Selasa, 02 Oktober 2012

Fans Rahasia

Pagi yang cerah dan mentari pun masih sedikit malu-malu untuk memancarkan sinarnya. Angin pagi berhembus dengan lembut, diselingi dengan kicauan merdu burung-burung yang seolah bersorak riang dan bersyukur pada yang Kuasa atas indahnya pagi ini.

“Waah, rasanya gue semangat ’45 nih buat ngejalanin hari ini. Padahal gue gak tau apa yang bakal terjadi nanti.” celoteh Meitha dalam hati, sambil berputar ke kiri dan ke kanan demi memastikan penampilannya sudah sesuai seperti anak sekolahan atau malah seperti preman pasar. Daaan, perfect.

“Mei, Rony dah nungguin kamu dari tadi, dandannya jangan lama-lama.” seru ibu, yang mulai merasa iba pada Rony karena hampir tiap hari mesti ikut-ikutan dihukum guru karena telat.

“Iya Ibu, tenang aja deh. Rony dah maklum kok.”

Sesampainya mereka disekolah pak Raden, satpam sekolah sudah siap sedia bertengger di depan gerbang. Sambil mengelus kumisnya, beliau berkata
“Kalian lagi, kalian lagi. Gak bosen-bosennya kalian datang terlambat. Sudah kalian pulang saja. Murid lain yang datang sebelum kalian juga sudah saya suruh pulang.”

“Yah Bapak, ini yang terakhir deh. Boleh ya kita masuk. Bapak gak kasian sama Mei, Mei pengen belajar pak.” ujar Meitha,dengan wajah super memelas yang selama ini selalu jadi jurus andalannya.

“Dari kemarin, kalian juga bilang seperti itu.”

 Mobil pak kepala sekolah mendekati mereka. Lalu beliau membuka kaca mobilnya.

“Meitha, Rony. Kenapa kalian masih diluar.Ayo cepat masuk.” perintah pak kepsek tercinta.

 “Siap boss.” triak Meitha dan Rony serempak.

  “Loh, loh, tapi Pak…” protes Pak Raden yang belum tau bahwa kepala sekolah memang menjadikan mereka sebagai anak emasnya. Bagaimana tidak, setiap tahunnya mereka-lah yang selalu mengharumkan nama sekolah melalui ajang Olimpiade Fisika. Mereka pun segera berlari menuju kelas masing-masing. Dan yah, semua orang sudah bisa menebak apa kisah selanjutnya.

   Saat jam istirahat, Rony menemui Meitha untuk meminta jatah coklat dari fans rahasianya. Entahlah, sejak duduk dibangku kelas X, hingga kelas XII ini Meitha memang sering menemukan coklat dari lacinya. Tapi Meitha tidak pernah mencari tau siapakah gerangan orang misterius itu. Bukan hanya coklat, dihari ulang tahun Meitha, orang itu pernah mengirimkan boneka beruang kesukaannya.

 “Lo bener-bener gak mau cari tau tentang orang itu?”

 “Gak deh, buat apa nyari tau seseorang yang jelas-jelas gak mau diketahui identitasnya.”

  “Kalo orangnya tinggi, putih, cakep, tajir, trus pinter pula. Gimana? Ntar nyesel loh…”

   “Trus kalo jelek, bau, tonggos, tompelan, kayak lo, gimana? Buat lo aja sana.” Tukas Meitha.

    “Memangnya ada orang yang nasibnya seburuk itu ?”

    “….”

    “Oke, kalo gitu gue yang bakal cari tau sendiri.”

    “Terserah.”

     Selang beberapa hari, Rony memutuskan untuk tidak menjemput Meitha dan berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Ia ingin menangkap basah orang  misterius itu. Tak lama dari sampainya Rony didepan kelas Meitha, terdengar langkah seseorang, Rony pun segera bersembunyi. Orang itu kemudian membuka pintu kelas Meitha dan tampaknya ia menaruh beberapa coklat dilaci Meitha. Rony yang mengintip dari luar jendela seketika ternganga.

  “Haaaa,apa gue gak salah liat. Jjjjajjadi, fans rahasia nya Meitha, pak Karto alias penjaga sekolah. Jadi selama ini… Ya Tuhan. Tuh aki-aki gak sadar umur kali ya. Udah bau tanah masih aja..” sebelum Rony menyelesaikan kalimatnya, seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

   “Heeeh,  mau ngomong apa lagi lo, gak baik ngejelek-jelekin orang tua dari belakang.” kata Meitha setengah berbisik.

   “Mei, lu ngagetin gue aja. Lu yang sabar ya Mei, gue gak nyangka loh. Eh, sorry juga ya gue gak jemput lo, tapi tumben lo berangkat pagi.”

    “ Lo kalo ngomong bisa nggak satu-satu. Ribet nih gue jawabnya. Semalem kan lo bilang gak bisa jemput gue karena ada misi penting, dari situ gue dah bisa nebak kali, apa yang bakal lo lakuin. Jadi lo beneran ngira kalo Pak Karto itu fans rahasia gue. Hahaha.. Dasar detektif amatiran.”

   “Tapi lu dah liat sendiri kan tadi, terus kalo bukan dia siapa lagi?”

    “Lo gak perlu tau, yang jelas bukan Pak Karto.”

    “ Jadi siapa dong Mei…?’’

Meitha berlalu tanpa menghiraukan Rony. Tadi, Meitha memang memergoki Rendi teman sekelas Rony memberikan sebuah bungkusan kepada pak Karto. Dan dari situ sudah cukup jelas bahwa fans rahasia Meitha adalah Rendi. Rendi adalah sosok yang begitu pendiam dan sangat polos. Hatinya mudah terluka oleh hal-hal yang sering orang lain anggap sebagai sesuatu yang sepele.
Kali ini, Meitha memutuskan untuk menemui Rendi, ia ingin meminta penjelasan atas semua ini.

“Ren,” tegur Meitha pada Rendi yang sedang asyik membaca buku di perpustakaan.

“Eh, kkkamu. Ada apa?” tanya rendi, mulai gugup.

“Apa maksud semua ini. Kenapa tiap hari lo selalu ngirimin coklat buat gue?”

“Meimei, tolong jangan berfikiran yang bukan-bukan dulu. Rendi gak ada maksud apapun kok. Beneran deh..”

“Itu kan panggilan temen kecil gue buat gue.Kok lo bisa tau? Atau jangan-jangan Lo…”

“Iya Mei, ini Rendi. Akhirnya setelah dua tahun kita satu  sekolah, kamu inget juga.”

“Ya ampun, kok gue gak ngenalin lo ya selama ini. Tapi dulu kan lo gemuk banget. Ups, sorry.”

“Itu kan dulu Mei, selama ini Rendi bela-belain diet demi Mei.”

“Demi gue, Lo diet demi gue. Seistimewa itukah gue buat lo?”

“Iya Mei, bagi Rendi, Kamu itu istimewa banget. Kan Mei pacar Rendi.”

“Apa? Pacar? Sejak kapan?”

“Sejak sebelas tahun yang lalu. Waktu itu, Mei pernah nolongin Rendi dari gangguan anak nakal. Mei janji sama Rendi, kalo Mei bakal trus ngejagain Rendi. Karena Mei sayang Rendi. Karena Rendi itu pacarnya Mei. Mei sendiri yang bilang kaya gitu.”

“Ya ampun Ren, itu kan cuma perkataan anak umur enam tahun. Tau apa anak kecil soal cinta?”

“Jadi Mei boongin Rendi.”

“Bukan gitu Ren..”

“Jadi… selama ini, itu semua gak artinya apa-apa dimata Mei. Tapi Rendi memang beneran sayang sama Meimei sejak sebelas tahun yang lalu.”

“Iya, gue tau. Gue juga sayang sama lo, tapi cuma sebagai temen Ren gak lebih.”

“Jadi, cuma sebagai temen Mei.”          

“Maafin Mei ya Rendi, tapi memang cuma sebagai temen.”

Rendi terdiam, lalu menitikan air mata kesedihannya. Kepolosan dan keluguannya itu menjadikan hatinya begitu hancur, karena ternyata selama ini pemikirannya telah salah. Rendi keluar dari perpustakaan, Meitha mengejar dari belakang sambil meminta maaf, sementara Rony yang kebingungan melihat kejadian itu turut berlarian dibelakang Meitha. Rendi masuk ke parkiran dan mengeluarkan mobilnya, kemudian melesat secepat kilat.
Semenjak kejadian itu, hampir tiga bulan Rendi tidak lagi kelihatan. Pihak sekolah pun tidak mau memberikan informasi apapun kepada Meitha alasan kenapa Rendi tidak lagi ke sekolah.

“Meitha, lo dipanggil ke ruang  kepsek.” Kata salah seorang murid yang namanya tidak perlu disebutkan.
Meitha segera beranjak ke ruang kepsek. Disana ia mendapati Tante Rima ibunya Rendi sedang mengobrol dengan kepsek.

“Tante.”

“Meitha. Udah lama tante gak ketemu kamu. Kamu sudah tumbuh dewasa dan cantik Mei.”

“Makasih Tante. Tante juga awet muda Loh.”

 Tante Rima pun meminta izin kepada pak kepala sekolah untuk membawa Meitha bersamanya. Sepanjang perjalanan Tante Rima mengatakan bahwa selama ini Rendi sakit, dihari terakhir Rendi sekolah, ia mengalami kecelakaan.

Sesampainya dirumah, Tante Rima mengajak  Meitha untuk menunggu Rendi di sebuah taman buatan di belakang rumah. Bunga lili, dan mawar-mawar putih ditanam secara teratur disana. Dan yang membuat takjub adalah hari itu bunga-bunga bermekaran dengan indahnya seolah menyamput riang gembira kedatangan pemiliknya. Tidak hanya itu, ditengah rimbunnya bunga terdapat sebuah pondok yang tak kalah indah. Dipondok itu tertata rapi lukisan-lukisan yang dipajang pada figura. Ada sebuah lukisan yang menarik perhatian Meitha. Lukisan anak perempuan yang sedang tertawa lepas.

“Tante, lukisan ini bagus. Pasti harganya mahal deh. Tapi, kenapa smua lukisan disini wajahnya mirip Meitha ya Tante?”

“Semua lukisan ini memang wajah kamu. Rendi yang membuatnya. Dan bunga-bunga ini, bunga favorit kamu kan, semuanya ditanam juga untuk kamu. Tante tau kamu cuma nganggep Rendi sebagai teman, tante juga gak habis pikir Rendi bisa jatuh cinta sama kamu diusia sedini itu.’’

“Maaah.” panggil Rendi pada ibunya.

“Iya nak.”

“Mah, mamah dimana? Rendi haus mah.” tanya Rendi sabil berjalan meraba-raba.

“Tetap disitu nak, biar mamah yang jemput kamu.”

“Mamah lagi ngobrol dengan siapa?”

“Dengan Meimei. Mei, sini nak.”

“Meimei…?”

Air mata Meitha mengalir dengan deras. Melihat Rendi yang kini telah kehilangan penglihatannya. Ia sungguh merasa bersalah pada Rendi. Ia sangat yakin bahwa apa yang menimpa Rendi akibat penolakannya tiga bulan yang lalu.

Hari itu, Rendi merasa kecewa dan akhirnya pulang dengan mengendarai mobil dalam kecepatan tinggi. Dalam perjalanan ia mengalami kecelakaan, dan matanya cidera karena terkena pecahan kaca mobil, hingga ia harus mengalami kebutaan. Begitulah dugaan Meitha. Dan itu memang benar adanya.

“Rendi, Tante, maafin Mei ya. Ini semua salah Mei.” Kata Meitha dalam isak tangisnya.

“Ini bukan salah kamu Mei, ini salah Rendi. Rendi justru yang seharusnya minta maaf, Rendi udah bersikap kekanakan.”

“Nggak Ren, ini salah Mei. Ren, izinin Mei ya buat jadi matanya Rendi. Izinin Mei buat terus ngejagain Rendi  .”

The End 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^

Selasa, 02 Oktober 2012

Fans Rahasia

Pagi yang cerah dan mentari pun masih sedikit malu-malu untuk memancarkan sinarnya. Angin pagi berhembus dengan lembut, diselingi dengan kicauan merdu burung-burung yang seolah bersorak riang dan bersyukur pada yang Kuasa atas indahnya pagi ini.

“Waah, rasanya gue semangat ’45 nih buat ngejalanin hari ini. Padahal gue gak tau apa yang bakal terjadi nanti.” celoteh Meitha dalam hati, sambil berputar ke kiri dan ke kanan demi memastikan penampilannya sudah sesuai seperti anak sekolahan atau malah seperti preman pasar. Daaan, perfect.

“Mei, Rony dah nungguin kamu dari tadi, dandannya jangan lama-lama.” seru ibu, yang mulai merasa iba pada Rony karena hampir tiap hari mesti ikut-ikutan dihukum guru karena telat.

“Iya Ibu, tenang aja deh. Rony dah maklum kok.”

Sesampainya mereka disekolah pak Raden, satpam sekolah sudah siap sedia bertengger di depan gerbang. Sambil mengelus kumisnya, beliau berkata
“Kalian lagi, kalian lagi. Gak bosen-bosennya kalian datang terlambat. Sudah kalian pulang saja. Murid lain yang datang sebelum kalian juga sudah saya suruh pulang.”

“Yah Bapak, ini yang terakhir deh. Boleh ya kita masuk. Bapak gak kasian sama Mei, Mei pengen belajar pak.” ujar Meitha,dengan wajah super memelas yang selama ini selalu jadi jurus andalannya.

“Dari kemarin, kalian juga bilang seperti itu.”

 Mobil pak kepala sekolah mendekati mereka. Lalu beliau membuka kaca mobilnya.

“Meitha, Rony. Kenapa kalian masih diluar.Ayo cepat masuk.” perintah pak kepsek tercinta.

 “Siap boss.” triak Meitha dan Rony serempak.

  “Loh, loh, tapi Pak…” protes Pak Raden yang belum tau bahwa kepala sekolah memang menjadikan mereka sebagai anak emasnya. Bagaimana tidak, setiap tahunnya mereka-lah yang selalu mengharumkan nama sekolah melalui ajang Olimpiade Fisika. Mereka pun segera berlari menuju kelas masing-masing. Dan yah, semua orang sudah bisa menebak apa kisah selanjutnya.

   Saat jam istirahat, Rony menemui Meitha untuk meminta jatah coklat dari fans rahasianya. Entahlah, sejak duduk dibangku kelas X, hingga kelas XII ini Meitha memang sering menemukan coklat dari lacinya. Tapi Meitha tidak pernah mencari tau siapakah gerangan orang misterius itu. Bukan hanya coklat, dihari ulang tahun Meitha, orang itu pernah mengirimkan boneka beruang kesukaannya.

 “Lo bener-bener gak mau cari tau tentang orang itu?”

 “Gak deh, buat apa nyari tau seseorang yang jelas-jelas gak mau diketahui identitasnya.”

  “Kalo orangnya tinggi, putih, cakep, tajir, trus pinter pula. Gimana? Ntar nyesel loh…”

   “Trus kalo jelek, bau, tonggos, tompelan, kayak lo, gimana? Buat lo aja sana.” Tukas Meitha.

    “Memangnya ada orang yang nasibnya seburuk itu ?”

    “….”

    “Oke, kalo gitu gue yang bakal cari tau sendiri.”

    “Terserah.”

     Selang beberapa hari, Rony memutuskan untuk tidak menjemput Meitha dan berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Ia ingin menangkap basah orang  misterius itu. Tak lama dari sampainya Rony didepan kelas Meitha, terdengar langkah seseorang, Rony pun segera bersembunyi. Orang itu kemudian membuka pintu kelas Meitha dan tampaknya ia menaruh beberapa coklat dilaci Meitha. Rony yang mengintip dari luar jendela seketika ternganga.

  “Haaaa,apa gue gak salah liat. Jjjjajjadi, fans rahasia nya Meitha, pak Karto alias penjaga sekolah. Jadi selama ini… Ya Tuhan. Tuh aki-aki gak sadar umur kali ya. Udah bau tanah masih aja..” sebelum Rony menyelesaikan kalimatnya, seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

   “Heeeh,  mau ngomong apa lagi lo, gak baik ngejelek-jelekin orang tua dari belakang.” kata Meitha setengah berbisik.

   “Mei, lu ngagetin gue aja. Lu yang sabar ya Mei, gue gak nyangka loh. Eh, sorry juga ya gue gak jemput lo, tapi tumben lo berangkat pagi.”

    “ Lo kalo ngomong bisa nggak satu-satu. Ribet nih gue jawabnya. Semalem kan lo bilang gak bisa jemput gue karena ada misi penting, dari situ gue dah bisa nebak kali, apa yang bakal lo lakuin. Jadi lo beneran ngira kalo Pak Karto itu fans rahasia gue. Hahaha.. Dasar detektif amatiran.”

   “Tapi lu dah liat sendiri kan tadi, terus kalo bukan dia siapa lagi?”

    “Lo gak perlu tau, yang jelas bukan Pak Karto.”

    “ Jadi siapa dong Mei…?’’

Meitha berlalu tanpa menghiraukan Rony. Tadi, Meitha memang memergoki Rendi teman sekelas Rony memberikan sebuah bungkusan kepada pak Karto. Dan dari situ sudah cukup jelas bahwa fans rahasia Meitha adalah Rendi. Rendi adalah sosok yang begitu pendiam dan sangat polos. Hatinya mudah terluka oleh hal-hal yang sering orang lain anggap sebagai sesuatu yang sepele.
Kali ini, Meitha memutuskan untuk menemui Rendi, ia ingin meminta penjelasan atas semua ini.

“Ren,” tegur Meitha pada Rendi yang sedang asyik membaca buku di perpustakaan.

“Eh, kkkamu. Ada apa?” tanya rendi, mulai gugup.

“Apa maksud semua ini. Kenapa tiap hari lo selalu ngirimin coklat buat gue?”

“Meimei, tolong jangan berfikiran yang bukan-bukan dulu. Rendi gak ada maksud apapun kok. Beneran deh..”

“Itu kan panggilan temen kecil gue buat gue.Kok lo bisa tau? Atau jangan-jangan Lo…”

“Iya Mei, ini Rendi. Akhirnya setelah dua tahun kita satu  sekolah, kamu inget juga.”

“Ya ampun, kok gue gak ngenalin lo ya selama ini. Tapi dulu kan lo gemuk banget. Ups, sorry.”

“Itu kan dulu Mei, selama ini Rendi bela-belain diet demi Mei.”

“Demi gue, Lo diet demi gue. Seistimewa itukah gue buat lo?”

“Iya Mei, bagi Rendi, Kamu itu istimewa banget. Kan Mei pacar Rendi.”

“Apa? Pacar? Sejak kapan?”

“Sejak sebelas tahun yang lalu. Waktu itu, Mei pernah nolongin Rendi dari gangguan anak nakal. Mei janji sama Rendi, kalo Mei bakal trus ngejagain Rendi. Karena Mei sayang Rendi. Karena Rendi itu pacarnya Mei. Mei sendiri yang bilang kaya gitu.”

“Ya ampun Ren, itu kan cuma perkataan anak umur enam tahun. Tau apa anak kecil soal cinta?”

“Jadi Mei boongin Rendi.”

“Bukan gitu Ren..”

“Jadi… selama ini, itu semua gak artinya apa-apa dimata Mei. Tapi Rendi memang beneran sayang sama Meimei sejak sebelas tahun yang lalu.”

“Iya, gue tau. Gue juga sayang sama lo, tapi cuma sebagai temen Ren gak lebih.”

“Jadi, cuma sebagai temen Mei.”          

“Maafin Mei ya Rendi, tapi memang cuma sebagai temen.”

Rendi terdiam, lalu menitikan air mata kesedihannya. Kepolosan dan keluguannya itu menjadikan hatinya begitu hancur, karena ternyata selama ini pemikirannya telah salah. Rendi keluar dari perpustakaan, Meitha mengejar dari belakang sambil meminta maaf, sementara Rony yang kebingungan melihat kejadian itu turut berlarian dibelakang Meitha. Rendi masuk ke parkiran dan mengeluarkan mobilnya, kemudian melesat secepat kilat.
Semenjak kejadian itu, hampir tiga bulan Rendi tidak lagi kelihatan. Pihak sekolah pun tidak mau memberikan informasi apapun kepada Meitha alasan kenapa Rendi tidak lagi ke sekolah.

“Meitha, lo dipanggil ke ruang  kepsek.” Kata salah seorang murid yang namanya tidak perlu disebutkan.
Meitha segera beranjak ke ruang kepsek. Disana ia mendapati Tante Rima ibunya Rendi sedang mengobrol dengan kepsek.

“Tante.”

“Meitha. Udah lama tante gak ketemu kamu. Kamu sudah tumbuh dewasa dan cantik Mei.”

“Makasih Tante. Tante juga awet muda Loh.”

 Tante Rima pun meminta izin kepada pak kepala sekolah untuk membawa Meitha bersamanya. Sepanjang perjalanan Tante Rima mengatakan bahwa selama ini Rendi sakit, dihari terakhir Rendi sekolah, ia mengalami kecelakaan.

Sesampainya dirumah, Tante Rima mengajak  Meitha untuk menunggu Rendi di sebuah taman buatan di belakang rumah. Bunga lili, dan mawar-mawar putih ditanam secara teratur disana. Dan yang membuat takjub adalah hari itu bunga-bunga bermekaran dengan indahnya seolah menyamput riang gembira kedatangan pemiliknya. Tidak hanya itu, ditengah rimbunnya bunga terdapat sebuah pondok yang tak kalah indah. Dipondok itu tertata rapi lukisan-lukisan yang dipajang pada figura. Ada sebuah lukisan yang menarik perhatian Meitha. Lukisan anak perempuan yang sedang tertawa lepas.

“Tante, lukisan ini bagus. Pasti harganya mahal deh. Tapi, kenapa smua lukisan disini wajahnya mirip Meitha ya Tante?”

“Semua lukisan ini memang wajah kamu. Rendi yang membuatnya. Dan bunga-bunga ini, bunga favorit kamu kan, semuanya ditanam juga untuk kamu. Tante tau kamu cuma nganggep Rendi sebagai teman, tante juga gak habis pikir Rendi bisa jatuh cinta sama kamu diusia sedini itu.’’

“Maaah.” panggil Rendi pada ibunya.

“Iya nak.”

“Mah, mamah dimana? Rendi haus mah.” tanya Rendi sabil berjalan meraba-raba.

“Tetap disitu nak, biar mamah yang jemput kamu.”

“Mamah lagi ngobrol dengan siapa?”

“Dengan Meimei. Mei, sini nak.”

“Meimei…?”

Air mata Meitha mengalir dengan deras. Melihat Rendi yang kini telah kehilangan penglihatannya. Ia sungguh merasa bersalah pada Rendi. Ia sangat yakin bahwa apa yang menimpa Rendi akibat penolakannya tiga bulan yang lalu.

Hari itu, Rendi merasa kecewa dan akhirnya pulang dengan mengendarai mobil dalam kecepatan tinggi. Dalam perjalanan ia mengalami kecelakaan, dan matanya cidera karena terkena pecahan kaca mobil, hingga ia harus mengalami kebutaan. Begitulah dugaan Meitha. Dan itu memang benar adanya.

“Rendi, Tante, maafin Mei ya. Ini semua salah Mei.” Kata Meitha dalam isak tangisnya.

“Ini bukan salah kamu Mei, ini salah Rendi. Rendi justru yang seharusnya minta maaf, Rendi udah bersikap kekanakan.”

“Nggak Ren, ini salah Mei. Ren, izinin Mei ya buat jadi matanya Rendi. Izinin Mei buat terus ngejagain Rendi  .”

The End 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^