Aku terus melihat ayah dengan sebal saat
dia melambaikan tangannya pagi itu untuk berangkat berdagang sayuran di pasar.
Aku benar-benar menyesal telah dilahirkan dari rahim seorang wanita berkeluarga
miskin. Sekitar lima bulang lalu, ibu pergi untuk selama-lamanya. Saat
kepergian ibu, sama sekali tidak ada air mata yang menetes dari mataku. Aku
benar-benar benci keluarga miskin ini! ucapku dalam hati. Setelah ayah sudah
berbelok, aku langsung berangkat sekolah. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin
terlihat bareng dengan pedagang sayur itu.
Di sekolah seperti biasanya. Saat
istirahat aku hanya duduk diam di kelas. Aku sama sekali tidak dikasih uang
jajan. Penghasilan ayah yang pas-pasan setiap harinya, hanya bisa untuk beli
makan untuk di rumah saja. Bekal pun tidak ada. Aku rasa Tuhan tidak adil! Aku
benar-benar muak dengan hidupku sekarang! Ingin sekali rasanya aku kabur dari rumah
dan mencari keluarga baru yang kaya raya. Tapi aku rasa itu tidak mungkin.
Ongkos untuk kabur pun aku tidak punya.
Saat pulang sekolah, ayah sudah pulang
duluan. Kulihat ayah memandangi foto ibu yang telah usang. “Dia itu udah mati!
Percuma kalo foto diliatin gitu juga nggak bakal ngebuat dia hidup lagi!”
teriakku kemudian langsung masuk ke kamar dan membanting pintu kesal. Terdengar
suara tangisan ayah. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku kemudian tidur
sambil menutup kepalaku dengan bantal gepeng yang usang.
***
“Dasar anak tukang sayur! Udah miskin
sok ngatur-ngatur lagi lo! Pergi lo dari kelompok gue!” teriak Metha, salah
satu temanku, dia memang anak orang kaya. Kemudian aku pergi dari mejanya.
Percuma juga jika aku meladeni bentakannya itu, yang ada teman-teman pasti akan
menertawaiku karena ucapan Metha yang menjelek-jelekkanku. Aku pun tidak akan
menangis dengan ucapan Metha tadi. Ucapan-ucapan seperti tadi sudah menjadi
makanan sehari-hariku. Yah, beginilah kehidupanku. Penuh dengan ejekan. Semua
ini karena keluargaku yang miskin! Aku benar-benar stress karena kemiskinan!
“Heh! Ganti pekerjaan kek, Bapak! Aku
malu denger semua ocehan temen-temen! Mereka selalu bilang kalo aku anak tukang
sayur! Aku malu, Pak! Malu!” teriakku pada ayah sepulang sekolah.
“May, udah sepuluh tahun Bapak kerja
seperti ini. ini memang sudah pekerjaan Bapak, May. Mana mungkin bapak
menggeluti pekerjaan lain. Bapak juga tidak punya keahlian, May. Maafkan Bapak”
sahut ayah sambil menangis. Aku benci ucapan ayah itu! Bukan itu yang aku mau!
“Bodo amat! Pokoknya Bapak nggak boleh
jadi tukang sayur lagi!” bentakku kemudian masuk ke kamar dan membanting pintu.
Di kamar aku menangis. Meratapi nasibku ini. Kenapa buruk nasibku ini? aku
benci! Aku benci semuanya!
Paginya kulihat ayah duduk di depan. Dia
tidak pergi ke pasar hari ini. “Pak? Nggak jualan?” tanyaku. Ayah kemudian
tersenyum padaku. “Bapak udah nggak jualan sayur, May. Kamaren kan kamu yang
bilang supaya Bapak nggak jualan sayur. Sekarang Bapak jualan koran. Dan sebentar
lagi juga Bapak berangkat” ucap ayah kemudian. “Ish, dasar! Maksud gue nggak
usah jualan sayur, ya jangan jualan koran! Jadi insinyur kek! Biar kita kaya!
Kaya raya, Pak!” bentakku kemudian. Ayah menundukkan kepalanya. Sebal melihat
ayah, aku langsung pergi untuk berangkat sekolah. Kemudian ayah memegang
pundakku dan menyodorkan tangannya. Aku sudah kesal dengan ayah bego itu! Aku
tetap pergi tanpa salim padanya. Aku benci dia!
***
Tiga bulan kemudian, ayah berganti
pekerjaan sebagai tukang koran. Sama saja! Hidupku tidak berubah sama sekali.
Sama seperti dulu. Tidak dapat uang jajan, jarang makan dan tidak ada uang
untuk kabur dari rumah! aku benar-benar stress ada di rumah! mau pergi juga
pergi kemana? Aku sama sekali tidak ada uang. Bosan sekali aku di rumah ini!
Ayah pulang kemudian duduk di kursi
sambil mengelap mukanya yang bercucuran peluh. “May, tolong ambilin Bapak
minum. Bapak capek sekali, May” ucap ayah kemudian. “Heh! Enak aja
nyuruh-nyuruh lo! Kalo haus, ya ambil minum sendiri! Punya kaki kan? Kalo Bapak
nggak punya kaki, baru aku ambilin!” teriakku kemudian pergi meninggalkan ayah
sendiri. Kemudian aku pergi keluar rumah. Aku duduk duduk di kursi depan. Sebal
rasanya aku dengan ayah. Sudah miskin, sok jadi raja lagi! Minum saja minta
ambilin! Punya kaki kenapa harus minta ambilin?! Dasar ayah tidak berguna!
Ucapku dalam hati dengan kesalnya.
Besoknya tiba-tiba ayah pulang dengan
babak belur. Ayah meringis kesakitan sambil memegang lukanya. Kemudian aku
menghampirinya dan bertanya, “kenapa, Pak?”. “Bapak tadi berantem, May. Ada
orang yang mengambil barang berharga punya Bapak” jawab ayah sambil meringis
kesakitan. “Ish! Ngapain coba pake berantem segala?! Kayak anak kecil aja!
rebutan barang lagi! Anak kecil banget tau nggak!” bentakku benar-benar sebal.
Dasar orang tua! Sudah tua bukannya banyak nyari uang, malah berantem kayak
anak kecil! Bentakku dalam hati. Ih! Aku benar-benar kesal dengan ayah! Sudah
tua, miskin, kerjanya hanya merepotkan saja! Rasanya aku ingin cepat kabur dari
rumah ini! Rumah gubug ini!
Malam harinya, terbelesit pikiran
nakalku. Aku tau bagaimana cara kabur dari rumah kali ini. aku berjinjit masuk
pelan ke kamar ayah. Kulihat ayah sedang duduk di kursi depan. Saat di kamar
ayah, aku langsung mengobrak-abrik lemari baju ayah. Kucari-cari sesuatu itu.
Dan akhirnya... ya! Aku berhasil mendapatkannya! Uang itu, uang untuk kabur
itu. Aku berhasil mendapatkannya. Selamat tinggal miskin! Ucapku dalam hati sambil
tertawa tidak bersuara. Kemudian kumasukan uang itu ke dalam saku baju. Aku
bergegas keluar dari kamar ayah. Saat hendak keluar, tiba-tiba ayah sudah ada
di depanku. Aku terkejut melihatnya.
“Kamu kenapa ke kamar Bapak?” tanya ayah
padaku. Aku memikir-mikir alasan apa yang masuk akal.
“Emangnya nggak boleh apa ke kamar
Bapak?! Miskin aja pake rahasia-rahasian segala! Dasar miskin!” bentakku
kemudian. Aku segera masuk ke dalam kamar.
Ku hitung-hitung, uangnya berjumlah
empat puluh lima ribu. Untuk apa ayah menyimpan uang sebanyak ini? dasar!. Aku
berencana, nanti pagi-pagi sekali pergi dari rumah ini. niatku sudah mantab!
Aku akan pergi dari kemiskinan ini! pergi dari ayah yang tidak berguna itu!
Ucapku dalam hati dengan mantabnya.
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Saat
hendak keluar kamar, tiba-tiba ada perasaan tidak enak. Aku tidak tau kenapa
begitu. Hatiku ini, seperti bilang jangan pergi. Aku takut jika nanti terjadi
apa-apa dengan diriku. Setelah lama dilema, akhirnya aku putuskan untuk tidak
jadi pergi dari rumah. uang ini, lebih baik aku simpan sendiri saja. Cukup
untukku membeli baju. Apalagi.. sebenatar lagi hari ulangtahunku. Aku juga
ingin bersenang-senang di hari ulangtahunku. Akhirnya aku menyimpan kembali
uang itu. Dan tidak jadi pergi dari rumah. sangat kusesali juga. Tapi..
yasudahlah, mungkin memang ini belum waktunya untuk kabur dari rumah.
***
Seminggu kemudian, tepat di hari
ulangtahunku, aku berdandan serapih mungkin. Hari ini aku akan pergi ke pasar
untuk membeli baju dengan memakai uang yang ku simpan itu. Saat di perjalanan,
tiba-tiba salah seorang tetanggaku menghampiriku dan berkata, “May, May tunggu!
Jangan pergi dulu! Emm.. heh.. emm.. anu... Bapakmu.. heh.. Bapakmu.. kec..
kecelakaan!”. Aku terkejut dengan ucapan itu. Entah kenapa aku sedih dengan
ucapan tetanggaku itu. Seharusnya aku senang karena ayah kecelakaan! Jadi tidak
ada yang merepotkanku lagi. Tidak ada wajah yang menjengkelkan aku lagi. Tapi
kali ini.. aku malah sedih. Saat diajak menengok ayah pun aku mengikuti. Kenapa
ini? tanyaku pada diri sendiri.
Air mataku menetes saat melihat ayah
terbaring di kasur rumah sakit. Lukanya ada dimana-mana. Diselimutnya, masih
terbekas darah segar bekas darah ayah. Aku langsung menghampiri ayah. Air
mataku terus mengalir sedih. Entah mengapa, aku kasian melihat ayah terbaring
seperti ini. Memeluknya.. aku malu sekali melakukan itu. Padahal aku sangat
ingin melakukan itu.
Sejam kemudian, ayah sadar. Kemudian
dipanggil-panggilnya namaku. Aku pun segera menghampiri ayah. “May, coba tolong
liatin kaki Bapak. Bapak merasa tidak nyaman, May. Bapak bener-bener minta
tolong kali ini” pinta ayah kepadaku. Kemudian, kubuka selimut ayah dan betapa
terkejutnya aku. Kaki ayah.. kaki ayah.. kaki ayah hanya tinggal sedengkul.
Kaki ayah ternyata diamputasi. Ayah tidak punya kaki lagi sekarang. Air mataku
kembali mengalir saat melihat keadaan kaki ayah sekarang. Tanpa malu, aku
langsung memeluk ayah. Sakit hati ini memeluknya. Mengingat perlakuanku
kepadanya dulu.
“May, Bapak haus. Tolong ambilkan minum
untuk Bapakmu ini, Nak. Kamu sendiri yang bilang kan, jika Bapak tidak punya
kaki, kamu yang akan mengambilkan minum untuk Bapak. Sekarang.. Bapak tidak
punya kaki lagi, May. Tolong ambilkan minum untuk Bapak, Nak” ucap ayah
menangis. Melihat ayah menangis, aku pun jadi ikut menangis. Kemudian
kuambilkan minum ke meja. Hatiku kembali sakit mendengar perkataan ayah
barusan. Ayah benar. Dulu aku memang pernah berkata seperti itu. Sekarang, aku
benar-benar sedih mengingat kata-kataku dulu itu pada ayah.
Ayah kemudian memegang tanganku erat.
Kemudian disuruhnya aku mengambil sesuatu di bawah tempat tidur ayah. Saat
kulihat, ada baju disana.
“Untuk siapa ini, Pak?” tanyaku kemudian
bingung.
“Itu.. untuk..mu, May. Se.. selamat
ulangta... hun ya, May. Maaf se... kali karena Bapak hanya bi.. bisa memberi
itu untuk... mu” jawab ayah terbata-bata. Aku kembali menangis mendengar ucapan
ayah. Kemudian aku peluk ayah dengan erat. Kuucapkan terima kasih pada yah.
“Se.. sebenarnya, uang ya.. ng kamu
ambil wak... tu it.. tu, mau Bapak ku.. pulkan un.. untuk membeli kado un..
untukmu, Nak. Bapak ta..u karena saat Bapak li... at lemari, u... uang itu
sudah ti.. tidak ada” ucap ayah lagi. Kemudian aku merasa bersalah dengan ayah.
“Maapin aku, Pak. Aku nggak tau kalo
uang itu untuk beli kado buat ulangtahunku. Maap, Pak” ucapku malu. Ayah hanya
tersenyum padaku. Kemudian dipeluknya aku. Aku sangat merasa bersalah pada
ayah. Kenapa aku.. bisa dengan gampangnya berlaku tidak sopan pada ayah dulu?
Kelakuanku.. sama saja dengan setan! Aku pun mengumpat diriku sendiri.
Setelah beberapa jam di rumah sakit,
kemudian ayah memanggilku lagi. Aku segera berdiri dari kursi tunggu dan
mendekati ayah. Kemudian ayah berkata.
“Jaga dirimu baik-baik, May. Maaf karena
Bapak tidak bisa menemanimu selamanya. Untuk kedepannya, Bapak akan menemani
ibumu disana, May. Di tempat yang jauh itu. Bapak sudah memaafkan semua
kesalahanmu. Semua kata-kata kasar darimu, May. Karena Bapak tau, kamu bersikap
begitu karena Bapak juga yang hidup miskin begini. Sekarang, kamu bisa tenang
tanpa Bapak, May. Bapak sangat menyayangimu. Semoga nantinya kamu bisa tumbuh
sebagai wanita yang soleha, May”. Setelah berucap kemudian ayah tersenyum padaku.
Sebelum akhirnya... dia memejamkan matanya dengan kedamaian.
“Bapakk!!!! Bapak!!! Jangan tinggalin
May, Pak!!! Bangun, Pak!!!! May takut sendirian, Pak!!! May minta maap dengan
semua kata-kata May, Pak!!!!! Bapak bangun!!!!! Bapakkkk!!!!!!” teriakku sambil
menggoyang-goyangkan tubuh ayah. Tapi ayah sudah tidak mendengar teriakanku
lagi. Dia tetap tertidur. Dia diam tidak bergeming. Aku menangis. Kemudian
teringat kembali saat aku mengatakan kata-kata kasar kepada ayah. Ayah yang
selama ini ternyata selalu menyayangiku. Ini ulangtahun terakhirku bagi ayah.
Dan dihari ulangtahun ini, terakhir kalinya aku melihat ayah. Kado terakhir
ini... akan aku kenang sampai aku mati. Bapak, maafkan aku, ucapku dalam hati.
Tak kuasa aku menahan tangis ini. Ayah sudah tidur untuk selama-lamanya.
Letter for Daddy
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^