Panas terik sang mentari membakar kulit ditengah siang yang
kelak kan padam juga ditelan malam. Becak-becak berjejer rapi dipangkalan yang
berada tepat dibawah rindangnya pepohonan dipinggir jalan. Para pria paruh baya
menunggui becaknya masing-masing, keringat mengucur deras yang kemudian
disapu dengan handuk kecil yang terbalut dileher mereka. Meratapi jalanan yang
penuh dengan kendaraan bermotor dan riuh debu kota, dijaman yang serba canggih
ini becak-becak mereka hampir tak dibutuhkan lagi, orang-orang sudah banyak
yang memiliki kendaraan masing-masing. Padahal, keperluan untuk bertahan hidup
semakin hari semakin meningkat. Dalam satu hari, paling banyak tiga orang
penumpang yang mereka dapat.
Pak Kamdi salah satu diantara pria-pria itu, dialah yang
tertua diantara mereka. Nampak kerut-kerut perjuangan yang tergambar jelas
diraut wajahnya, bahunya yang dulu kekar kini bungkuk ditindih usia, seharusnya
lelaki tua seperti dia sudah tak selayaknya lagi bekerja membanting tulang.
Tapi jika bukan dia, siapa lagi? Istrinya telah meninggalkannya bertahun-tahun
silam, ia lari bersama laki-laki yang diharapkannya, laki-laki kaya atau orang
pejabat berdasi rapi. Ia menyesali pilihan yang terlampau dipilihnya, dulu ia
hanya memandang kecantikan dari wanita, bukan dari akhlak mulia atau
kesetiaannya. Entahlah... kini hal itu bukan sesuatu yang patut untuk disesali.
Kini ia hanya berjuang untuk Fahmi anak laki-laki semata wayangnya yang
sudah berumur dua puluh tujuh tahun. Tapi, diusia itu Fahmi tak bisa berbuat
apa-apa, untuk bicara, makan dan buang air saja pak Kamdi lah yang melayaninya,
Fahmi mengalami lumpuh seluruh tubuh sejak masih kecil.
Petang hampir menjelang, hari ini
hanya dua penumpang yang didapat, maklum... Para tukang becak tak bisa meraup
semua penumpang sendiri, mereka harus berbagi giliran, hampir tak ada bedanya
dengan tukang ojek.
“
Semuanya, saya pulang duluan ya! “ seru pak Kamdi pada teman-temannya.
“Yaa,
hati-hati pak “ Ucap mereka.
Dikayuhnya kuat-kuat pedal becak tua itu, walau terik sudah
hilang sedari tadi, keringat masih saja mengucur deras dikeningnya. Seorang tua
yang telah lelah memikul beban namun tetap bersabar menempuh hitam putih jalan
hidup ini. Meski kadang ia tertatih, semangat juangnya menjalani hidup demi
anaknya yang hanya menambah beban. Tidak, baginya anaknya bukanlah beban,
justru perjuangannya ini untuk anak tersayangnya. Jarak dari pangkalan menuju
rumah cukup jauh, nafas pak Kamdi mulai tersengal menghirup udara.
“Tiiittt...
Tiittt....“ Nyaring bunyi klakson mobil mewah dari arah belakang becak pak
Kamdi, hampir saja naas menimpanya, jika saja bukan nasib yang mencatat dirinya
selamat hari ini, habis sudah dirinya hancur bersama becak tuanya tertabrak
mobil itu. Genangan air dijalan menyapu wajah keriputnya. Sementara pemilik
mobil yang jelas salah itu bukanya segera turun dan meminta maaf, ia malah
mengumpat menyalahkan orang lain.
“Dasar
goblok...!! Hampir aja mobil gua lecet!” Caci pemilik mobil itu yang ternyata
seorang anak muda.
“Astagfirullah...
Ampunilah dosa-dosa anak muda itu Ya Allah.” Ucap pak Kamdi. Tak sedikitpun
marah dan dendam tampak diwajahnya. Tabah dalam dirinya begitu kuat, Meski
dalam sulitnya hidupnya, masih ada orang yang tega berbuat nista.
Sesampainya dirumah, kembali pemandangan yang mengharukan.
Anaknya terbaring lemah tak dapat berbuat apa-apa, tubuhnya kurus kering
bagaikan tulang berbalut kulit. Diusapnya kepala anak tersayangnya itu dengan
penuh kasih sayang. Sedikit sakit yang menggelitik dihatinya, menciptakan
setitik air diujung mata buru-buru dihapusnya, agar sang anak tak semakin
merasa menjadi beban. Dibenahinya semua pakaian kotor dari tubuh Fahmi, dengan
sabar ia mengelapi dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Diambilnya sepiring nasi yang telah dingin dari panci diatas
tungku berdebu, disuapinya anaknya dengan lauk seadanya. Ikan asin yang dibakar
karena tak ada minyak untuk menggoreng, memang apalagi yang diharapkan orang
miskin sepertinya? Hanya pada saat Hari Raya Idul Adha, ia dan Fahmi bisa makan
daging. Tidak seperti para petinggi negara yang makan enak setiap harinya.
Senja sudah tenggelam, adzan maghrib berkumandang. Segera di ambilnya
air wudhu. Dijalankannya kewajiban dengan sepenuh hati didalam rumah berdinding
kayu lapuk termakan usia seperti dirinya. Melepas kerinduan pada Yang Maha Kuasa,
melimpahkan jeritan-jeritan hatinya.
Ditengah malam, gelap begitu terasa. Hanya lampu-lampu tembok
yang terbuat dari botol bekas memancarkan sedikit cahaya untuknya. Di Tahajjud
malamnya ia bersimpuh, terucap seberkas do’a dari bibir kerinnya yang tak lain
untuk anaknya.
“Ya
Allah, Ya Tuhanku... Hanya padaMu aku memohon. Ampunilah dosa-dosaku, ampunilah
dosa anakku. Aku tak meminta segala sesuatu atas ketidak berdayaanku, hanya...
kumohon sembuhkanlah anakku, aku takut jika nanti aku pergi mendahuluinya tak
ada yang merawatnya. Ya Allah... Kabulkanlah doaku, sesungguhnya segala sesuatu
yang Kau berikan dan Kau putuskan adalah yang terbaik bagiku. Amiiin.
Begitulah
caranya menikmati indah malam.
Pagi-pagi buta ia sudah bersiap pergi mencari nafkah bersama
becak tuanya. Seperti hari biasa, pangkalan becak sepi penumpang, tapi apa
boleh buat ? Hanya kesabaran yang bisa diandalkan. Hari ini ada berita yang
cukup menghebohkan, katanya ada seorang gadis yang bunuh diri hanya karena tak
dibelikan orang tuanya handphone trend terbaru.
“Subhanallah,
pendek sekali pikiran anak gadis itu” kata pak Kamdi.
“ Betul
pak, bagaimana bisa dia bunuh diri hanya karena tidak dibelikan handphone,
sementara kita yang berkutat dengan nasib untuk mencari sesuap nasi ini, tak
pernah berpikir untuk mengakhiri hidup dengan cara yang dibenci Tuhan seperti
itu.” Kata salah seorang temannya.
“Sudah-sudah,
yang penting kita intropeksi diri kita masing-masing agar bisa lebih
mempertebal iman dan tidak melalukan perbuatan seperti itu. Kita doakan saja,
semoga dia diampuni Yang Maha Kuasa.” Pak Kamdi menasehati temannya yang lebih
muda itu.
“
Iya ya pak, kadang kita juga tidak menerawang dulu dalam diri kita sebelum
berucap. Astaghfirullah... “
“
Pak, gimana kabar si Fahmi, sehat-sehat saja kan? “ Tanya Bu Minah pemilik
warung disebelah pangkalan menyahut.
“Yahhh,
seperti itu keadaannya... Tapi Alhamdulillah sehat saja “ Jawab pak Kamdi
seraya menghela nafas.
“’Syukurlah
Kalau begitu “
Tiba-tiba saja ada perasaan tak enak timbul dihatinya, ia
menghawatirkan anaknya dirumah. Rasanya ia ingin cepat-cepat pulang saja, biar saja
hari ini belum dapat penumpang satu pun. Ahh... Sebaiknya ia segera pulang.
Segera
ia bersiap mengayuh becaknya. “ LhoOh pak, mau kemana?” Tanya Rusman, teman
sepangkalannya.
“Mau
pulang duluan” sahut pak Kamdi. “ Belum juga sampai setengah hari, kenapa
buru-buru pulang?”
“Saya
khawatir sama si Fahmi, saya pulang dulu ya” pak Kamdi pamit pada temannya.
Cepat-cepat ia membawa becak tuanya diiringi sinar mentari
pagi, kerikil jalanan menuju rumahnya menggoyangkan tubuhnya yang kian renta. Sesampainya
dirumah, dilihatnya anaknya seperti biasa. Terkulai diatas perbaringan dari
rotan.
“Nak,
hari ini bapak pulang cepat, bapak khawatir sama keadaanmu” kata pak Kamdi pada
anaknya. Terlihat butiran bening mengucur dari mata anaknya.
“Lhooh...
Kenapa menangis? Kamu mau makan?” Ucap pak Kamdi lirih melihat anaknya seperti
itu. Tapi pak Kamdi paham anaknya tidak lapar, tersirat dimata Fahmi ia hanya
ingin ayahnya duduk disampingnya. Diusap pak Kamdi rambut anak kesayangannya
itu, air matanya ikut luruh tak dapat ditahan. Fahmi menutup matanya, mulutnya
mengucap kata ynag tak terdengar. Pak Kamdi pun tak mengerti, ia mencoba
berdzikir, mungkin anaknya sedang sakit, tapi badannya dingin sekali. Nafasnya
kian melemah hingga tak terasa lagi.
“Innalillahi
wainnailahirojiun” Ucap pak Kamdi mengiringi kepulangan anaknya ke rahmatullah.
Dikecupnya kening Fahmi untuk terakhir kali dan melepas dengan ikhlas atas
kehendak-NYA.
Kini hanya tinggal ia sendiri, menjalani hidup menunggu ujung
usianya. Tuntas sudah kewajibannya merawat anaknya. Kini kewajibannya adalah
mengumpulkan amal ibadah untuk bekal menghadap sang Khalik.
Disandarkanya
punggung rentanya didindin, Punggung yang telah memikul dan merasakan asam
garam, madu empedu kehidupan. Dikirimkannya doa untuk Fahmi yang telah
dipanggil lebih dulu. Seraya menunggu senja menemui malam.
“Ketika hatimu mulai merindukan dzat Allah, mungkin hanya kematian lah
yang paling dinanti, karna hanya dengan Mahar itu kamu bisa bertemu
dengan-NYA.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^