Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar
bersyukur untuk apa yang kita miliki :
[mohon dibaca sampai selesai, tak
usah malas membacanya yah..]
Insya Allah Menginspirasi
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan
dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak
pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua,
membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap
benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas
istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan
finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku
karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri
satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja.
Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa.
Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu
bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa
yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga
tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani
melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak
suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia
meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas
lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock
bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan
rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang
dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak
bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun
ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam
sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya.
Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun
menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin
bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami
kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku
tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku
mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang
ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan
anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang
menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia
mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya
menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan
peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di
acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci
kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan
diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak
menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya.
Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga
beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon.
Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku
beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang
yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan
kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa
terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun
merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan
aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak
punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke
tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan
dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon
tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali
berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak.
“Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan
mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir
aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu
jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan
mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon
yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa
membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga
ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil
suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar
sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah
berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku
sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara
bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu
memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?”
kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa
suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit
kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika
telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat
handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap
bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah
bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang
hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak
tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya
untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang
adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu.
Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan
stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku
malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali
tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah
ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi
kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya,
aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar
menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi
dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia
berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan
wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh
wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku,
mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak
menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian
wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi
bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan
dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti
menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah
kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya.
Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang
kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika
mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan
teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak
pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak
tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa
suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak
mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku
hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan
diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja.
Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap
hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi
permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh
dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan
ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak
tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa
sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena
mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah
kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam
keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu
memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi
yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek
dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya
seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di
dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap
kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya
kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan
berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara
dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur
kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku
begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa
me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap
bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia
membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di
sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa
disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa
mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan
karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah
cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua
kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya
masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak
bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan
dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada
Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena
telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah
yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan
anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah
menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku
untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus
kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak
pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini
aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke
rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu
hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji
terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak
menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini.
Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga.
Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku
harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir
dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi
bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya
selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang
bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris
memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh
kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi
yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih
dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus
segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang
lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan
anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi
sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu
saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian
nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa
kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan
banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi
kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan
selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh
yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan
karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan
Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang
bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana
melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan
kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa
asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku
membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut
cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya
bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga
ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki
yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam
hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan
mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun
meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari
lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami
bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri,
soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah
suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan
mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya,
akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun
persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu
seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu
setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian
berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan
cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi
menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas
darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang
begitu tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^