onaniwajib dilakukan.
Dari berbagai pendapat yang ada, penulis menilai pendapat yang menyatakan onani itu haram lebih kuat seperti pandangan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Karena syahwat tidak selamanya dibendung dengan onani. Dengan sering berpuasa yaitu puasa sunnah akan mudah membendung tingginya syahwat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemudabarangsiapa yang memiliki baa-ah (kemampuan untuk menikah), maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)

Onani Melalui Istri
Mayoritas ulama menilai bolehnya onani jika yang melakukan adalah pasangannya (istrinya), seperti mengeluarkan mani dengan cara kemaluan si suami digesek pada paha atau perut istri selama tidak dilakukan pada kondisi terlarang (yaitu seperti ketika puasa, i’tikaf atau saat berihram ketika haji dan umrah).
Namun ulama lainnya mengatakan perilaku onani dari pasangan (istri) dinilai makruh. Dalam Nihayah Az Zaindan Fatawa Al Qodi disebutkan, “Seandainya seorang istri memainkan kemaluan suami dengan  tangannya, hukumnya makruh, walau suami mengizinkan dan keluar mani. Seperti itu menyerupai perbuatan ‘azl(menumpahkan mani di luar kemaluan istri). Perbuatan ‘azl sendiri dinilai makruh.”

Wajib Mandi Setelah Onani
Para ulama sepakat bahwa yang melakukan onani wajib mandi (janabah atau junub) jika mani keluar dengan terasa nikmat dan memancar. Sedangkan ulama Syafi’iyah tidak memandang jika mani keluar tanpa terasa nikmat dan memancar. Asalkan keluar mani saat onani, mereka nyatakan tetap wajib mandi. Demikian pula pendapat Imam Ahmad dan pendapat yang tidak masyhur dalam madzhab Malikiyah.
Sedangkan jika melakukan onani dan ia menahan mani agar tidak keluar, maka tidak diwajibkan mandi. Karena wajibnya mandi di sini dikaitkan dengan melihat ataukah tidak.


Pengaruh Onani pada Puasa
Onani dengan tangan membatalkan puasa menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hambali dan sebagian besar ulama Hanafiyah. Karena penetrasi tanpa keluar mani saja membatalkan puasa. Maka tentu saja jika keluarnya mani dengan syahwat jelas membatalkan puasa. Jika puasanya batal, hal ini tidak disertai adanya kafaroh seperti jima’ (senggama) saat puasa karena tidak ada dalil yang mewajibkan adanya kafaroh. Demikian pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah.

Bahaya Onani dari Sisi Kesehatan
1.    Ejakulasi dini atau terlalu cepat selesai ketika melakukan hubungan seks yang sebenarnya. Ketika melakukan onani, biasanya orang cenderung melakukannya secara terburu-buru dengan harapan dapat segera mencapai orgasme. Cara onani yang terburu-buru ini akan membiasakan sistem syaraf untuk melakukan seks secara cepat ketika sedang bercinta. Dan hasilnya adalah ejakulasi dini.
2.    Gairah seks yang lemah ketika sudah berumah tangga. Keinginan untuk melakukan hubungan seks kadang sangat rendah karena sudah terbiasa melakukan onani ketika masih muda.
3.    Orang-orang zaman dulu menyebut onani yang berlebihan akan menyebabkan kebodohan karena selalu membayangkan hal-hal porno dan orientasi pikiran selalu negatif.
4.    Badan jadi kurus dan lemah. Karena pikiran selalu negatif dan berpikir yang porno-porno membuat banyak energi yang terkuras. Hal ini menyebabkan badan menjadi kurus kering.
5.    Sulit menikmati hubungan seks yang sebenarnya bersama wanita. Karena sejak remaja sudah terbiasa merasakan seks secara manual atau onani. Penis yang terbiasa dengan tekanan tertentu dari tangan menjadi tidak responsif terhadap rangsangan dari vagina.
6.    Perasaan bersalah karena terlalu sering onani menimbulkan rasa minder dan tidak percaya diri di lingkungan sosial.
7.    Bagi wanita muda yang senang masturbasi atau onani bisa merobek lapisan hymen keperawanannya.
8.    Mengalami impotensi atau gagal ereksi ketika berhubungan. Orang yang melakukan onani sudah terbiasa menciptakan rangsangan yang bersifat mental berupa khayalan-khayalan, hal tersebut membuat penis tidak terbiasa dengan rangsangan fisik ketika berhubungan seks yang sebenarnya.
9.    Jadi sering melamun dan pikiran selalu negatif membuat adaptasi sosial menjadi terbatas.

Solusi dari Onani
Para ulama memberi nasehat bagi orang yang sudah kecandu onani, hendaklah ia perbanyak do’a, rajin menundukkan pandangan dari melihat yang haram, dan rajin berolahraga untuk menurunkan syahwatnya. Namun jika ia dihadapkan pada dua jalan yaitu berzina ataukah onani, maka hendaklah ia memilih mudhorot yang lebih ringan yaitu onani, sambil diyakini bahwa perbuatan tersebut adalah suatu dosa sehingga ia patut bertaubat, memperbanyak istighfar dan do’a.
Solusi yang bisa dirinci:
1.    Banyak berdo’a dan bertaubat kepada Allah, untuk berhenti dari onani selamanya.
2.    Harus memiliki tekad, kemauan, dan motivasi yang kuat dari diri sendiri.
3.    Bergaullah dengan orang-orang yang alim, cerdas, sholeh, beriman, bertakwa. Hindarilah lingkungan pergaulan yang membawa Anda menuju “lembah maksiat” atau “dunia hitam” atau bergaul dengan orang yang hobi onani. Teman karib yang baik sangat berpengaruh pada seseorang ibarat seseorang yang berteman dengan penjual minyak wangi. Kalau tidak diberi gratis, kita bisa dapat bau harumnya secara cuma-cuma. Sibukkan diri dengan beribadah terutama banyak melakukan puasa sunnah karena puasa akan mudah mengekang syahwat. Sibukkan diri pula dengan menjaga shalat berjamaah, shalat malam, berzikir, dan membaca Alquran serta melakukan hal bermanfaat seperti olahraga.
4.    Jika Anda “hobi beronani”, berhati-hatilah atau waspadalah dengan kanker prostat! Sebab, hasil riset yang dilakukan oleh Universitas Nottingham Inggris, menyatakan bahwa pria berusia antara 20-30 tahun yang “gemar beronani” memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena kanker prostat. Juga, Sebanyak 34% atau 146 dari 431 orang yang terkena kanker prostat sering melakukan onani mulai usia 20 tahun. Sekadar tambahan, kanker prostat adalah penyakit kanker yang berkembang di kelenjar prostat, disebabkan karena sel prostat bermutasi dan mulai berkembang di luar kendali.
5.    Hindari melihat tontonan, tayangan, gambar, video, yang “syur”, “aduhai”, atau porno, baik di internet, televisi, VCD, DVD, dsb. Hindari juga “bacaan dewasa”, “kisah panas”, atau “bumbu-bumbu seksual”.
6.    Sadarilah bahwa onani hanya akan menghabiskan energi dan waktu Anda yang sebenarnya dapat Anda gunakan untuk melakukan hal-hal lainnya yang bermanfaat.

Tinggalkanlah onani dan tempuh cara yang halal, lalu ingatlah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)


֎֎֎

Hukum Oral Seks

Bagi kebanyakan pasangan, seks oral (oral seks) biasanya dilakukan sebagai bagian dari pemanasan atau foreplay.  Kaum lelaki banyak yang menyukai aktivitas ini sebab oral seks mampu membakar fantasi mereka dalam meraih kepuasan.  Pria biasanya merasakan kenikmatan yang lebih tinggi dalam menerima maupun memberikan seks oral.

Namun bagaimana Islam menilai perbuatan seks semacam ini?
Mengenai hukum oral seks (jika yang dimaksud adalah mencium kemaluan pasangan saat berhubungan) diperselisihkan oleh para ulama. Ulama Hambali membolehkan mencium kemaluan istri sebelum jima’, namun dimakruhkan jika dilakukan setelah itu. Hal ini yang disebutkan dalam kitab Kasyful Qona’, salah satu buku fikih madzhab Hambali. Yang bermasalah, jika yang dicium adalah kemaluan yang sudah terdapat najis seperti kencing dan madzi.

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya, “Bolehkah seorang wanita mencium kemaluan suaminya, begitu pula sebaliknya?”
Jawab beliau rahimahullah, “Hal ini dibolehkan, namun dimakruhkan. Karena asalnya pasutri boleh bersenang-senang satu dan lainnya, menikmati seluruh badan pasangannya kecuali jika ada dalil yang melarang. Boleh antara suami istri menyentuh kemaluan satu dan lainnya dengan tangannya dan memandangnya. Akan tetapi, mencium kemaluan semacam itu tidak disukai oleh jiwa karena masih ada cara lain yang lebih menyenangkan.”  (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 100: 13, Asy Syamilah)

Syaikh Musa Hasan Mayan (anggota Markaz Dakwah dan Bimbingan Islam di kota Madinah KSA, murid Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Syaikh Ibnu Baz) ditanya, “Apa hukum mencium kemaluan pasutri satu dan lainnya?”
Jawab beliau hafizhohullah, “Tidak mengapa melakukan seperti itu. Seorang pria boleh saja bersenang-senang dengan istrinya dengan berbagai macam cara, ia boleh menikmati seluruh tubuhnya selama tidak ada dalil yang melarang. Namun tidak boleh ia menyetubuhi istrinya di dubur dan tidak boleh berhubungan seks dengan istrinya di masa haid. Sedangkan mencium kemaluan pasangannya, tidak ada masalah. Itu adalah tambahan dari yang dihalalkan karena tidak ada dalil yang mengharamkan, syari’at pun mendiamkannya. Sehingga oral seks semacam itu kembali ke hukum asal yaitu boleh. Yang menyatakan haramnya harus mendatangkan dalil, namun sebenarnya tidak ada dalil yang melarang perbuatan semacam ini. Kebenaran adalah di sisi Allah.

Kebanyakan ulama terdahulu dan belakangan membolehkan suami menghisap payudara istrinya walaupun sampai ia meminum susunya. Mengenai hal ini tidaklah haram menurut pendapat yang lebih kuat. Karena yang bisa menjadikan mahram (haram untuk dinikahi) adalah persusuan pada bayi sampai ia berusia dua tahun. Jika menghisap payudara istri saja boleh, maka tentu saja boleh mencium kemaluan sesama pasangan.

Adapun ulama belakangan –semoga Allah beri taufik pada mereka- yang melarang perbuatan ini beralasan karena kemaluan adalah tempat keluarnya najis seperti kencing. Maka tentu saja seperti itu tidak boleh dicium. Alasan seperti ini cukup disanggah bahwa yang dimaksud boleh mencium kemaluan adalah ketika keadaan suci, bukan ketika telah keluar najis. Karena jika sudah ada najis, tentu wajib dibersihkan (istinja’) dan dicuci. Jika sudah dicuci dan telah berwudhu, tentu keadaannya Allah terima sebagai bagian tubuh yang suci.

Kesimpulan kami, mencium kemaluan pasangan pada saat suci (bersih), dibolehkan. Sedangkan jika telah keluar najis, maka tentu tidak ada satu ulama pun yang membolehkannya karena perbuatan seperti ini telah keluar dari tabiat manusia normal.”


Saran kami, cara seks oral sebaiknya dijauhi apalagi mengingat ulama lainnya melarang keras perbuatan ini karena termasuk tasyabbuh (meniru-niru) gaya seksual barat atau non muslim. Selain itu perilaku semacam ini terdapat bahaya dari sisi kesehatan. Kata seorang konsultan seks, dr Ferryal Loetan, ASC&T, MMR, SpRM, M.Kes, “Di dalam mulut terdapat banyak air liur yang dapat menularkan penyakit. Sebab di dalam air liur manusia, terdapat beberapa kuman dan bakteri. Demikian pula dengan berbagai macam jamur, yang biasa menempel di tubuh manusia. Ketiganya bisa mengakibatkan penyakit saat kita melakukan oral seks.”

Di samping itu, hasil survey menunjukkan bahwa 50 % laki laki yang melakukan oral sex menderita kanker mulut. Penyakit yang diderita oleh pelaku oral seks bisa jadi adalah herpes di mulut atau alat kelamin, chlamydia dan gonorrhea menyerang bagian tenggorokan, HIV, HPV, sipilis, dan Hepatitis A.Mengerikan! Jika seks oral membawa dampak bahaya seperti ini, maka sudah sepantasnya dijauhi karena mengingat sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ
Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits inishahih).


֎֎֎

6 Keutamaan Mencari Nafkah

Kadang kita -sebagai suami- merasa lelah, capek sehingga banyak mengeluh. Pergi begitu pagi, pulang pun ketika matahari akan tenggelam, rasa lelah yang kita dapat. Kegiatan mencari nafkah sebenarnya suatu amalan yang mulia yang patut diniatkan dengan ikhlas sehingga bisa meraih pahala. Karena keutamaannya amat luar biasa, pahalanya yang besar, bahkan bisa sebagai tameng dari jilatan neraka.
Sebelum kita memahami keutamaan mencari nafkah, terlebih dahulu kita melihat bagaimanakah Islam mengajarkan prioritas dalam penyaluran harta atau penghasilan suami.

Prioritas dalam Pengeluaran Harta
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)
Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Battol rahimahullah menjelaskan:
Sebagian ulama menyebutkan bahwa pengeluaran harta dalam kebaikan dibagi menjadi tiga:
1.    Pengeluaran untuk kepentingan pribadi, keluarga dan orang yang wajib dinafkahi dengan bersikap sederhana, tidak bersifat pelit dan boros.  Nafkah seperti ini lebih afdhol dari sedekah biasa dan bentuk pengeluaran harata lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu” (HR. Bukhari).
2.    Penunaian zakat dan hak Allah. Ada ulama yang menyatakan bahwa siapa saja yang menunaikan zakat, maka telah terlepas darinya sifat pelit.
3.    Sedekah tathowwu’ (sunnah) seperti nafkah untuk menyambung hubungan dengan kerabat yang jauh dan teman dekat, termasuk pula member makan pada mereka yang kelaparan.
Setelah merinci demikian, Ibnu Battol lantas menjelaskan, “Barangsiapa yang menyalurkan harta untuk tiga jalan di atas, maka ia berarti tidak menyia-nyiakan harta dan telah menyalurkannya tepat sasaran, juga boleh orang seperti ini didengki (bersaing dengannya dalam hal kebaikan).” (Lihat Syarh Bukhari, Ibnu Battol, 5: 454, Asy Syamilah).

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskan, “Sebagian orang tatkala bersedekah untuk fakir miskin atau yang lainnya maka mereka merasa bahwa mereka telah mengamalkan amalan yang mulia dan menganggap sedekah yang mereka keluarkan itu sangat berarti. Adapun tatkala mengeluarkan harta mereka untuk memberi nafkah kepada keluarganya maka seakan-akan perbuatan mereka itu kurang berarti, padahal memberi nafkah kepada keluarga hukumnya wajib dan bersedekah kepada fakir miskin hukumnya sunnah. Dan Allah lebih mencintai amalan wajib daripada amalan sunnah.” (Sebagaimana penjelasan beliau dalam Riyadhus Shalihiin)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa mesti ada prioritas dalam penyaluran harta. Yang utama sekali adalah pada istri, anak, lebih lagi pada anak perempuan sebagaimana diterangkan dalam keutamaan mencari nafkah berikut ini. Setelah kewajiban pada keluarga, barulah harta tersebut disalurkan pada zakat dan sedekah sunnah.

Mengenai keutamaan mencari nafkah di antaranya dijabarkan dalam enam poin berikut ini.

Pertama: Nafkah kepada keluarga lebih afdhol dari sedekah tathowwu’ (sunnah)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi, pen)” (HR. Muslim no. 995).
Imam Nawawi membuat judul untuk hadits ini, “Keutamaan nafkah bagi keluarga dan hamba sahaya, serta dosa bagi orang yang melalaikan dan menahan nafkahnya untuk mereka”. Dalam Syarh Muslim (7: 82), Imam Nawawi mengatakan, “Nafkah kepada keluarga itu lebih afdhol dari sedekah yang hukumnya sunnah”.

Kedua: Jika mencari nafkah dengan ikhlas, akan menuai pahala besar
Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56). Imam Al Bukhari memasukkan hadits ini pada masalah ‘setiap amalan tergantung pada niat’. Ini menunjukkan bahwa mencari nafkah bisa menuai pahala jika diniatkan dengan ikhlas untuk meraih wajah Allah. Namun jika itu hanya aktivitas harian semata, atau yakin itu hanya sekedar kewajiban suami, belum tentu berbuah pahala.

Ketiga: Memberi nafkah termasuk sedekah
Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
Harta yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah” (HR. Ahmad 4: 131. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Keempat: Harta yang dinafkahi semakin barokah dan akan diberi ganti
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفً
Tidaklah para hamba berpagi hari di dalamnya melainkan ada dua malaikat yang turun, salah satunya berkata, “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang senang berinfak.” Yang lain mengatakan, “Ya Allah, berilah kebangkrutan kepada orang yang pelit.” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010). Seseorang yang memberi nafkah untuk keluarganya termasuk berinfak sehingga termasuk dalam keutamaan hadits ini.
Kelima: Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban apakah ia benar memperhatikan nafkah untuk keluarganya
Dari Anas bin Malik, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ
Allah akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin” (HR. Tirmidzi no. 1705. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan,
إن الله سائل كل راع عما استرعاه : أحفظ أم ضيع
Allah akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin, apakah ia memperhatikan atau melalaikannya” (HR. Ibnu Hibban 10: 344. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits inishahih).

Keenam: Memperhatikan nafkah keluarga akan mendapat penghalang dari siksa neraka
‘Adi bin Hatim berkata,
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
Selamatkanlah diri kalian dari neraka walau hanya melalui sedekah dengan sebelah kurma” (HR. Bukhari no. 1417)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ
“Ada seorang ibu bersama dua putrinya menemuiku meminta makanan, akan tetapi ia tidak mendapati sedikit makanan pun yang ada padaku kecuali sebutir kurma. Maka aku pun memberikan kurma tersebut kepadanya, lalu ia membagi sebutir kurma tersebut untuk kedua putrinya, dan ia tidak makan kurma itu sedikit pun. Setelah itu ibu itu berdiri dan pergi keluar. Lalu masuklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku pun mengabarkannya tentang ini, lantas beliau bersabda,
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka” (HR. Bukhari no 1418 dan Muslim no 2629).
Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَنْفَقَ عَلَى ابْنَتَيْنِ أَوْ أُخْتَيْنِ أَوْ ذَوَاتَىْ قَرَابَةٍ يَحْتَسِبُ النَّفَقَةَ عَلَيْهِمَا حَتَّى يُغْنِيَهُمَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ أَوْ يَكْفِيَهُمَا كَانَتَا لَهُ سِتْراً مِنَ النَّارِ
Barangsiapa mengeluarkan hartanya untuk keperluan kedua anak perempuannya, kedua saudara perempuannya atau kepada dua orang kerabat perempuannya dengan mengharap pahala dari Allah, lalu Allah mencukupi mereka dengan karunianya, maka amalan tersebut akan membentengi dirinya dari neraka” (HR. Ahmad 6: 293. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if)
Dua hadits terakhir ini menerangkan keutamaan memberi nafkah pada anak perempuan karena mereka berbeda dengan anak laki-laki yang bisa mencari nafkah, sedangkan perempuan asalnya di rumah.
Ya Allah, berikanlah kami taufik untuk mencari nafkah dengan ikhlas dan cara yang halal sehingga kami pun terbebas dari siksa neraka dan dimasukkan dalam surga.

֎֎֎

Jumat, 16 Januari 2015

Agar Suami Istri Makin Mesra

Berhubungan intim dengan suami atau istri tak hanya menyalurkan hasrat seksual. Lebih jaun lagi membangun hubungan emosional yang dalam. Bahkan ikatan tersebut bisa menjadi salah satu faktor pendukung untuk mencapai kepuasan.

Dr Wei Siang Yu menyebutkan bahwa secara mental pasangan tersebut harus dalam kondisi rileks dan memiliki rangsangan atau stimulasi psikologis untuk satu sama lain. ''Ikatan emosional pasangan harus kuat,'' ujar dokter yang banyak berpraktik di dunia maya melalui situs www.loveairways.com yang dikelolanya.

Lebih lanjut Wei menjelaskan bahwa hubungan emosional tersebut mampu memengaruhi proses fisiologis dan psikologis pada tubuh manusia. Sebagai contoh, ketika seorang wanita dalam kondisi stres karena tekanan pekerjaan atau tekanan dalam rumah tangga.

Saat stres siklus hormon wanita tersebut melambat sehingga akan mengubah waktu dan irama jalinan hubungan antara dia dengan suaminya. ''Demikian pula halnya dengan pria, ketika pria stres, proses ereksi akan terganggu yang tentunya memengaruhi proses hubungan seksual pasangan tersebut,'' ujar lulusan terbaik Monash University ini.

Selain kepuasan seksual yang berkaitan dengan posisi vagina, lebar pelvis, dan kelengkungan tulang belakang, Wei menyarankan kepada pasangan untuk tidak memiliki masalah-masalah sosial seperti masalah keuangan, stres pekerjaan ataupun orang ketiga. ''Karena hal ini yang bisa membuat kualitas orgasme dan keintiman menjadi berkurang,'' katanya.

Sementara itu menurut Dr Anita Gunawan MS, hubungan emosional yang terjalin baik itu juga termasuk adanya komunikasi yang lancar antara pasangan suami istri. Ditambah lagi dengan perlakuan kepada masing-masing pasangan. Pengalaman buruk dalam hal seksualitas bisa mengakibatkan trauma yang nantinya bisa mengurangi kualitas keintiman. ''Dengan komunikasi yang baik sang istri tidak akan merasa diperkosa ketika sedang berhubungan intim,'' ungkapnya.



֎֎֎

Awas, Ini Dia Godaan untuk Keluarga

Membina keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, keluarga yang harmonis, yang dilandasi dengan penuh cinta dan kasih sayang, merupakan dambaan semua umat Islam di dunia. Sebab, dari keluarga sakinah akan lahir generasi yang baik dan sholeh. Allah swt dengan tegas mengingatkan dalam firmannya pada Alquran surat

Ar-Ruum (30) ayat 21, ''Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian, itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.''
Untuk membina keluarga yang sakinah, menurut ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat KH Harfidz Usman, sekarang ini memang bukanlah hal mudah. Hal itu, kata ulama asal Menes Banten ini, karena godaan kehidupan dunia yang dihadapi masyarakat sekarang ini cenderung begitu beragam. ''Sekarang ini, godaan demi godaan terus menghantui kita. Dari godaan yang kita lihat secara nyata di depan mata, atau pun godaan secara visual di televisi. Secara umum diakui, orang yang paling mudah tergoda adalah perempuan,'' tandas kyai Hafidz.

Keharmonisan keluarga, sambung Kiai Hafidz, kadang terganggu oleh hal-hal yang sepele. Semisalnya adanya komunikasi yang kurang baik antara suami dan istri. ''Gesekan seperti ini sering terjadi dalam sebuah rumah tangga. Hanya, karena tidak ada komunikasi yang baik, atau sebaliknya, di antara kedua belah pihak antara suami dan istri, tidak mampu meredam emosi sehingga terlontar komunikasi dan kata-kata yang kasar, sangat berdampak buruk terhadap keluarga mereka terutama anak-anak mereka,'' ia mengingatkan.

Karena itu, Kiai Hafidz Usman menyodorkan cara yang efektif untuk menjaga keutuhan sebuah keluarga. ''Cara yang efektif untuk menjaga keutuhan keluarga adalah dengan menyelenggarakan shalat berjamaah, walaupun tidak mesti harus setiap waktu. Dengan adanya shalat berjamaah di dalam rumah tangga atau juga diisi makan bersama keluarga di dalam rumah tangga, keharmonisasn yang tercipta. Suami yang menjadi imam, istri dan anak yang menjadi makmum, akan timbul rasa kebersamaan yang tinggi. Shalat berjamaah merupakan tonggak membikin keluarga harmonis,'' ujarnya.

Pimpinan Pesantren Arafah Ciawi Bogor KH Anwar Sanusi mengungkapkan setidaknya ada tiga pondasi utama untuk membangun keluarga sakinah. Pertama qaulun ma'rufun (saling bicara baik). Hendaknya, dalam rumah tangga tercipta sebuah komunikasi, adanya pembicaraan yang baik antara suami dan istri, antara ayah, ibu dan anak. Suami tak pernah bertutur kata kasar kepada istri dan anaknya, istri tak pernah mengeluarkan kata-kata yang kasar kepada suami dan anak, begitu pun anak tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang menyakiti kedua orang tuanya. Kondisi inilah yang membangun keluarga sakinah.

Pondasi kedua, adalah ta'muruna bil ma'ruf yakni selalu berusaha mengajak kepada kebaikan. “Suami selalu mengajak istri dan anaknya kepada hal-hal yang baik. Istri selalu cenderung untuk berbuat baik dan anak pun demikian,” tambahnya.


Pondasi ketiga adalah mu'syarah bil ma'ruf yakni saling berhubungan yang baik antara anggota rumah tangga. Jika ketiga fondasi ini bisa dilaksanakan dengan baik, insya Allah keharmonisan keluarga akan tercipta di setiap rumah tangga umat Islam,'' tandas kyai Anwar Sanusi seraya menambahkan, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana seorang ibu benar-benar menjadi tauladan dalam rumah tangga.

Ia lalu mengutip pernyataan seorang ulama terkemuka asal Mesir yang mengatakan Al-Ummu madrasatun, idzaa a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal a'raq (Ibu itu bagaikan sekolah. Apabila dipersiapkan/dididik dengan baik, ia akan melahirkan generasi yang baik.. Kyai Sanusi sangat menyayangkan fakta menyebutkan 60 persen perceraian yang terjadi belakangan ini, atas inisiatif perempuan. ''Begitu perempuan memiliki karir dan ekonomi yang mapan, kadang merasa lebih dari suaminya. Lihat, bagaimana Khadijah kaya dan terkemuka, namun ia juga memiliki keimanan yang sangat tinggi, sangat patuh kepada sang suami,'' ujarnya.


֎֎֎


RAHASIA KEHARMONISAN RUMAH TANGGA..

Nasehat Untuk Para Isteri;
Lelaki Adalah Lelaki..
Laki-laki itu, siapapun dia, setinggi apapun ilmu dan kedudukannya tetap saja dia adalah lelaki yang tidak lain hanyalah;
‘Anak Kecil Bertubuh Besar [Thiflun Kabir]’.
Cara memahami laki-laki itu sama persis dengan cara memahami anak kecil.


Nasehat Untuk Para Suami;
Wanita Adalah Wanita..
Siapapun dia, setinggi apapun ilmu dan kedudukannya tetap saja dia adalah wanita, yang suka disanjung, dipuja, dimanja, dirayu dan dicinta..
Hati wanita hanya mengenal satu kegembiraan di dunia ini, yaitu mencinta dan dicinta.



֎֎֎

KISAH INSPIRATIF UNTUK KEHARMONISAN RUMAH TANGGA..

Seorang teman dari Jeddah bercerita, ketika saya baru menikah datanglah sahabat saya ke rumah. Saya minta kepada istri untuk membuat kopi Arab dan menyiapkan korma dan makanan ringan lainnya.

Istri mengetuk dari balik tabir sebagai pertanda termos kopi sudah siap untuk dihidangkan.

Ketika kami mulai meminum kopi, rasanya aneh sekali ?! Ia memang sama sekali belum bisa membuat kopi yg enak dan belum bisa memasak.

Sahabat saya mengatakan bahwa kita berdua harus menghabiskan kopi satu termos, untuk menjaga perasaan istri dan memotivasi lebih semangat membuat kopi yg enak.

Ketika tamu pulang, istri merapikan jamuan maka ia dapati termos dalam keadaan kosong. Ia gembira sekali dan timbul percaya diri.

Saat makan ternyata masakan istri kebanyakan garam sangat asin. Istri saya sendiri yang memasak hanya mampu makan satu atau dua suap saja. Saya teringat dengan pesan sahabat maka saya santap makanan yang dihidangkan dengan lahap tanpa tersisa dalam rangka menggembirakan hati istri dan menumbuhkan rasa percaya dirinya.

Alhamdulillah sekarang istri saya paling pandai memasak diantara keluarganya dan di keluarga kami.

Dalam berumah tangga perlu kesabaran ekstra dan masing-masing hendaklah memberikan yang terbaik untuk pasangannya.

Semoga kisah ini bermanfaat untuk penganten baru dan untuk calon penganten, termasuk untuk kita semua yang sudah lama menikah.


֎֎֎

Kamis, 15 Januari 2015

Isteri Itu Hebat.. Isteri Itu Luar Biasa.. Isteri Itu “Masya Allah”..

“Rumah Tanpa Isteri Ibarat Malam Tanpa Rembulan”.
Isteri adalah pengganti ibu yang sangat dibutuhkan setiap lelaki, karena laki-laki itu, siapapun dia, setinggi apapun ilmu dan kedudukannya tetap saja dia adalah lelaki yang tidak lain hanyalah;
‘Anak Kecil Bertubuh Besar [Thiflun Kabir]’.

Cara memahami laki-laki itu sama persis dengan cara memahami anak kecil.
Suami yang lelah bekerja dan beraktivitas di luar rumah merasa bahagia ketika telah pulang ke rumah karena mendapatkan apa yang ia inginkan dari isterinya..
Bersama isteri, suami mendapatkan sakinah, yaitu; ketenangan, ketenteraman dan kedamaian.

Dalam rumah tangga ada mawaddah wa rahmah, yaitu; cinta dan kasih sayang yang sangat dibutuhkan setiap insan.

Sungguh benar firman Allah dalam surat 30 Ar-Ruum ayat 21 yang artinya;
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Isteri ibarat “pakaian” bagi suami yang memberikan kehangatan, kenyamanan, menutupi keburukan dan memperindah suaminya.

“Di balik laki-laki yang sukses terdapat wanita yang hebat, yaitu isterinya.”
Kata orang Jawa, isteri itu adalah “garwo” sigare nyowo atau separuh jiwa.
Isteri adalah partner dan mitra suami, ia ada untuk menyempurnakan iman dan hidup kita agar hidup kita menjadi semakin “hidup”…

Diantara jasa-jasa Isteriku;
1. Mau menikah denganku.
2. Menyelamatkanku dari perbuatan terlarang.
3. Setia menemani dan membantuku dalam suka dan duka.
4. Mengandung, melahirkan dan menyusui anak-anakku.
5. Menjadi madrasah bagi anak-anakku.
6. Sabar merawat anak-anakku dalam segala keadaan, ketika mereka sehat atau sakit.
7. Menjadi pelengkap hidupku…Dll..

Ya Allah, kumpulkan kami di dunia ini sampai di Jannah Firdaus, memandang WajahMu yang Maha Mulia dan mendapat ridhaMu tanpa kemurkaanMu selamanya.. Ya Robb..



֎֎֎

Bersetubuh yang Halal

Ada istilah “wath’u” (الوطء) dan istilah “jima’” (الجماع), keduanya dimaksudkan untuk hubungan badan atau bersetubuh. Dalam istilah fiqih, jima’ didefinisikan dengan memasukkan kemaluan laki-laki pada kemaluan perempuan sehingga seakan-akan seperti satu kesatuan.

Macam Jima’
Perlu sekali kita mengetahui tentang masalah jima’ ini karena akan berkonsekuensi pada hukum halal dan haram. Ada jima’ (hubungan badan) yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam dosa bahkan dosa besar. Namun ada jima’ yang mengantarkan pada meraih pahala. Oleh karena itu, para ulama fiqih membagi jima’ menjadi dua macam, yaitu jima’ masyru’ dan jima’ mahzhur. Jima’ masyru’ adalah jima’ yang halal, yaitu berhubungan badan dengan istri atau hamba sahaya. Namun jima’ seperti ini dapat berubah menjadi haram (jima’ mahzhur) ketika menyetubuhi istri dalam keadaan haidh atau nifas.

Jima’ mahzhur yang berkonsekuensi haram dapat dibagi menjadi dua macam:
1.       Jima’ yang haram yang sewaktu-waktu bisa berubah jadi halal. Seperti jima’ dengan wanita bukan mahrom di kemaluannya setelah menikahinya. Setelah menikahinya barulah menjadi halal, sebelumnya haram.
2.       Jima’ yang selama-lamanya tetap haram, tidak bisa berubah menjadi halal. Seperti liwath (homoseksual), menyetubuhi wanita yang halal untuknya tetapi di duburnya, menyetubuhi wanita yang belum halal untuknya (belum dinikahi atau belum menjadi budak), menyetubuhi binatang. Yang lebih parah, apabila yang disetubuhi masih ada hubungan mahrom.
Sebab Jima’ yang Halal
Sekarang kita melihat jima’ yang masyru’ (yang halal). Ada dua sebab yang menyebabkan jima’ menjadi halal, yaitu akad nikah dan pemilikan hamba sahaya.
Pasangan yang telah menikah boleh menyetubuhi pasangannya kapan pun itu. Waktu yang dikecualikan adalah ketika haidh, mendapati nifas, dalam keadaan dizhihar sebelum bayar kafaroh, dalam keadaan ihrom dan beberapa kondisi lainnya. Mengenai halalnya hubungan badan keduanya disebutkan dalam firman AllahTa’ala,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5-7).

Dalam ayat di atas disebutkan pula mengenai halalnya hamba sahaya yang dimiliki oleh tuannya, artinya ia boleh disetubuhi layaknya istri. Bahkan para ulama tidak berselisih pendapat tentang bolehnya menyetubuhi hamba sahaya yang telah sah dimiliki, sekali pun tanpa melalui akad nikah. Ibnu Qudamah berkata, “Hamba sahaya memberikan manfaat dalam kepemilikan, termasuk di dalamnya adalah bolehnya disetubuhi (oleh tuannya).”

Pahala Jima’ yang Halal
Dalam hadits riwayat Muslim, dari Abu Dzar Al Ghifari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ »
Hubungan badan antara kalian (dengan isteri atau hamba sahaya kalian) adalah sedekah. Para sahabat lantas ada yang bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala’.” (HR. Muslim no. 1006)

Berdasarkan hadits di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa pahala seorang pria yang menyetubuhi istri atau budaknya bisa diraih jika didasari niat yang sholeh, yaitu untuk menjaga dirinya atau pula pasangannya agar tidak terjerumus dalam yang haram. Atau jima’ tadi diniatkan untuk menunaikan hak dari pasangannya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan. Atau hubungan badan tadi bertujuan untuk mencari keturunan sehingga anak-anaknya kelak bisa mewariskan ilmu orang tuanya dan bisa semakin menyemarakkan Islam. Inilah niatan-niatan sholeh yang dimaksud.

Lantas bagaimana jika hubungan badan tersebut hanya ingin memuaskan nafsu syahwat dengan istri atau budak, tidak diniatkan dengan niatan sholeh seperti dicontohkan di atas? Hal ini terdapat khilaf (beda pendapat) di antara para ulama. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa keadaan seperti itu tetap mendapatkan pahala. Sebagian lainnya mengatakan tidak. Yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat terakhir, yaitu tidak mendapati pahala karena tidak didasari niat yang sholeh saat berhubungan badan. Dalil penguatnya di antaranya adalah hadits berikut,
إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهْوَ يَحْتَسِبُهَا ، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
Jika seorang muslim berinfak pada keluarganya dengan maksud meraih pahala dari Allah, maka itu dinilai sedekah.” (HR. Bukhari no. 5351).
Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud hadits ini adalah sedekah dan infak secara umum dengan syarat ingin mengharap wajah Allah (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/88). Para ulama yang mengatakan mesti dengan niatan sholeh berkata, “Jika pada infak yang wajib saja disyaratkan meraih pahala Allah, bagaimana lagi dengan jima’ yang asalnya mubah?” Sehingga hal ini menunjukkan bahwa jima’ yang bisa berpahala adalah jika diniatkan meraih pahala atau didasari niatan sholeh dan tidak sekedar melampiaskan syahwat belaka.
Demikian bahasan kami seputar jima’ yang halal. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.


֎֎֎

Hubungan Seksual yang Terlarang

Saking ingin menambah cinta dan kemesraan, sebagian pasangan suami istri melakukan hubungan seks yang terlarang, apalagi ditambah karena tidak pernah “ngaji” atau mendalami ilmu agama. Karena jauh dari agama, apa pun dianggap halal.
Dalam hubungan seksual (coitus), asalnya boleh-boleh saja dengan berbagai cara asalkan tidak melanggar syariat atau tuntunan Islam. Berikut kami sebutkan dua hubungan seks yang terlarang, ditambah dengan bahasan hukum oral seksSemoga bermanfaat bagi pasutri sekalian.

Pertama: Seks anal
Seks anal adalah menyetubuhi istri pada duburnya (anus). Kita tahu bersama bahwa anus adalah tempat keluarnya kotoran dan berbagai macam kuman. Apalagi anus tidak menghasilkan cairan sebagaimana pada vagina wanita, sehingga dapat berakibat fatal bagi alat seksual saat berhubungan. Dari sinilah di antara alasan mengapa seks anal seperti ini terlarang.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama yang jadi rujukan dalam Islam bersepakat haramnya menyetubuhi istri pada duburnya baik saat wanita tersebut haid atau suci”. Ulama Syafi’iyah pun berpendapat, “Tidak halal menyetubuhi seseorang di duburnya begitu pula menyetubuhi hewan seperti itu dalam keadaan apa pun itu. Wallahu a’lam.” (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10: 6). Hadits yang mendasari larangan ini adalah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا
Benar-benar terlaknat orang yang menyetubuhi istrinya di duburnya.” (HR. Ahmad 2: 479. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits tersebut hasan)
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Allah Ta’ala pun menerangkan bahwa kita hendaknya menyetubuhi istri di kemaluan. Dalam sebuah ayat disebutkan,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al Baqarah: 223).

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “ ‘الْحَرْثُ’ dalam ayat tersebut bermakna tempat bercocok tanam. Artinya, anak itu tumbuh dari hubungan di kemaluan dan bukan di dubur. Jadi maksud ayat tersebut adalah setubuhilah istri kalian pada kemaluannya, tempat tumbuhnya janin. Sedangkan makna ‘أَنَّى شِئْتُمْ’ yaitu sesuka kamu bagaimana variasi hubungan seks, mau dari arah depan atau belakang, atau antara keduanya, atau pun dari arah kiri. Dalam ayat tersebut, Allah menyebut wanita sebagai ladang dan dibolehkan mendatangi ladang tersebut yaitu pada kemaluannya. Selain atsar disebutkan bahwa seks anal semacam ini termasuk bentuk liwath shugro (sodomi yang ringan). Dalam hadits yang shahih juga disebutkan,
إنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي حُشُوشِهِنَّ
Sungguh Allah tidaklah malu dari kebenaran. Janganlah kalian menyetubuhi wanita di duburnya” (HR. Al Baihaqi). Kata “الْحُشُّ” yang dimaksud adalah dubur, yaitu tempat yang kotor. Allah Ta’ala sendiri mengharamkan menyetubuhi wanita haid karena adanya haid di kemaluaannya. Bagaimana lagi jika yang disetubuhi adalah tempat yang keluarnya najis mughollazhoh (najis yang berat)? Seks anal tidak dipungkuri lagi termasuk jenis liwath (sodomi). Menurut madzhab Abu Hanifah, Syafi’iyah, pendapat Imam Ahmad dan Hambali, perbuatan seks anal ini haram, tanpa adanya perselisihan di antara mereka. Demikian pula hal ini menjadi pendapat yang nampak pada Imam Malik dan pengikutnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 267-268)

Kedua: Hubungan seks saat menstruasi
Sebagian kalangan ada yang menghalalkan di saat wanita menstruasi (haid). Padahal dari sisi kesehatan pun sangat tidak dianjurkan karena:
1. Saat haid terjadi peluruhan lapisan endometrium (lapisan dinding rahim bagian dalam) yang mengandung berbagai  macam protein serta asam amino. Namun, jika ternyata tidak terjadi pembuahan, maka endometrium tersebut bisa menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan berbagai penyakit. Nah, bisa dipastikan kuman penyakit yang masuk ke endometrium ini masuk melalui pintu vagina. Selain vagina, penis juga bisa membawa kuman penyakit dari luar.
2. Jika si perempuan menderita salah satu dari sekian banyak penyakit STD (Sexually Transmitted Diseases) seperti herpes dan gonorrhea, maka darah haid merupakan medium yang sangat baik untuk berpindahnya virus atau bakteri penyebab penyakit tersebut kepada pasangan.
3. Saat haid, vagina dipastikan dalam kondisi yang sangat sensitif. Jika dipaksakan terjadi penetrasi, biasanya si perempuan akan merasa sakit dan perih karena terkoyak. Jika sudah begini, maka akan membutuhkan waktu lama untuk penyembuhan.
4. Para pakar kesehatan mengatakan, saat terjadinya penetrasi dikhawatirkan akan ada udara masuk ke dalam rahim sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan, bahkan bisa mengantar kepada kematian.
Dari segi dalil dan pendapat ulama, hubungan seksual saat haid terlarang. Imam Nawawi rahimahullahberkata, “Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.” (Al Majmu’, 2: 359) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haid yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)

Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, atau mendatangai dukun, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.”
Hubungan seks yang dibolehkan dengan wanita haid adalah bercumbu selama tidak melakukan jima’ (senggama) di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haid) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)
Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?”   (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haid di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haid atau selain kemaluannya.

Bagaimana dengan Seks Oral?
Bagi kebanyakan pasangan, seks oral (oral seks) biasanya dilakukan sebagai bagian dari pemanasan atau foreplay.  Kaum lelaki banyak yang menyukai aktivitas ini sebab oral seks mampu membakar fantasi mereka dalam meraih kepuasan.  Pria biasanya merasakan kenikmatan yang lebih tinggi dalam menerima maupun memberikan seks oral.

Namun bagaimana Islam menilai perbuatan seks semacam ini?
Mengenai hukum oral seks (jika yang dimaksud adalah mencium kemaluan pasangan saat berhubungan) diperselisihkan oleh para ulama. Ulama Hambali membolehkan mencium kemaluan istri sebelum jima’, namun dimakruhkan jika dilakukan setelah itu. Hal ini yang disebutkan dalam kitab Kasyful Qona’, salah satu buku fikih madzhab Hambali. Yang bermasalah, jika yang dicium adalah kemaluan yang sudah terdapat najis seperti kencing dan madzi.

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya, “Bolehkah seorang wanita mencium kemaluan suaminya, begitu pula sebaliknya?”
Jawab beliau rahimahullah, “Hal ini dibolehkan, namun dimakruhkan. Karena asalnya pasutri boleh bersenang-senang satu dan lainnya, menikmati seluruh badan pasangannya kecuali jika ada dalil yang melarang. Boleh antara suami istri menyentuh kemaluan satu dan lainnya dengan tangannya dan memandangnya. Akan tetapi, mencium kemaluan semacam itu tidak disukai oleh jiwa karena masih ada cara lain yang lebih menyenangkan.”

Sehingga saran kami, cara seks oral sebaiknya dijauhi apalagi mengingat bahaya dari sisi kesehatan. Kata seorang konsultan seks, dr Ferryal Loetan, ASC&T, MMR, SpRM, M.Kes, “Di dalam mulut terdapat banyak air liur yang dapat menularkan penyakit. Sebab di dalam air liur manusia, terdapat beberapa kuman dan bakteri. Demikian pula dengan berbagai macam jamur, yang biasa menempel di tubuh manusia. Ketiganya bisa mengakibatkan penyakit saat kita melakukan oral seks.” Jika seks oral membawa dampak bahaya seperti ini, maka sudah seharusnya dijauhi karena mengingat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ
Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits inishahih).
Semoga bahasan ini bermanfaat bagi pasutri. Semoga dengan cara hubungan seksual yang halal bisa memupuk cinta kasih terhadap pasangan. Setiap hubungan seksual pun butuh kesadaran untuk bertakwa pada Allah.


֎֎֎

Hukum Onani

Kalangan remaja atau dewasa tidak sedikit yang kecanduan dengan onani. Remaja yang pergaulannya tidak karuan, atau pasutri yang saling berjauhan, banyak yang mengambil onani sebagai solusi untuk memenuhi hasrat seksual. Bahasan kali ini akan meninjau bagaimana pandangan Islam mengenai onani (masturbasi).
Mengenal Istilah “الاستمناء
Dalam bahasa Arab dikenal istilah “الاستمناء”, yaitu memaksa keluarnya mani. Atau secara istilah didefinisikan, “الاستمناء” adalah mengeluarkan mani dengan cara selain jima’ (bersenggama/coitus) dan cara ini dinilai haram seperti mengeluarkan mani tersebut dengan tangan secara paksa disertai syahwat, atau bisa pula “الاستمناء” dilakukan antara pasutri dengan tangan pasangannya dan cara ini dinilai boleh (tidak haram).
Dalam kitab I’anatuth Tholibin (2:255) disebutkan makna “الاستمناء” adalah mengeluarkan mani dengan cara selain jima’ (senggama), baik dilakukan dengan cara yang haram melalui tangan, atau dengan cara yang mubah melalui tangan pasangannya.
Istilah “الاستمناء” di sini sama dengan onani atau masturbasi.

Wasilah (Perantara) Onani
Onani bisa dilakukan dengan tangan, atau cara bercumbu lainnya, bisa pula dengan pandangan atau sekedar khayalan. Kita akan mengulas ketiga cara tersebut. Onani dengan bercumbu yang dimaksud adalah seperti dengan menggesek-gesek kemaluan pada perut, paha, atau dengan cara diraba-raba atau dicium dan tidak sampai terjadi senggama pada kemaluan. Pengaruh onani semacam ini sama dengan onani dengan tangan.

Hukum Onani
Onani dengan hanya sekedar untuk membangkitkan syahwat, hukumnya adalah haram secara umum. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (29) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (30) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (31)
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Ma’arij: 29-31). Orang yang melampaui batas adalah orang yang zholim dan berlebih-lebihan. Allah tidaklah membenarkan seorang suami bercumbu selain pada istri atau hamba sahayanya. Selain itu diharamkan. Namun, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Imam Ahmad, hukum onani itu makruh tanzih (sebaiknya dijauhi).

Jika onani dilakukan untuk menekan syahwat dan takut akan terjerumus zina, maka itu boleh secara umum, bahkan ada yang mengatakan wajib. Karena kondisi seperti ini berarti melakukan yang terlarang di saat darurat atau mengerjakan tindakan mudhorot yang lebih ringan.
Imam Ahmad dalam pendapat lainnya mengatakan bahwa onani tetap haram walau dalam kondisi khawatir terjerumus dalam zina karena sudah ada ganti onani yaitu dengan berpuasa.
Ulama Malikiyah memiliki dua pendapat. Ada yang mengatakan boleh karena alasan kondisi darurat. Ada yang berpendapat haram karena adanya pengganti yaitu dengan berpuasa.

Ulama Hanafiyah seperti Ibnu ‘Abidin berpendapat bahwa jika ingin melepaskan diri dari zina, maka onaniwajib dilakukan.
Dari berbagai pendapat yang ada, penulis menilai pendapat yang menyatakan onani itu haram lebih kuat seperti pandangan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Karena syahwat tidak selamanya dibendung dengan onani. Dengan sering berpuasa yaitu puasa sunnah akan mudah membendung tingginya syahwat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemudabarangsiapa yang memiliki baa-ah (kemampuan untuk menikah), maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)

Onani Melalui Istri
Mayoritas ulama menilai bolehnya onani jika yang melakukan adalah pasangannya (istrinya), seperti mengeluarkan mani dengan cara kemaluan si suami digesek pada paha atau perut istri selama tidak dilakukan pada kondisi terlarang (yaitu seperti ketika puasa, i’tikaf atau saat berihram ketika haji dan umrah).
Namun ulama lainnya mengatakan perilaku onani dari pasangan (istri) dinilai makruh. Dalam Nihayah Az Zaindan Fatawa Al Qodi disebutkan, “Seandainya seorang istri memainkan kemaluan suami dengan  tangannya, hukumnya makruh, walau suami mengizinkan dan keluar mani. Seperti itu menyerupai perbuatan ‘azl(menumpahkan mani di luar kemaluan istri). Perbuatan ‘azl sendiri dinilai makruh.”

Wajib Mandi Setelah Onani
Para ulama sepakat bahwa yang melakukan onani wajib mandi (janabah atau junub) jika mani keluar dengan terasa nikmat dan memancar. Sedangkan ulama Syafi’iyah tidak memandang jika mani keluar tanpa terasa nikmat dan memancar. Asalkan keluar mani saat onani, mereka nyatakan tetap wajib mandi. Demikian pula pendapat Imam Ahmad dan pendapat yang tidak masyhur dalam madzhab Malikiyah.
Sedangkan jika melakukan onani dan ia menahan mani agar tidak keluar, maka tidak diwajibkan mandi. Karena wajibnya mandi di sini dikaitkan dengan melihat ataukah tidak.


Pengaruh Onani pada Puasa
Onani dengan tangan membatalkan puasa menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hambali dan sebagian besar ulama Hanafiyah. Karena penetrasi tanpa keluar mani saja membatalkan puasa. Maka tentu saja jika keluarnya mani dengan syahwat jelas membatalkan puasa. Jika puasanya batal, hal ini tidak disertai adanya kafaroh seperti jima’ (senggama) saat puasa karena tidak ada dalil yang mewajibkan adanya kafaroh. Demikian pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah.

Bahaya Onani dari Sisi Kesehatan
1.    Ejakulasi dini atau terlalu cepat selesai ketika melakukan hubungan seks yang sebenarnya. Ketika melakukan onani, biasanya orang cenderung melakukannya secara terburu-buru dengan harapan dapat segera mencapai orgasme. Cara onani yang terburu-buru ini akan membiasakan sistem syaraf untuk melakukan seks secara cepat ketika sedang bercinta. Dan hasilnya adalah ejakulasi dini.
2.    Gairah seks yang lemah ketika sudah berumah tangga. Keinginan untuk melakukan hubungan seks kadang sangat rendah karena sudah terbiasa melakukan onani ketika masih muda.
3.    Orang-orang zaman dulu menyebut onani yang berlebihan akan menyebabkan kebodohan karena selalu membayangkan hal-hal porno dan orientasi pikiran selalu negatif.
4.    Badan jadi kurus dan lemah. Karena pikiran selalu negatif dan berpikir yang porno-porno membuat banyak energi yang terkuras. Hal ini menyebabkan badan menjadi kurus kering.
5.    Sulit menikmati hubungan seks yang sebenarnya bersama wanita. Karena sejak remaja sudah terbiasa merasakan seks secara manual atau onani. Penis yang terbiasa dengan tekanan tertentu dari tangan menjadi tidak responsif terhadap rangsangan dari vagina.
6.    Perasaan bersalah karena terlalu sering onani menimbulkan rasa minder dan tidak percaya diri di lingkungan sosial.
7.    Bagi wanita muda yang senang masturbasi atau onani bisa merobek lapisan hymen keperawanannya.
8.    Mengalami impotensi atau gagal ereksi ketika berhubungan. Orang yang melakukan onani sudah terbiasa menciptakan rangsangan yang bersifat mental berupa khayalan-khayalan, hal tersebut membuat penis tidak terbiasa dengan rangsangan fisik ketika berhubungan seks yang sebenarnya.
9.    Jadi sering melamun dan pikiran selalu negatif membuat adaptasi sosial menjadi terbatas.

Solusi dari Onani
Para ulama memberi nasehat bagi orang yang sudah kecandu onani, hendaklah ia perbanyak do’a, rajin menundukkan pandangan dari melihat yang haram, dan rajin berolahraga untuk menurunkan syahwatnya. Namun jika ia dihadapkan pada dua jalan yaitu berzina ataukah onani, maka hendaklah ia memilih mudhorot yang lebih ringan yaitu onani, sambil diyakini bahwa perbuatan tersebut adalah suatu dosa sehingga ia patut bertaubat, memperbanyak istighfar dan do’a.
Solusi yang bisa dirinci:
1.    Banyak berdo’a dan bertaubat kepada Allah, untuk berhenti dari onani selamanya.
2.    Harus memiliki tekad, kemauan, dan motivasi yang kuat dari diri sendiri.
3.    Bergaullah dengan orang-orang yang alim, cerdas, sholeh, beriman, bertakwa. Hindarilah lingkungan pergaulan yang membawa Anda menuju “lembah maksiat” atau “dunia hitam” atau bergaul dengan orang yang hobi onani. Teman karib yang baik sangat berpengaruh pada seseorang ibarat seseorang yang berteman dengan penjual minyak wangi. Kalau tidak diberi gratis, kita bisa dapat bau harumnya secara cuma-cuma. Sibukkan diri dengan beribadah terutama banyak melakukan puasa sunnah karena puasa akan mudah mengekang syahwat. Sibukkan diri pula dengan menjaga shalat berjamaah, shalat malam, berzikir, dan membaca Alquran serta melakukan hal bermanfaat seperti olahraga.
4.    Jika Anda “hobi beronani”, berhati-hatilah atau waspadalah dengan kanker prostat! Sebab, hasil riset yang dilakukan oleh Universitas Nottingham Inggris, menyatakan bahwa pria berusia antara 20-30 tahun yang “gemar beronani” memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena kanker prostat. Juga, Sebanyak 34% atau 146 dari 431 orang yang terkena kanker prostat sering melakukan onani mulai usia 20 tahun. Sekadar tambahan, kanker prostat adalah penyakit kanker yang berkembang di kelenjar prostat, disebabkan karena sel prostat bermutasi dan mulai berkembang di luar kendali.
5.    Hindari melihat tontonan, tayangan, gambar, video, yang “syur”, “aduhai”, atau porno, baik di internet, televisi, VCD, DVD, dsb. Hindari juga “bacaan dewasa”, “kisah panas”, atau “bumbu-bumbu seksual”.
6.    Sadarilah bahwa onani hanya akan menghabiskan energi dan waktu Anda yang sebenarnya dapat Anda gunakan untuk melakukan hal-hal lainnya yang bermanfaat.

Tinggalkanlah onani dan tempuh cara yang halal, lalu ingatlah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)


֎֎֎

Hukum Oral Seks

Bagi kebanyakan pasangan, seks oral (oral seks) biasanya dilakukan sebagai bagian dari pemanasan atau foreplay.  Kaum lelaki banyak yang menyukai aktivitas ini sebab oral seks mampu membakar fantasi mereka dalam meraih kepuasan.  Pria biasanya merasakan kenikmatan yang lebih tinggi dalam menerima maupun memberikan seks oral.

Namun bagaimana Islam menilai perbuatan seks semacam ini?
Mengenai hukum oral seks (jika yang dimaksud adalah mencium kemaluan pasangan saat berhubungan) diperselisihkan oleh para ulama. Ulama Hambali membolehkan mencium kemaluan istri sebelum jima’, namun dimakruhkan jika dilakukan setelah itu. Hal ini yang disebutkan dalam kitab Kasyful Qona’, salah satu buku fikih madzhab Hambali. Yang bermasalah, jika yang dicium adalah kemaluan yang sudah terdapat najis seperti kencing dan madzi.

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya, “Bolehkah seorang wanita mencium kemaluan suaminya, begitu pula sebaliknya?”
Jawab beliau rahimahullah, “Hal ini dibolehkan, namun dimakruhkan. Karena asalnya pasutri boleh bersenang-senang satu dan lainnya, menikmati seluruh badan pasangannya kecuali jika ada dalil yang melarang. Boleh antara suami istri menyentuh kemaluan satu dan lainnya dengan tangannya dan memandangnya. Akan tetapi, mencium kemaluan semacam itu tidak disukai oleh jiwa karena masih ada cara lain yang lebih menyenangkan.”  (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 100: 13, Asy Syamilah)

Syaikh Musa Hasan Mayan (anggota Markaz Dakwah dan Bimbingan Islam di kota Madinah KSA, murid Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Syaikh Ibnu Baz) ditanya, “Apa hukum mencium kemaluan pasutri satu dan lainnya?”
Jawab beliau hafizhohullah, “Tidak mengapa melakukan seperti itu. Seorang pria boleh saja bersenang-senang dengan istrinya dengan berbagai macam cara, ia boleh menikmati seluruh tubuhnya selama tidak ada dalil yang melarang. Namun tidak boleh ia menyetubuhi istrinya di dubur dan tidak boleh berhubungan seks dengan istrinya di masa haid. Sedangkan mencium kemaluan pasangannya, tidak ada masalah. Itu adalah tambahan dari yang dihalalkan karena tidak ada dalil yang mengharamkan, syari’at pun mendiamkannya. Sehingga oral seks semacam itu kembali ke hukum asal yaitu boleh. Yang menyatakan haramnya harus mendatangkan dalil, namun sebenarnya tidak ada dalil yang melarang perbuatan semacam ini. Kebenaran adalah di sisi Allah.

Kebanyakan ulama terdahulu dan belakangan membolehkan suami menghisap payudara istrinya walaupun sampai ia meminum susunya. Mengenai hal ini tidaklah haram menurut pendapat yang lebih kuat. Karena yang bisa menjadikan mahram (haram untuk dinikahi) adalah persusuan pada bayi sampai ia berusia dua tahun. Jika menghisap payudara istri saja boleh, maka tentu saja boleh mencium kemaluan sesama pasangan.

Adapun ulama belakangan –semoga Allah beri taufik pada mereka- yang melarang perbuatan ini beralasan karena kemaluan adalah tempat keluarnya najis seperti kencing. Maka tentu saja seperti itu tidak boleh dicium. Alasan seperti ini cukup disanggah bahwa yang dimaksud boleh mencium kemaluan adalah ketika keadaan suci, bukan ketika telah keluar najis. Karena jika sudah ada najis, tentu wajib dibersihkan (istinja’) dan dicuci. Jika sudah dicuci dan telah berwudhu, tentu keadaannya Allah terima sebagai bagian tubuh yang suci.

Kesimpulan kami, mencium kemaluan pasangan pada saat suci (bersih), dibolehkan. Sedangkan jika telah keluar najis, maka tentu tidak ada satu ulama pun yang membolehkannya karena perbuatan seperti ini telah keluar dari tabiat manusia normal.”


Saran kami, cara seks oral sebaiknya dijauhi apalagi mengingat ulama lainnya melarang keras perbuatan ini karena termasuk tasyabbuh (meniru-niru) gaya seksual barat atau non muslim. Selain itu perilaku semacam ini terdapat bahaya dari sisi kesehatan. Kata seorang konsultan seks, dr Ferryal Loetan, ASC&T, MMR, SpRM, M.Kes, “Di dalam mulut terdapat banyak air liur yang dapat menularkan penyakit. Sebab di dalam air liur manusia, terdapat beberapa kuman dan bakteri. Demikian pula dengan berbagai macam jamur, yang biasa menempel di tubuh manusia. Ketiganya bisa mengakibatkan penyakit saat kita melakukan oral seks.”

Di samping itu, hasil survey menunjukkan bahwa 50 % laki laki yang melakukan oral sex menderita kanker mulut. Penyakit yang diderita oleh pelaku oral seks bisa jadi adalah herpes di mulut atau alat kelamin, chlamydia dan gonorrhea menyerang bagian tenggorokan, HIV, HPV, sipilis, dan Hepatitis A.Mengerikan! Jika seks oral membawa dampak bahaya seperti ini, maka sudah sepantasnya dijauhi karena mengingat sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ
Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits inishahih).


֎֎֎

6 Keutamaan Mencari Nafkah

Kadang kita -sebagai suami- merasa lelah, capek sehingga banyak mengeluh. Pergi begitu pagi, pulang pun ketika matahari akan tenggelam, rasa lelah yang kita dapat. Kegiatan mencari nafkah sebenarnya suatu amalan yang mulia yang patut diniatkan dengan ikhlas sehingga bisa meraih pahala. Karena keutamaannya amat luar biasa, pahalanya yang besar, bahkan bisa sebagai tameng dari jilatan neraka.
Sebelum kita memahami keutamaan mencari nafkah, terlebih dahulu kita melihat bagaimanakah Islam mengajarkan prioritas dalam penyaluran harta atau penghasilan suami.

Prioritas dalam Pengeluaran Harta
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)
Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Battol rahimahullah menjelaskan:
Sebagian ulama menyebutkan bahwa pengeluaran harta dalam kebaikan dibagi menjadi tiga:
1.    Pengeluaran untuk kepentingan pribadi, keluarga dan orang yang wajib dinafkahi dengan bersikap sederhana, tidak bersifat pelit dan boros.  Nafkah seperti ini lebih afdhol dari sedekah biasa dan bentuk pengeluaran harata lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu” (HR. Bukhari).
2.    Penunaian zakat dan hak Allah. Ada ulama yang menyatakan bahwa siapa saja yang menunaikan zakat, maka telah terlepas darinya sifat pelit.
3.    Sedekah tathowwu’ (sunnah) seperti nafkah untuk menyambung hubungan dengan kerabat yang jauh dan teman dekat, termasuk pula member makan pada mereka yang kelaparan.
Setelah merinci demikian, Ibnu Battol lantas menjelaskan, “Barangsiapa yang menyalurkan harta untuk tiga jalan di atas, maka ia berarti tidak menyia-nyiakan harta dan telah menyalurkannya tepat sasaran, juga boleh orang seperti ini didengki (bersaing dengannya dalam hal kebaikan).” (Lihat Syarh Bukhari, Ibnu Battol, 5: 454, Asy Syamilah).

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskan, “Sebagian orang tatkala bersedekah untuk fakir miskin atau yang lainnya maka mereka merasa bahwa mereka telah mengamalkan amalan yang mulia dan menganggap sedekah yang mereka keluarkan itu sangat berarti. Adapun tatkala mengeluarkan harta mereka untuk memberi nafkah kepada keluarganya maka seakan-akan perbuatan mereka itu kurang berarti, padahal memberi nafkah kepada keluarga hukumnya wajib dan bersedekah kepada fakir miskin hukumnya sunnah. Dan Allah lebih mencintai amalan wajib daripada amalan sunnah.” (Sebagaimana penjelasan beliau dalam Riyadhus Shalihiin)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa mesti ada prioritas dalam penyaluran harta. Yang utama sekali adalah pada istri, anak, lebih lagi pada anak perempuan sebagaimana diterangkan dalam keutamaan mencari nafkah berikut ini. Setelah kewajiban pada keluarga, barulah harta tersebut disalurkan pada zakat dan sedekah sunnah.

Mengenai keutamaan mencari nafkah di antaranya dijabarkan dalam enam poin berikut ini.

Pertama: Nafkah kepada keluarga lebih afdhol dari sedekah tathowwu’ (sunnah)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi, pen)” (HR. Muslim no. 995).
Imam Nawawi membuat judul untuk hadits ini, “Keutamaan nafkah bagi keluarga dan hamba sahaya, serta dosa bagi orang yang melalaikan dan menahan nafkahnya untuk mereka”. Dalam Syarh Muslim (7: 82), Imam Nawawi mengatakan, “Nafkah kepada keluarga itu lebih afdhol dari sedekah yang hukumnya sunnah”.

Kedua: Jika mencari nafkah dengan ikhlas, akan menuai pahala besar
Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56). Imam Al Bukhari memasukkan hadits ini pada masalah ‘setiap amalan tergantung pada niat’. Ini menunjukkan bahwa mencari nafkah bisa menuai pahala jika diniatkan dengan ikhlas untuk meraih wajah Allah. Namun jika itu hanya aktivitas harian semata, atau yakin itu hanya sekedar kewajiban suami, belum tentu berbuah pahala.

Ketiga: Memberi nafkah termasuk sedekah
Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
Harta yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah” (HR. Ahmad 4: 131. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Keempat: Harta yang dinafkahi semakin barokah dan akan diberi ganti
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفً
Tidaklah para hamba berpagi hari di dalamnya melainkan ada dua malaikat yang turun, salah satunya berkata, “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang senang berinfak.” Yang lain mengatakan, “Ya Allah, berilah kebangkrutan kepada orang yang pelit.” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010). Seseorang yang memberi nafkah untuk keluarganya termasuk berinfak sehingga termasuk dalam keutamaan hadits ini.
Kelima: Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban apakah ia benar memperhatikan nafkah untuk keluarganya
Dari Anas bin Malik, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ
Allah akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin” (HR. Tirmidzi no. 1705. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan,
إن الله سائل كل راع عما استرعاه : أحفظ أم ضيع
Allah akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin, apakah ia memperhatikan atau melalaikannya” (HR. Ibnu Hibban 10: 344. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits inishahih).

Keenam: Memperhatikan nafkah keluarga akan mendapat penghalang dari siksa neraka
‘Adi bin Hatim berkata,
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
Selamatkanlah diri kalian dari neraka walau hanya melalui sedekah dengan sebelah kurma” (HR. Bukhari no. 1417)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ
“Ada seorang ibu bersama dua putrinya menemuiku meminta makanan, akan tetapi ia tidak mendapati sedikit makanan pun yang ada padaku kecuali sebutir kurma. Maka aku pun memberikan kurma tersebut kepadanya, lalu ia membagi sebutir kurma tersebut untuk kedua putrinya, dan ia tidak makan kurma itu sedikit pun. Setelah itu ibu itu berdiri dan pergi keluar. Lalu masuklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku pun mengabarkannya tentang ini, lantas beliau bersabda,
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka” (HR. Bukhari no 1418 dan Muslim no 2629).
Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَنْفَقَ عَلَى ابْنَتَيْنِ أَوْ أُخْتَيْنِ أَوْ ذَوَاتَىْ قَرَابَةٍ يَحْتَسِبُ النَّفَقَةَ عَلَيْهِمَا حَتَّى يُغْنِيَهُمَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ أَوْ يَكْفِيَهُمَا كَانَتَا لَهُ سِتْراً مِنَ النَّارِ
Barangsiapa mengeluarkan hartanya untuk keperluan kedua anak perempuannya, kedua saudara perempuannya atau kepada dua orang kerabat perempuannya dengan mengharap pahala dari Allah, lalu Allah mencukupi mereka dengan karunianya, maka amalan tersebut akan membentengi dirinya dari neraka” (HR. Ahmad 6: 293. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if)
Dua hadits terakhir ini menerangkan keutamaan memberi nafkah pada anak perempuan karena mereka berbeda dengan anak laki-laki yang bisa mencari nafkah, sedangkan perempuan asalnya di rumah.
Ya Allah, berikanlah kami taufik untuk mencari nafkah dengan ikhlas dan cara yang halal sehingga kami pun terbebas dari siksa neraka dan dimasukkan dalam surga.

֎֎֎