5
menit berlalu, kami masih terdiam. Aku tahu pasti jika Ayu, istriku sedang
marah. Dia memang tidak mengucapkan kata-kata dengan nada yang keras, namun
dari intonasi dan gaya bicaranya yang
tidak biasa, aku bisa memahami kalau hatinya sedang
tidak berkenan atas perbuatanku. 6 bulan menikah telah membuatku paham dengan
kebiasaannya, bagaimana dia senang, sedih, marah, dll. Ayu menghela nafas,
tanda amarahnya telah berkurang.
Kuberanikan diri untuk bicara, "Sudah
selesai, Dik?" tanyaku pelan.
Dia menjawab dengan anggukan.
"Abang minta maaf, Abang tidak sengaja.
Tadi malam Abang lembur mengerjakan tugas dari sekolah sehingga tadi sehabis
shalat dhuha Abang tertidur dan bangun ketika hujan sudah lebat, jadi tidak
sempat menyelamatkan jemuran yang telah kamu cuci. Sekali lagi Abang minta
maaf, biar nanti jemurannya Abang cuci kembali."
Mendengar penjelasanku amarah Ayu menjadi reda.
Dia kemudian duduk mengambil posisi di
hadapanku. Ini hari minggu, kami libur mengajar.
Tadi setelah selesai mencuci pakaian, Ayu pergi
belanja ke pasar.
Sejak menikah hingga saat ini, kami hidup dalam
kesederhanaan. Rumah kami masih mengontrak, namun kami tetap bersyukur masih
punya tempat untuk berteduh dari panas dan hujan. Kami memutuskan untuk menikah
setelah lulus kuliah tanpa melalui proses pacaran. Persamaan kami adalah kami
anti pacaran. Kami sekuat tenaga menjaga hati untuk tidak melakukan sesuatu
yang belum seharusnya dilakukan, sekaligus menjaga prasangka orang lain
terhadap kami.
Hal inilah yang tidak dilakukan oleh muda-mudi
yang sedang pacaran, mereka biasa mengumbar perasaan yang justru akan membuat
hati menjadi kotor, juga membuat orang lain berprasangka atas apa yang telah
mereka lakukan. Waktu itu kami belum mendapat pekerjaan, hanya kepercayaan atas
rezeki dari ALLAH lah yang membuat kami berani untuk menikah.
Alhamdulillah, saat ini kami telah menjadi guru
meski cuma guru swasta; aku di SMP sedang dia di Madrasah Aliyah. Kami sepakat
untuk selalu bersama dalam berjuang menggapai cita-cita dalam segala keadaan.
Aku mencintainya dan dia pun mencintaiku.
"Bang, Ayu boleh tanya?" suaranya
memecah keheningan yang kembali terjadi sesaat.
"Ada apa Dik?" sahutku.
"Kenapa sih Abang tidak pernah marah sama
Ayu? Ayu sendiri merasa kalau selama ini Ayu belum bisa menjadi istri yang
baik, sering membuat Abang kecewa, sering marah-marah; tapi kenapa Abang selalu
sabar dengan sikap Ayu yang seperti ini?"
Mendengar pertanyaan Ayu, aku terdiam.
Aku jadi teringat sebuah kisah yang terjadi pada
zaman Khalifah Umar bin Khattab ra.
Saat itu ada seorang sahabat yang hendak
melaporkan kelakuan istrinya yang kasar terhadapnya kepada Khalifah Umar. Dia
ingin mendapatkan saran dari beliau dalam menghadapi istrinya.
Lalu pergilah sahabat tersebut menuju rumah Khalifah
Umar. Khalifah Umar adalah seorang pemimpin ummat Islam yang sangat zuhud,
beliau tidak suka menumpuk harta dan lebih suka hidup sederhana. Tempat
kediamannya tidak pantas disebut istana meski beliau adalah seorang kepala
negara.
Ketika sampai di depan rumah Khalifah Umar dia
berhenti. Sahabat itu mendengar dari luar jika Khalifah Umar sedang dimarahi
oleh istri beliau, sedangkan beliau hanya diam.
Sahabat itu lalu berfikir, "Kalau Khalifah
Umar saja diam saat dimarahi istrinya, apa yang bisa disarankan dia
untukku?" Akhirnya dia berniat pulang dan tidak jadi meminta pendapat
beliau.
Selang beberapa langkah, dia dipanggil oleh
Khalifah Umar, "Wahai Fulan, engkau telah sampai di depan rumahku, mengapa
engkau hendak kembali lagi?"
Mendengar pangilan Khalifah Umar, sahabat
tersebut menghampiri beliau dan berkata, "Maafkan wahai 'Amirul Mukminin,
tadi aku hendak melaporkan kelakuan istriku yang kasar terhadapku. Tapi
ternyata kulihat engkau diam saja ketika dimarahi istrimu, jadi kupikir apa saran
yang bisa kudapat darimu?" jawab sahabat.
"Kenapa
aku diam saja ketika istriku marah padaku, itu karena aku menghormatinya. Aku
mengalah dan membiarkannya memarahiku karena dia telah banyak membantuku. Dia
yang mengurus aku dan rumahku, mencucikan baju untukku, membuatkan roti
untukku, memasak untukku, dan pekerjaan lain, sementara semua itu tidak pernah
kuperintahkan padanya. Jadi sudah sepantasnya aku memuliakannya." jelas
Khalifah Umar.
Sahabat
itu akhirnya mengerti dan kembali kepada istrinya dengan hati yang tenang.
"Bang, kok diam?" suara Ayu
membuyarkan ingatanku. Lama dia menunggu jawabanku.
"Oh iya, maaf. Bagi Abang, kamu adalah
istri yang terbaik. Abang selama ini sabar dan akan selalu berusaha bersikap
sabar atas sikapmu, karena Abang ingin memuliakanmu selama di dunia seperti
Khalifah Umar memuliakan istrinya. Selain itu, jika nanti kita berhasil mati
dalam keadaan Islam, di akhirat Abang akan mendapatkan hadiah bidadari, itu
artinya Abang akan memadumu meski kamu tetap jadi istriku yang utama dan
menjadi ratu dari bidadariku. Maka dari itu selama masih di dunia, Abang ingin
membuatmu merasa sempurna dengan semua cintaku. Dan, Abang tidak akan
menduakanmu dengan menikahi wanita lain, cukup kamu yang akan menjadi
bidadariku di dunia."
Mendengar penjelasanku, Ayu tertunduk. Pelan
kudengar dia terisak, setelah itu dia menghambur ke arahku. Dia berlutut
dihadapanku sambil mencium tanganku.
Tangisnya meledak, "Maafkan aku, Bang...
maafkan aku!" pintanya dalam isakan.
Tanpa terasa air matakupun meleleh.
Aku hanya bisa mengangguk sambil membelai
rambutnya yang halus.
"Aku ingin kamu jadi bidadariku, selamanya...!!!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^