Keterangan :
Tulisan bercetak miring adalah ulasan masa lalu.
.
.
.
Sudah kesekian puluh menit manik hitam wanita tua itu hanya mengekori tubuh tak mau diam milik anak perempuan di sana. Bergerak tubuhnya ke kanan, lalu kembali berjalan ke kiri beberapa detik setelahnya, ke kanan, kemudian ke kiri, begitu seterusnya. Ia nampak terlalu sibuk, bahkan hanya untuk sekadar menghela napas saja. Demi Tuhan! Menggerakkan matamu dengan kecepatan angin tak bisa tidak membuatmu jengah. Demikian pula dengan wanita tua itu.
“Penjepit daging! Aku lupa penjepit dagingnya!” si anak perempuan itu berseru seorang diri, masih menenggelamkan diri pada kegiatan individualnya. Beberapa potong daging yang masih merona tanda segar, terkulai kaku di atas sebuah panggangan yang berdiri cukup tinggi. Menghasilkan kabut asap tipis dengan aroma sedap yang dengan nakalnya akan menggamit hidungmu dan merasuk hingga menjejak di dinding kerongkongan laparmu.
“Biar Nenek yang mengambilnya, sepertinya ada di gudang,” suara wanita tua itu membuat si gadis kecil menoleh dan memamerkan ekspresi senangnya.
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Nek.”
Si ‘Nenek’ menepukkan tangannya ke kepala gadis itu dengan perasaan gemas, kemudian memilih untuk segera berlalu.
Matanya sedikit menyipit ketika bersua dengan kondisi gudang yang hanya disinari oleh temaram lampu di sudut ruangan. Ia juga agak tersentak kaget saat sofa yang didudukinya tiba-tiba melahirkan suara derit yang menjerit-jerit, mungkin karena telah habis digerus waktu.
Keringatnya meluncur dengan seketika saja, bisa jadi karena ruangan ini terlalu pengap untuk wanita setua dirinya. Celah-celah ventilasi yang ada tak cukup menjadi media terjadinya sirkulasi udara. Belum lagi penjepit daging yang menjadi menu utama kedatangannya ke tempat ini, tak juga dijumpainya.
Bunyi ‘klontang’ agak nyaring tiba-tiba terdengar manakala ia menjatuhkan sebuah buku tebal ke atas ‘sesuatu’ entah apa. Dipungutnya benda itu. Ia sedikit mengernyit bingung pada kotak kaleng yang dibungkus debu tebal di genggamannya, membuka perlahan-lahan mozaik ingatan yang hilang berhamburan kepingannya tentang kotak itu.
Ada suara jerit si sofa lagi tatkala ia duduk di atasnya, kemudian membuka pelan-pelan kotak itu, takut debunya menusuk mata. Lalu ia tertawa. Betapa tawanya sarat akan rasa lega dan geli, ketika didapatinya sebuah buku besar namun tak terlalu tebal dengan tulisan “Album Kenangan” tertera di mukanya. Ia membuka lembar-lembar halaman yang masih utuh itu dengan wajah yang cerah, dan tawa kembali merongrong di ruangan kecil itu.
Ada foto-foto dirinya bersama sahabat-sahabatnya dahulu kala.
Dahulu sekali, saat ia berada dalam fase terproduktif dalam masa hidupnya. Masa produktif dalam berkarya dan bercita-cita, yang anak remaja zaman sekarang menyebutnya ‘masa muda’.
Atmosfir tiba-tiba berubah meneduh. Ia tersenyum senang namun bercampur getir ketika memandang foto-foto itu. Dan kedua matanya berhenti di salah satu foto yang paling besar. Dipandanginya seorang gadis cantik yang tersenyum sembari merangkul dirinya. Kawan hidup dan matinya. Karena sampai entitas asli dari potret gadis itu ‘pulang’ kepada-Nya mendahului dirinya, mereka tetaplah menjadi sepasang kawan.
Ia membuai perlahan potret gadis itu. Bibir bergetarnya mendesiskan sesuatu, “Sani.”
“Saniiiii!!”
“Berisik, Ami! Kau mau membuatku tuli muda?”
Yang ditegur hanya meringis, “Kau tahu tidak? Aku... aku... aah!” gadis itu berteriak seperti orang yang baru melihat kuntilanak tersedak biji durian.
Sani menunjukkan ekspresi ‘Tuhan-dosa-apa-aku-sehingga-diberi-sahabat-seperti-ini?’. Namun di detik selanjutnya, ia hanya pasrah sebab mafhum menyadari ke-slebor-an otak milik sahabatnya. “Apa? Kau digigit tomcat?”
Bibir tipis milik Ami nampak maju beberapa senti, “Bukan! Tapi...” wajahnya berubah girang lagi dengan seketika, sehingga tampak konyol namun menggemaskan di mata Sani. “Kak Raven tersenyum ke arahkuu!”
Ada keterkejutan yang terpancar dari air muka Sani, “Hah? Bagaimana bisa?”
Ami berdehem sebentar, seperti petinggi negara yang hendak menyampaikan pidato kampanye di depan rakyatnya, “Tadi aku sedang di kantin, mati-matian bujuk Bu Ratih agar aku boleh mengutang lagi. Tapi, Bu Ratih malah ngamuk-ngamuk gitu.”
Sani melongo dengan parah. Ya ampun, anak ini menceritakan hal itu dengan begitu polosnya, batinnya. “Lalu?”
“Lalu ada Kak Raven datang bersama teman-temannya, dan... dan... dia tersenyum, ke arahku. Oh, indahnya duniaa!”
Sebuah helaan napas terdengar dari mulut Sani. “Itu, sih, bukan tersenyum, tapi ngetawain.”
“Heh? Kenapa begitu? Dia jelas tersenyum. Atau jangan-jangan, kau iri yaa? Hm? Hm?” Ami memainkan kedua alisnya sambil tersenyum penuh arti ke arah sahabatnya.
“Iri? Untuk apa?” Sani berkelit, namun tak dapat dipungkiri bahwa ada warna merona di kedua pipinya. “Dengar ya, Ami, Kak Raven itu idola sekolah kita. Lihat saja potret hidupnya ke belakang! Mantannya saja se-abreg, cantik dan seksi pula. Mana mau dia melirik kita yang ingusan ini?” terdengar nada skeptis dalam suara serak milik Sani.
Ami terdiam merenung, “Benar juga,” ia menatap tubuhnya sendiri, lalu menghela napas berat, “Mana mau dia denganku.”
Sani sedikit iba dengan nasib prihatin sahabatnya, ia menepuk-nepuk pundak gadis itu, membagi ketenangan. “Dengar, suatu saat nanti akan ada pria yang lebih ba---“
“Tapi masih ada peluang!” Ami bersahut sendiri, sebuah senyum girang tergurat di wajahnya.
Sani mendengus pasrah, “Dasar keras kepala.”
“Ayo, kita menjadi seksi!!”
Wanita tua itu, sekali lagi, tersenyum menatap kepolosan yang menguar dari wajahnya dan wajah sahabatnya. Betapa ia rindu. Rindu yang gadis itu bawa hingga ke dalam tanah tempat peraduan terakhirnya, menemani senyapnya. Menggantikan dirinya.
Mata dengan kerutan di kulit sekitarnya itu pun beralih pada seorang pemuda ‘unik’ yang tengah duduk di rerumputan, dengan jari tangan telunjuk dan jempolnya membentuk semacam huruf ‘L’. Pose yang paling disukainya. Huruf ‘L’ itu ‘Liberal’, katanya. Ia memang mencintai kebebasan. Namun bukan kebebasan yang membutakan, tentunya.
“Si Jayus,” gumam wanita itu.
Terakhir, kedua matanya tertambat dengan sempurna kepada sosok seorang pemuda yang berdiri menyandar pada batang pohon dengan kedua lengan yang melipat di dada. Aura di sekitar wanita itu, seketika berubah muram secara gaib.
“Cowok sok keren,” desisnya.
Jika ia menatap wajah sahabat-sahabatnya yang terlukis di sana dengan senyuman, maka yang terjadi saat ia memandang pria dingin ini adalah sebaliknya. Ia membenci pria ini. Ralat! Sangat membencinya. Begitu dalam perasaan itu hingga membuatnya sesak.
“Cewek Barbar.”
“Apa kau bilang?!”
“Kubilang geser! Aku mau duduk.”
“Kau buta atau apa? Tempat ini masih luas, carilah tempat duduk yang lain.”
"Tidak mau,” pemuda itu masih bergeming di tempatnya, “Aku mau kamu yang geser.”
Si gadis menghembuskan napasnya kencang-kencang, menahan amarah, “Kalau aku tidak mau, kau mau apa?”
Gelas berisi jus di atas meja kantin itu tiba-tiba diangkat oleh tangan besar milik si pemuda, ditumpahkannya dengan tenang ke atas kepala gadis itu, “Mau ini.”
Terperanjat tubuh si gadis saat cairan amis itu meluruh dari atas kepala membasahi rambut dan pakaiannya. Ia berdiri menghentak dan menghadap si pemuda dengan telunjuk yang menuding-nuding wajah dinginnya, “KAU! Ren brengsek!”
“Dan kau, Ami Cewek Barbar,” balasnya dengan wajah dan nada suara sedatar penggaris.
Si gadis lantas menyambar sebuah gelas berisi moccacino, disiramkannya ke wajah yang memuakkan baginya itu. “Aku membencimu, Cowok Sok Keren.”
Ren terdiam merasakan mukanya basah bercampur lengket. Ditatapnya dalam-dalam kedua mata Ami yang balik memandangnya dengan sorot membunuh, lalu ia menyeringai, “Cewek Barbar menyebalkan.”
Ia mendengus keras-keras saat memori itu tiba-tiba saja berkelebat di otaknya, seperti semacam video yang terputar berulang-ulang, menyakitkan kepalanya. Sungguh! Pemuda menyebalkan itu selalu membuat hidupnya dipenuhi dengan agoni dan elegi tanpa berkesudahan.
Wanita tua itu masih ingat masa-masa ketika Ren gemar sekali mem-bully dirinya. Selalu saja begitu. Seakan dia adalah gadis yang enak dijadikan sasaran penindasan pemuda itu. Dia sangat membencinya. Ya, mungkin akan selamanya seperti itu, jika...
“Sayang,” suara bariton seorang pria memporak-parikkan fantasi liarnya. Ia menoleh, mendapati suaminya berdiri tak jauh dari dirinya. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Si wanita tua menyunggingkan senyum lembut sambil mengawasi pria itu mendudukkan bokongnya di sofa yang sama dengannya. Suara derit yang memilukan kembali terdengar, kewalahan menahan beban dua tubuh manusia. “Hanya sedikit bernostalgia,” tuturnya.
Sang suami memperhatikan lembar buku yang dipegang istrinya itu, masih sangat bagus meski telah meretas ruang dan masa. Ia terkekeh, menampilkan gigi-gigi yang tersusun rapi walau usia telah mencapai lebih dari setengah abad. “Dasar Cewek Barbar.”
Wanita tua itu menatap wajah suaminya dengan tatapan sinis yang dibuat-buat, “Kau mau memulai pertengkaran seperti dulu lagi, Cowok Sok Keren?”
Lagi, suara tawa melengking dari mulut pria itu. Lalu matanya tiba-tiba menemukan benda lain di kotak kaleng yang tergeletak di bawah kakinya. Diraihnya benda itu, “Kau masih menyimpan ini?”
Si istri memperhatikan benda yang disodorkan sang suami di depan wajahnya. Sebuah dasi merah yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjelma menjadi bunga mawar yang indah. Tersungging seulas senyum di bibirnya, “Ya, untuk kenang-kenangan.”
Pria itu mau tak mau juga menyunggingkan senyum lembut. Dibelainya wajah tua namun tetap cantik milik istrinya itu menggunakan ‘bunga mawar merah’ di genggamannya. “Bukankah aku sudah mengganti ‘bunga’ ini dengan bunga melati seperti janjiku dulu?”
“Kau sedang apa di sini?”
Gadis itu menoleh, manik hitamnya berbenturan dengan sosok tinggi tegap milik seorang pria muda. Ia kembali memandang ke depan, ke langit biru yang dipenuhi awan yang berarak seolah menguasai cakrawala. Berdiam diri di atap sekolah memang membuat langit terasa lebih dekat, seakan batas atmosfir itu tiada. Laki-laki tersebut duduk di samping si gadis, bersama merasakan angin yang menampar-nampar wajah mereka dengan lembut.
“Acara perpisahan sekolah ini tidak seru. Aku bosan,” keluh sang gadis.
“Untuk ukuran cewek barbar sepertimu, mungkin hanya tawuran saja yang terasa seru.”
Ia cemberut, mendelik pria di sampingnya yang masih tenang menikmati desau angin. Diam-diam ia menatapnya. Mungkin sebentar lagi wajah dingin menyebalkan itu tak akan bisa muncul di retina matanya lagi. Ren akan terbang jauh. Meninggalkan segalanya di negeri ini menuju London. Meninggalkan dirinya.
Eh? Tunggu! Meninggalkan dirinya?
Ah! Dia hanya iri, mungkin. Hanya sebatas iri karena orang yang ia benci nyatanya sanggup berjalan jauh melampaui dirinya. Ren akan melanjutkan studinya ke London, dengan beasiswa di genggamannya.
Pria ini selalu menjadi enigma bagi dirinya. Ia tak tahu mengapa Ren selalu senang ‘menyiksa’ dirinya, mengapa akhir-akhir ini ia bersikap melembut padanya, membuatnya diam-diam merasakan ada yang bergetar di relung jiwanya.
Atau bagaimana perasaan laki-laki itu saat mengetahui bahwa ia akan pergi jauh.
Dua pasang mata itu tak sengaja secara bersamaan mendapati sesosok pemuda dengan seorang gadis di atas punggungnya. Mereka tampak sangat bahagia, seolah kiamat akan tiba sesaat lagi sehingga waktu yang tersisa digunakan untuk selalu bersama.
“Aku juga...” ucap Ren, masih tak mengalihkan pandangan dari dua sosok di bawah sana, “...ingin kau naik di punggungku seperti itu.”
Ami tampak tertegun. Sedikit banyak, ia insaf ke arah mana pembicaraan ini berlanjut. “Punggungmu terlalu dingin untuk kunaiki, dan terlalu keras untuk kurengkuh,” ada nada pilu yang berbaur dalam suaranya.
Ren menghela napas agak panjang. “Aku, belajar menjadi hangat dan lembut dari dirimu. Takkan kubiarkan guru berhargaku merasa kedinginan lagi karena sikapku.”
Gadis di sampingnya diam-diam tersipu dengan wajah bersemu. Ia menolak untuk menatap Ren, hingga tak menyadari bahwa ada rona tipis yang menghiasi wajah dingin itu.
“Maukah kau menungguku pulang dari London nanti?”
“Tidak mau,” tegas si gadis sambil memainkan ujung gaunnya malu-malu. Ekspresi pemuda di sampingnya sekilas menggambarkan kekecewaan dan putus asa, “Aku tidak mau menunggu lama, jadi cepatlah kembali.”
Ren terhenyak mendengarnya. Segurat senyum mampir di bibirnya. Senyum yang sarat akan kelegaan. Ia lalu melepas dasi merah yang dikenakannya, melipat dan membentuknya sehingga tercipta ‘bunga mawar merah’ yang cantik. Diselipkannya ‘bunga’ itu di telinga Ami. Diperhatikannya wajah manis itu lekat-lekat, dengan tatapan yang penuh berlumur kasih sayang.
“Simpanlah,” katanya dengan senyuman meneduhkan, membuat Ami sekejap menemukan cinta platonik yang bersemayam dalam senyuman itu, “Jika aku kembali, atas izin Tuhan, akan kuganti bunga itu dengan bunga melati di hari pernikahan kita.”
Pernahkah kuutarakan padamu, bahwa ada perasaan yang tidak bisa disampaikan lewat kata-kata?
Dengar, Dara, satu fakta tentang kejujuran.
Kata, tak mampu mewakilkan hati.
Namun hanya hatilah, yang mampu mewakilkan kata.
.
.
.
“NENEEK! DAGINGNYA GOSONG!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^