Selasa, 02 Oktober 2012

Kejutan Sederhana

“Mimpi apa nih? Asyik banget sepertinya.” Perempuan tua itu mendekatiku. Hampir seluruh isi kelas menatapku sembari menyembunyikan tawanya. Melihatku tak bergeming, perempuan itu mengulang pertanyaannya, kali ini tangannya lembut membelai kepalaku.

“Iya, asyik banget. Makanya jangan ganggu.” Bodohnya aku yang menjawab dengan igauan.

Tawa sudah tak dapat dibendung lagi. Keluar serentak seisi kelas yang dengan segera membangunkanku dari mimpi indah bersama Afghan, penyanyi favoritku. Wajahku memerah tak kuat menahan malu, berkamuflase menjadi pucat saat tak sengaja mataku beradu pandang dengan Bu Menik yang hanya berjarak sepuluh senti di hadapanku.

“Sudah, berhenti tertawanya!” Kelas menjadi hening seketika, tak ada yang berani memperlihatkan satupun giginya. Lebih-lebih aku, aku gemetaran serba salah memikirkan hukuman apalagi yang akan diberi Bu Menik kali ini.

“Kamu sekarang keluar dan cari artikel tentang kantuk sebanyak lima judul, lalu kamu kembangkan semuanya dengan bahasamu sendiri dan tempelkan di mading sekolah lengkap dengan cetakan dari foto ini.” Beliau memberondongku dengan kalimat-kalimat yang sialnya tak dapat kubantah.

“Apa-apaan ini! Gila, wibawaku bisa hancur seketika nih. Gimana dong??” Aku bertanya pada angin sepanjang koridor ini, aku baru sadar bahwa foto yang dimaksud Bu Menik adalah potretku yang sedang asyik tertidur pulas tadi. Tapi aku tak bisa apa-apa, menolaknya sama dengan bunuh diri.

“Ya Sudahlah, bersiap-siap saja menjadi muka tebal setelah ini!” Kataku menertawakan diri sendiri.
***
“Kelompok Riris, kalian mendapat nilai terbaik untuk pertemuan kali ini. Selamat ya, nilai 90 itu luar biasa!” Sekelompok siswa di hadapanku berteriak kegirangan mendengarnya. Jarang sekali Pak Setyo bersikap seramah ini kepada murid-muridnya.

Namun tiba-tiba, raut muka beliau berubah. Kalimatnya kembali terdengar datar, tak tersisa sebersit keramahanpun dari suaranya.

“Kelompok Nadia, kalian harus mengulang praktek sepulang sekolah.” Aku hanya bisa menghembuskan kekecewaan dalam diam. Belum habis kekesalanku karena ulah Bu Menik tadi pagi, sekarang giliran Pak Setyo yang merusak mood. Bayangin aja, dari delapan kelompok, hanya kelompokku yang harus mengulang praktek kali ini. Sepulang sekolah lagi. Padahal sepulang sekolah aku harus segera menuju tempat bimbel.
***
“Nad, hari ini ga shalat Shubuh ya? Sial banget kamu.” Tia datang dengan dua mangkok bakso. Satu untuknya, satu lagi untukku.

“Makasih ya.” Segera saja kusantap bakso yang masih panas itu. Aku tak peduli dengan kata-kata Tia. Bagiku tak ada kata sial, toh tadi pagi aku juga shalat Shubuh walaupun agak terlambat. Tia pun tersenyum dan ikut menyantap baksonya.

“Eeeeh, maaf...” Pentol terakhirku bergerak jatuh bebas ke tanah. Padahal itu pentol terbesar, dan terakhir yang ada di dalam mangkokku.

Amarahku sudah berada di ubun-ubun, ingin sekali aku berteriak dan meminta ganti kepada orang yang sudah menjatuhkan pentol dan harga diriku. Baru saja mulut ini mau membuka, orang itu sudah melenggang dan kabur tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“Eeeh, sabar Nad jangan emosi.” Tia menarik lenganku ketika aku baru saja akan berdiri.

“Siapa juga yang emosi, aku cuma mau ke kelas kok.” Jawabku singkat. Kupaksa lenganku untuk keluar dari cengkramannya dan dengan tenang aku berjalan kembali menuju kelas, lupa dengan peristiwa gugurnya pentol terakhirku.
***
“Teet... Teet... Teet... Teet...” Bel pulang sekolah memberondong diikuti sorak-sorai dari seluruh penjuru sekolah. Murid-murid berhamburan dengan wajah ceria, seperti tahanan yang baru saja dibebaskan setelah puluhan tahun mendekam di penjara.
Tapi tidak denganku, aku masih harus menyelesaikan praktek fisika yang gagal tadi siang. Kembali berkutat dengan listrik, tali dan ticker timer dan tenggelam mengamati gelombang.

“Apa benar hari ini adaah hari sialku?” Perlahan pikiran itu masuk juga dan mulai mempengaruhiku.

“Hari sial itu tidak ada. Sudahlah lanjutkan saja praktekmu.” Sisi lain hatiku berkata demikian.

Setelah setengah jam berkutat di laboratorium yang super duper panas, dan ditemani oleh Pak Setyo yang notabenenya tidak mempunyai ekspresi, aku dan tiga orang lainnya diperbolehkan pulang.

Aku melangkahkan kaki menuju jalanan besar di depan sekolah. Menuju tempat bimbingan belajar yang tepat berada di seberang.
***
Mataku terbelalak melihat puluhan siswa bimbel duduk termangu menatap lembaran kertas soal. Otakku serasa baru saja tersambung, “Ah iya hari ini ada try out!”

Aku segera mengambil soal dan lembar jawaban dan ikut bertapa menatap lembaran jawaban. Kali ini kebodohanku sudah mencapai taraf super maksimum sepertinya. Bagaimana mungkin aku bisa lupa jika hari ini ada try out!

“Itu tak penting lagi, kerjakan saja soal-soalnya. Waktumu hanya tersisa 90 menit!” Untung sisi lainku berbaik hati mengingatkan.
***
Dengan hati dan pikiran yang sudah suntuk aku berjalan terseok-seok menemui bapak yang sudah menunggu di parkiran.

“Hari ini benar-benar hari sialku!” Aku mengutuk sendiri, lagi-lagi hanya kepada angin. Aku melihat ke bawah, sepatu yang kupakai sudah membuka lebar seperti buaya yang lapar.

Bapak tertawa memperhatikanku dari kejauhan. Hampir, sedikit lagi aku akan sampai di tempat bapak.

“Paaaak, kok malah ketawa sih? Seneng ya anaknya sial gini?” Aku mengeluh dan berceloteh panjang lebar mengenai kesialanku hari ini. Si bapak malah keras tertawanya. Bibirku membentuk kurva yang menghadap ke bawah, cemberut. Aku diam dan duduk di motor butut kami.

Bapak masih saja tertawa dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Tak berapa lama kami berhenti. Tapi ini bukan rumahku, aku kesal dan tak ingin turun dari boncengannya. Bapak terus saja memaksa dan akhirnya aku mengikuti beliau masuk ke dalam restoran itu.

Bapak memesankanku sebuah nasi goreng pedas dan segelas es jeruk. Aku tetap saja diam. Masih ngambek karena tawa bapak masih belum juga berhenti. Tiba-tiba beliau mengeluarkan sebuah kotak yang sedari tadi disembunyikannya. Dibukanya kotak itu di hadapanku. Kali ini beliau tidak tertawa, hanya tersenyum melihat kurva di bibirku berbalik melengkung ke atas. Aku tersenyum dan memeluknya.

Besok bapak sudah harus berangkat kembali ke Arab, mengais sisa-sisa rejeki yang tertinggal di sana. Berat sekali melepas belliau. Namun sepasang sepatu baru dan makan malam kemarin telah menjadi sebuah kejutan tersendiri untukku. Terima kasih bapak sudah membayar kesialanku di hari kemarin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^

Selasa, 02 Oktober 2012

Kejutan Sederhana

“Mimpi apa nih? Asyik banget sepertinya.” Perempuan tua itu mendekatiku. Hampir seluruh isi kelas menatapku sembari menyembunyikan tawanya. Melihatku tak bergeming, perempuan itu mengulang pertanyaannya, kali ini tangannya lembut membelai kepalaku.

“Iya, asyik banget. Makanya jangan ganggu.” Bodohnya aku yang menjawab dengan igauan.

Tawa sudah tak dapat dibendung lagi. Keluar serentak seisi kelas yang dengan segera membangunkanku dari mimpi indah bersama Afghan, penyanyi favoritku. Wajahku memerah tak kuat menahan malu, berkamuflase menjadi pucat saat tak sengaja mataku beradu pandang dengan Bu Menik yang hanya berjarak sepuluh senti di hadapanku.

“Sudah, berhenti tertawanya!” Kelas menjadi hening seketika, tak ada yang berani memperlihatkan satupun giginya. Lebih-lebih aku, aku gemetaran serba salah memikirkan hukuman apalagi yang akan diberi Bu Menik kali ini.

“Kamu sekarang keluar dan cari artikel tentang kantuk sebanyak lima judul, lalu kamu kembangkan semuanya dengan bahasamu sendiri dan tempelkan di mading sekolah lengkap dengan cetakan dari foto ini.” Beliau memberondongku dengan kalimat-kalimat yang sialnya tak dapat kubantah.

“Apa-apaan ini! Gila, wibawaku bisa hancur seketika nih. Gimana dong??” Aku bertanya pada angin sepanjang koridor ini, aku baru sadar bahwa foto yang dimaksud Bu Menik adalah potretku yang sedang asyik tertidur pulas tadi. Tapi aku tak bisa apa-apa, menolaknya sama dengan bunuh diri.

“Ya Sudahlah, bersiap-siap saja menjadi muka tebal setelah ini!” Kataku menertawakan diri sendiri.
***
“Kelompok Riris, kalian mendapat nilai terbaik untuk pertemuan kali ini. Selamat ya, nilai 90 itu luar biasa!” Sekelompok siswa di hadapanku berteriak kegirangan mendengarnya. Jarang sekali Pak Setyo bersikap seramah ini kepada murid-muridnya.

Namun tiba-tiba, raut muka beliau berubah. Kalimatnya kembali terdengar datar, tak tersisa sebersit keramahanpun dari suaranya.

“Kelompok Nadia, kalian harus mengulang praktek sepulang sekolah.” Aku hanya bisa menghembuskan kekecewaan dalam diam. Belum habis kekesalanku karena ulah Bu Menik tadi pagi, sekarang giliran Pak Setyo yang merusak mood. Bayangin aja, dari delapan kelompok, hanya kelompokku yang harus mengulang praktek kali ini. Sepulang sekolah lagi. Padahal sepulang sekolah aku harus segera menuju tempat bimbel.
***
“Nad, hari ini ga shalat Shubuh ya? Sial banget kamu.” Tia datang dengan dua mangkok bakso. Satu untuknya, satu lagi untukku.

“Makasih ya.” Segera saja kusantap bakso yang masih panas itu. Aku tak peduli dengan kata-kata Tia. Bagiku tak ada kata sial, toh tadi pagi aku juga shalat Shubuh walaupun agak terlambat. Tia pun tersenyum dan ikut menyantap baksonya.

“Eeeeh, maaf...” Pentol terakhirku bergerak jatuh bebas ke tanah. Padahal itu pentol terbesar, dan terakhir yang ada di dalam mangkokku.

Amarahku sudah berada di ubun-ubun, ingin sekali aku berteriak dan meminta ganti kepada orang yang sudah menjatuhkan pentol dan harga diriku. Baru saja mulut ini mau membuka, orang itu sudah melenggang dan kabur tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“Eeeh, sabar Nad jangan emosi.” Tia menarik lenganku ketika aku baru saja akan berdiri.

“Siapa juga yang emosi, aku cuma mau ke kelas kok.” Jawabku singkat. Kupaksa lenganku untuk keluar dari cengkramannya dan dengan tenang aku berjalan kembali menuju kelas, lupa dengan peristiwa gugurnya pentol terakhirku.
***
“Teet... Teet... Teet... Teet...” Bel pulang sekolah memberondong diikuti sorak-sorai dari seluruh penjuru sekolah. Murid-murid berhamburan dengan wajah ceria, seperti tahanan yang baru saja dibebaskan setelah puluhan tahun mendekam di penjara.
Tapi tidak denganku, aku masih harus menyelesaikan praktek fisika yang gagal tadi siang. Kembali berkutat dengan listrik, tali dan ticker timer dan tenggelam mengamati gelombang.

“Apa benar hari ini adaah hari sialku?” Perlahan pikiran itu masuk juga dan mulai mempengaruhiku.

“Hari sial itu tidak ada. Sudahlah lanjutkan saja praktekmu.” Sisi lain hatiku berkata demikian.

Setelah setengah jam berkutat di laboratorium yang super duper panas, dan ditemani oleh Pak Setyo yang notabenenya tidak mempunyai ekspresi, aku dan tiga orang lainnya diperbolehkan pulang.

Aku melangkahkan kaki menuju jalanan besar di depan sekolah. Menuju tempat bimbingan belajar yang tepat berada di seberang.
***
Mataku terbelalak melihat puluhan siswa bimbel duduk termangu menatap lembaran kertas soal. Otakku serasa baru saja tersambung, “Ah iya hari ini ada try out!”

Aku segera mengambil soal dan lembar jawaban dan ikut bertapa menatap lembaran jawaban. Kali ini kebodohanku sudah mencapai taraf super maksimum sepertinya. Bagaimana mungkin aku bisa lupa jika hari ini ada try out!

“Itu tak penting lagi, kerjakan saja soal-soalnya. Waktumu hanya tersisa 90 menit!” Untung sisi lainku berbaik hati mengingatkan.
***
Dengan hati dan pikiran yang sudah suntuk aku berjalan terseok-seok menemui bapak yang sudah menunggu di parkiran.

“Hari ini benar-benar hari sialku!” Aku mengutuk sendiri, lagi-lagi hanya kepada angin. Aku melihat ke bawah, sepatu yang kupakai sudah membuka lebar seperti buaya yang lapar.

Bapak tertawa memperhatikanku dari kejauhan. Hampir, sedikit lagi aku akan sampai di tempat bapak.

“Paaaak, kok malah ketawa sih? Seneng ya anaknya sial gini?” Aku mengeluh dan berceloteh panjang lebar mengenai kesialanku hari ini. Si bapak malah keras tertawanya. Bibirku membentuk kurva yang menghadap ke bawah, cemberut. Aku diam dan duduk di motor butut kami.

Bapak masih saja tertawa dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Tak berapa lama kami berhenti. Tapi ini bukan rumahku, aku kesal dan tak ingin turun dari boncengannya. Bapak terus saja memaksa dan akhirnya aku mengikuti beliau masuk ke dalam restoran itu.

Bapak memesankanku sebuah nasi goreng pedas dan segelas es jeruk. Aku tetap saja diam. Masih ngambek karena tawa bapak masih belum juga berhenti. Tiba-tiba beliau mengeluarkan sebuah kotak yang sedari tadi disembunyikannya. Dibukanya kotak itu di hadapanku. Kali ini beliau tidak tertawa, hanya tersenyum melihat kurva di bibirku berbalik melengkung ke atas. Aku tersenyum dan memeluknya.

Besok bapak sudah harus berangkat kembali ke Arab, mengais sisa-sisa rejeki yang tertinggal di sana. Berat sekali melepas belliau. Namun sepasang sepatu baru dan makan malam kemarin telah menjadi sebuah kejutan tersendiri untukku. Terima kasih bapak sudah membayar kesialanku di hari kemarin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^