Selasa, 29 Mei 2012

Becak Tua Dikala Senja




Panas terik sang mentari membakar kulit ditengah siang yang kelak kan padam juga ditelan malam. Becak-becak berjejer rapi dipangkalan yang berada tepat dibawah rindangnya pepohonan dipinggir jalan. Para pria paruh baya menunggui becaknya masing-masing, keringat  mengucur deras yang kemudian disapu dengan handuk kecil yang terbalut dileher mereka. Meratapi jalanan yang penuh dengan kendaraan bermotor dan riuh debu kota, dijaman yang serba canggih ini becak-becak mereka hampir tak dibutuhkan lagi, orang-orang sudah banyak yang memiliki kendaraan masing-masing. Padahal, keperluan untuk bertahan hidup semakin hari semakin meningkat. Dalam satu hari, paling banyak tiga orang penumpang yang mereka dapat.


Pak Kamdi salah satu diantara pria-pria itu, dialah yang tertua diantara mereka. Nampak kerut-kerut perjuangan yang tergambar jelas diraut wajahnya, bahunya yang dulu kekar kini bungkuk ditindih usia, seharusnya lelaki tua seperti dia sudah tak selayaknya lagi bekerja membanting tulang. Tapi jika bukan dia, siapa lagi? Istrinya telah meninggalkannya bertahun-tahun silam, ia lari bersama laki-laki yang diharapkannya, laki-laki kaya atau orang pejabat berdasi rapi. Ia menyesali pilihan yang terlampau dipilihnya, dulu ia hanya memandang kecantikan dari wanita, bukan dari akhlak mulia atau kesetiaannya. Entahlah... kini hal itu bukan sesuatu yang patut untuk disesali. Kini ia hanya berjuang untuk  Fahmi anak laki-laki semata wayangnya yang sudah berumur dua puluh tujuh tahun. Tapi, diusia itu Fahmi tak bisa berbuat apa-apa, untuk bicara, makan dan buang air saja pak Kamdi lah yang melayaninya, Fahmi mengalami lumpuh seluruh tubuh sejak masih kecil.


          Petang hampir menjelang, hari ini hanya dua penumpang yang didapat, maklum... Para tukang becak tak bisa meraup semua penumpang sendiri, mereka harus berbagi giliran, hampir tak ada bedanya dengan tukang ojek.

“ Semuanya, saya pulang duluan ya! “ seru pak Kamdi pada teman-temannya.

“Yaa, hati-hati pak “ Ucap mereka.



Dikayuhnya kuat-kuat pedal becak tua itu, walau terik sudah hilang sedari tadi, keringat masih saja mengucur deras dikeningnya. Seorang tua yang telah lelah memikul beban namun tetap bersabar menempuh hitam putih jalan hidup ini. Meski kadang ia tertatih, semangat juangnya menjalani hidup demi anaknya yang hanya menambah beban. Tidak, baginya anaknya bukanlah beban, justru perjuangannya ini untuk anak tersayangnya. Jarak dari pangkalan menuju rumah cukup jauh, nafas pak Kamdi mulai tersengal menghirup udara.

“Tiiittt... Tiittt....“ Nyaring bunyi klakson mobil mewah dari arah belakang becak pak Kamdi, hampir saja naas menimpanya, jika saja bukan nasib yang mencatat dirinya selamat hari ini, habis sudah dirinya hancur bersama becak tuanya tertabrak mobil itu. Genangan air dijalan menyapu wajah keriputnya. Sementara pemilik mobil yang jelas salah itu bukanya segera turun dan meminta maaf, ia malah mengumpat menyalahkan orang lain.


“Dasar goblok...!! Hampir aja mobil gua lecet!” Caci pemilik mobil itu yang ternyata seorang anak muda.

“Astagfirullah... Ampunilah dosa-dosa anak muda itu Ya Allah.” Ucap pak Kamdi. Tak sedikitpun marah dan dendam tampak diwajahnya. Tabah dalam dirinya begitu kuat, Meski dalam sulitnya hidupnya, masih ada orang yang tega berbuat nista.


Sesampainya dirumah, kembali pemandangan yang mengharukan. Anaknya terbaring lemah tak dapat berbuat apa-apa, tubuhnya kurus kering bagaikan tulang berbalut kulit. Diusapnya kepala anak tersayangnya itu dengan penuh kasih sayang. Sedikit sakit yang menggelitik dihatinya, menciptakan setitik air diujung mata buru-buru dihapusnya, agar sang anak tak semakin merasa menjadi beban. Dibenahinya semua pakaian kotor dari tubuh Fahmi, dengan sabar ia mengelapi dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Diambilnya sepiring nasi yang telah dingin dari panci diatas tungku berdebu, disuapinya anaknya dengan lauk seadanya. Ikan asin yang dibakar karena tak ada minyak untuk menggoreng, memang apalagi yang diharapkan orang miskin sepertinya? Hanya pada saat Hari Raya Idul Adha, ia dan Fahmi bisa makan daging. Tidak seperti para petinggi negara yang makan enak setiap harinya.


Senja sudah tenggelam, adzan maghrib berkumandang. Segera di ambilnya air wudhu. Dijalankannya kewajiban dengan sepenuh hati didalam rumah berdinding kayu lapuk termakan usia seperti dirinya. Melepas kerinduan pada Yang Maha Kuasa, melimpahkan jeritan-jeritan hatinya.

Ditengah malam, gelap begitu terasa. Hanya lampu-lampu tembok yang terbuat dari botol bekas memancarkan sedikit cahaya untuknya. Di Tahajjud malamnya ia bersimpuh, terucap seberkas do’a dari bibir kerinnya yang tak lain untuk anaknya.


“Ya Allah, Ya Tuhanku... Hanya padaMu aku memohon. Ampunilah dosa-dosaku, ampunilah dosa anakku. Aku tak meminta segala sesuatu atas ketidak berdayaanku, hanya... kumohon sembuhkanlah anakku, aku takut jika nanti aku pergi mendahuluinya tak ada yang merawatnya. Ya Allah... Kabulkanlah doaku, sesungguhnya segala sesuatu yang Kau berikan dan Kau putuskan adalah yang terbaik bagiku. Amiiin.
Begitulah caranya menikmati indah malam.
  

Pagi-pagi buta ia sudah bersiap pergi mencari nafkah bersama becak tuanya. Seperti hari biasa, pangkalan becak sepi penumpang, tapi apa boleh buat ? Hanya kesabaran yang bisa diandalkan. Hari ini ada berita yang cukup menghebohkan, katanya ada seorang gadis yang bunuh diri hanya karena tak dibelikan orang tuanya handphone trend terbaru.
“Subhanallah, pendek sekali pikiran anak gadis itu” kata pak Kamdi.

“ Betul pak, bagaimana bisa dia bunuh diri hanya karena tidak dibelikan handphone, sementara kita yang berkutat dengan nasib untuk mencari sesuap nasi ini, tak pernah berpikir untuk mengakhiri hidup dengan cara yang dibenci Tuhan seperti itu.” Kata salah seorang temannya.

“Sudah-sudah, yang penting kita intropeksi diri kita masing-masing agar bisa lebih mempertebal iman dan tidak melalukan perbuatan seperti itu. Kita doakan saja, semoga dia diampuni Yang Maha Kuasa.” Pak Kamdi menasehati temannya yang lebih muda itu.

“ Iya ya pak, kadang kita juga tidak menerawang dulu dalam diri kita sebelum berucap. Astaghfirullah... “


“ Pak, gimana kabar si Fahmi, sehat-sehat saja kan? “ Tanya Bu Minah pemilik warung disebelah pangkalan menyahut.

“Yahhh, seperti itu keadaannya... Tapi Alhamdulillah sehat saja “ Jawab pak Kamdi seraya menghela nafas.

“’Syukurlah Kalau begitu “

Tiba-tiba saja ada perasaan tak enak timbul dihatinya, ia menghawatirkan anaknya dirumah. Rasanya ia ingin cepat-cepat pulang saja, biar saja hari ini belum dapat penumpang satu pun. Ahh... Sebaiknya ia segera pulang.

Segera ia bersiap mengayuh becaknya. “ LhoOh pak, mau kemana?” Tanya Rusman, teman sepangkalannya.

“Mau pulang duluan” sahut pak Kamdi. “ Belum juga sampai setengah hari, kenapa buru-buru pulang?”

“Saya khawatir sama si Fahmi, saya pulang dulu ya” pak Kamdi pamit pada temannya.


Cepat-cepat ia membawa becak tuanya diiringi sinar mentari pagi, kerikil jalanan menuju rumahnya menggoyangkan tubuhnya yang kian renta. Sesampainya dirumah, dilihatnya anaknya seperti biasa. Terkulai diatas perbaringan dari rotan.

“Nak, hari ini bapak pulang cepat, bapak khawatir sama keadaanmu” kata pak Kamdi pada anaknya. Terlihat butiran bening mengucur dari mata anaknya.
“Lhooh... Kenapa menangis? Kamu mau makan?” Ucap pak Kamdi lirih melihat anaknya seperti itu. Tapi pak Kamdi paham anaknya tidak lapar, tersirat dimata Fahmi ia hanya ingin ayahnya duduk disampingnya. Diusap pak Kamdi rambut anak kesayangannya itu, air matanya ikut luruh tak dapat ditahan. Fahmi menutup matanya, mulutnya mengucap kata ynag tak terdengar. Pak Kamdi pun tak mengerti, ia mencoba berdzikir, mungkin anaknya sedang sakit, tapi badannya dingin sekali. Nafasnya kian melemah hingga tak terasa lagi.


“Innalillahi wainnailahirojiun” Ucap pak Kamdi mengiringi kepulangan anaknya ke rahmatullah. Dikecupnya kening Fahmi untuk terakhir kali dan melepas dengan ikhlas atas kehendak-NYA.

Kini hanya tinggal ia sendiri, menjalani hidup menunggu ujung usianya. Tuntas sudah kewajibannya merawat anaknya. Kini kewajibannya adalah mengumpulkan amal ibadah untuk bekal menghadap sang Khalik.
Disandarkanya punggung rentanya didindin, Punggung yang telah memikul dan merasakan asam garam, madu empedu kehidupan. Dikirimkannya doa untuk Fahmi yang telah dipanggil lebih dulu. Seraya menunggu senja menemui malam.



    “Ketika hatimu mulai merindukan dzat Allah, mungkin hanya kematian lah yang paling dinanti, karna hanya dengan Mahar itu kamu bisa bertemu dengan-NYA.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^

Selasa, 29 Mei 2012

Becak Tua Dikala Senja




Panas terik sang mentari membakar kulit ditengah siang yang kelak kan padam juga ditelan malam. Becak-becak berjejer rapi dipangkalan yang berada tepat dibawah rindangnya pepohonan dipinggir jalan. Para pria paruh baya menunggui becaknya masing-masing, keringat  mengucur deras yang kemudian disapu dengan handuk kecil yang terbalut dileher mereka. Meratapi jalanan yang penuh dengan kendaraan bermotor dan riuh debu kota, dijaman yang serba canggih ini becak-becak mereka hampir tak dibutuhkan lagi, orang-orang sudah banyak yang memiliki kendaraan masing-masing. Padahal, keperluan untuk bertahan hidup semakin hari semakin meningkat. Dalam satu hari, paling banyak tiga orang penumpang yang mereka dapat.


Pak Kamdi salah satu diantara pria-pria itu, dialah yang tertua diantara mereka. Nampak kerut-kerut perjuangan yang tergambar jelas diraut wajahnya, bahunya yang dulu kekar kini bungkuk ditindih usia, seharusnya lelaki tua seperti dia sudah tak selayaknya lagi bekerja membanting tulang. Tapi jika bukan dia, siapa lagi? Istrinya telah meninggalkannya bertahun-tahun silam, ia lari bersama laki-laki yang diharapkannya, laki-laki kaya atau orang pejabat berdasi rapi. Ia menyesali pilihan yang terlampau dipilihnya, dulu ia hanya memandang kecantikan dari wanita, bukan dari akhlak mulia atau kesetiaannya. Entahlah... kini hal itu bukan sesuatu yang patut untuk disesali. Kini ia hanya berjuang untuk  Fahmi anak laki-laki semata wayangnya yang sudah berumur dua puluh tujuh tahun. Tapi, diusia itu Fahmi tak bisa berbuat apa-apa, untuk bicara, makan dan buang air saja pak Kamdi lah yang melayaninya, Fahmi mengalami lumpuh seluruh tubuh sejak masih kecil.


          Petang hampir menjelang, hari ini hanya dua penumpang yang didapat, maklum... Para tukang becak tak bisa meraup semua penumpang sendiri, mereka harus berbagi giliran, hampir tak ada bedanya dengan tukang ojek.

“ Semuanya, saya pulang duluan ya! “ seru pak Kamdi pada teman-temannya.

“Yaa, hati-hati pak “ Ucap mereka.



Dikayuhnya kuat-kuat pedal becak tua itu, walau terik sudah hilang sedari tadi, keringat masih saja mengucur deras dikeningnya. Seorang tua yang telah lelah memikul beban namun tetap bersabar menempuh hitam putih jalan hidup ini. Meski kadang ia tertatih, semangat juangnya menjalani hidup demi anaknya yang hanya menambah beban. Tidak, baginya anaknya bukanlah beban, justru perjuangannya ini untuk anak tersayangnya. Jarak dari pangkalan menuju rumah cukup jauh, nafas pak Kamdi mulai tersengal menghirup udara.

“Tiiittt... Tiittt....“ Nyaring bunyi klakson mobil mewah dari arah belakang becak pak Kamdi, hampir saja naas menimpanya, jika saja bukan nasib yang mencatat dirinya selamat hari ini, habis sudah dirinya hancur bersama becak tuanya tertabrak mobil itu. Genangan air dijalan menyapu wajah keriputnya. Sementara pemilik mobil yang jelas salah itu bukanya segera turun dan meminta maaf, ia malah mengumpat menyalahkan orang lain.


“Dasar goblok...!! Hampir aja mobil gua lecet!” Caci pemilik mobil itu yang ternyata seorang anak muda.

“Astagfirullah... Ampunilah dosa-dosa anak muda itu Ya Allah.” Ucap pak Kamdi. Tak sedikitpun marah dan dendam tampak diwajahnya. Tabah dalam dirinya begitu kuat, Meski dalam sulitnya hidupnya, masih ada orang yang tega berbuat nista.


Sesampainya dirumah, kembali pemandangan yang mengharukan. Anaknya terbaring lemah tak dapat berbuat apa-apa, tubuhnya kurus kering bagaikan tulang berbalut kulit. Diusapnya kepala anak tersayangnya itu dengan penuh kasih sayang. Sedikit sakit yang menggelitik dihatinya, menciptakan setitik air diujung mata buru-buru dihapusnya, agar sang anak tak semakin merasa menjadi beban. Dibenahinya semua pakaian kotor dari tubuh Fahmi, dengan sabar ia mengelapi dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Diambilnya sepiring nasi yang telah dingin dari panci diatas tungku berdebu, disuapinya anaknya dengan lauk seadanya. Ikan asin yang dibakar karena tak ada minyak untuk menggoreng, memang apalagi yang diharapkan orang miskin sepertinya? Hanya pada saat Hari Raya Idul Adha, ia dan Fahmi bisa makan daging. Tidak seperti para petinggi negara yang makan enak setiap harinya.


Senja sudah tenggelam, adzan maghrib berkumandang. Segera di ambilnya air wudhu. Dijalankannya kewajiban dengan sepenuh hati didalam rumah berdinding kayu lapuk termakan usia seperti dirinya. Melepas kerinduan pada Yang Maha Kuasa, melimpahkan jeritan-jeritan hatinya.

Ditengah malam, gelap begitu terasa. Hanya lampu-lampu tembok yang terbuat dari botol bekas memancarkan sedikit cahaya untuknya. Di Tahajjud malamnya ia bersimpuh, terucap seberkas do’a dari bibir kerinnya yang tak lain untuk anaknya.


“Ya Allah, Ya Tuhanku... Hanya padaMu aku memohon. Ampunilah dosa-dosaku, ampunilah dosa anakku. Aku tak meminta segala sesuatu atas ketidak berdayaanku, hanya... kumohon sembuhkanlah anakku, aku takut jika nanti aku pergi mendahuluinya tak ada yang merawatnya. Ya Allah... Kabulkanlah doaku, sesungguhnya segala sesuatu yang Kau berikan dan Kau putuskan adalah yang terbaik bagiku. Amiiin.
Begitulah caranya menikmati indah malam.
  

Pagi-pagi buta ia sudah bersiap pergi mencari nafkah bersama becak tuanya. Seperti hari biasa, pangkalan becak sepi penumpang, tapi apa boleh buat ? Hanya kesabaran yang bisa diandalkan. Hari ini ada berita yang cukup menghebohkan, katanya ada seorang gadis yang bunuh diri hanya karena tak dibelikan orang tuanya handphone trend terbaru.
“Subhanallah, pendek sekali pikiran anak gadis itu” kata pak Kamdi.

“ Betul pak, bagaimana bisa dia bunuh diri hanya karena tidak dibelikan handphone, sementara kita yang berkutat dengan nasib untuk mencari sesuap nasi ini, tak pernah berpikir untuk mengakhiri hidup dengan cara yang dibenci Tuhan seperti itu.” Kata salah seorang temannya.

“Sudah-sudah, yang penting kita intropeksi diri kita masing-masing agar bisa lebih mempertebal iman dan tidak melalukan perbuatan seperti itu. Kita doakan saja, semoga dia diampuni Yang Maha Kuasa.” Pak Kamdi menasehati temannya yang lebih muda itu.

“ Iya ya pak, kadang kita juga tidak menerawang dulu dalam diri kita sebelum berucap. Astaghfirullah... “


“ Pak, gimana kabar si Fahmi, sehat-sehat saja kan? “ Tanya Bu Minah pemilik warung disebelah pangkalan menyahut.

“Yahhh, seperti itu keadaannya... Tapi Alhamdulillah sehat saja “ Jawab pak Kamdi seraya menghela nafas.

“’Syukurlah Kalau begitu “

Tiba-tiba saja ada perasaan tak enak timbul dihatinya, ia menghawatirkan anaknya dirumah. Rasanya ia ingin cepat-cepat pulang saja, biar saja hari ini belum dapat penumpang satu pun. Ahh... Sebaiknya ia segera pulang.

Segera ia bersiap mengayuh becaknya. “ LhoOh pak, mau kemana?” Tanya Rusman, teman sepangkalannya.

“Mau pulang duluan” sahut pak Kamdi. “ Belum juga sampai setengah hari, kenapa buru-buru pulang?”

“Saya khawatir sama si Fahmi, saya pulang dulu ya” pak Kamdi pamit pada temannya.


Cepat-cepat ia membawa becak tuanya diiringi sinar mentari pagi, kerikil jalanan menuju rumahnya menggoyangkan tubuhnya yang kian renta. Sesampainya dirumah, dilihatnya anaknya seperti biasa. Terkulai diatas perbaringan dari rotan.

“Nak, hari ini bapak pulang cepat, bapak khawatir sama keadaanmu” kata pak Kamdi pada anaknya. Terlihat butiran bening mengucur dari mata anaknya.
“Lhooh... Kenapa menangis? Kamu mau makan?” Ucap pak Kamdi lirih melihat anaknya seperti itu. Tapi pak Kamdi paham anaknya tidak lapar, tersirat dimata Fahmi ia hanya ingin ayahnya duduk disampingnya. Diusap pak Kamdi rambut anak kesayangannya itu, air matanya ikut luruh tak dapat ditahan. Fahmi menutup matanya, mulutnya mengucap kata ynag tak terdengar. Pak Kamdi pun tak mengerti, ia mencoba berdzikir, mungkin anaknya sedang sakit, tapi badannya dingin sekali. Nafasnya kian melemah hingga tak terasa lagi.


“Innalillahi wainnailahirojiun” Ucap pak Kamdi mengiringi kepulangan anaknya ke rahmatullah. Dikecupnya kening Fahmi untuk terakhir kali dan melepas dengan ikhlas atas kehendak-NYA.

Kini hanya tinggal ia sendiri, menjalani hidup menunggu ujung usianya. Tuntas sudah kewajibannya merawat anaknya. Kini kewajibannya adalah mengumpulkan amal ibadah untuk bekal menghadap sang Khalik.
Disandarkanya punggung rentanya didindin, Punggung yang telah memikul dan merasakan asam garam, madu empedu kehidupan. Dikirimkannya doa untuk Fahmi yang telah dipanggil lebih dulu. Seraya menunggu senja menemui malam.



    “Ketika hatimu mulai merindukan dzat Allah, mungkin hanya kematian lah yang paling dinanti, karna hanya dengan Mahar itu kamu bisa bertemu dengan-NYA.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^