Bagai telur di ujung tanduk, barangkali
begitulah melukiskan keadaan kondisiku saat ini, panggil saja Citra, aku
seorang anak perempuan yang cacat tanpa kaki sebelah, tapi semua itu tak pernah
menyurutkan aku mencari biaya untuk keluargaku, bapakku sudah meninggal waktu
adik bungsuku masih bayi, kini emak dan ke-6 keluargaku tinggal di sebuah gubuk
kecil dipingiran kota, pada waktu pagi semua terlelap tidur aku bergegas
mencari rejeki di pinggiran jalan raya untuk mengamen, mungkin karena kondisiku
yang cacat sering kali ejekan demi ejekan aku terima dari temanku, sedih hati
ini tidak semua orang berharap menjadi orang yang cacat. Umur 14 tahun, ibuku
sakit parah dan akhirnya meninggal, menyesal hati ini, andaikan aku punya uang
yang banyak pasti nyawa ibuku terselamatkan, tapi penghasilanku tidak seberapa
hanya cukup untuk makan adik-adikku, kini beban semakin berat di pundakku, rasa
ingin sekolah aku tepis jauh-jauh aku harus bisa menjadi bapak dan ibu untuk 1
kakak perempuanku yang berumur 17 tahun dan adik-adikku, tiap pagi sampai sore
ku berjuang mencari rejeki, sedangkan kakak sibuk mengurus di rumah merawat
adik-adikku.
Kadang lelah tenaga ini lelah
pikiran ini, tapi hidup harus di jalani, tiap pagi aku bagaikan menjadi bapak
untuk adik-adikku yang mau berangkat sekolah untuk meminta uang saku. Air mata
ini menetes, jika melihat adik kecilku tidur berjejer bagaikan pindang asin
yang di pajang dipasar. Ku hanya bisa memandang baju dan alas tidur yang tak
layak di pakai buat mereka tapi apa daya aku sudah berusaha membahagiakan
mereka tapi aku sungguh sudah maksimal. Terbesit di benak ini, aku ingin adik-adikku
hidup layak tidak kesusahan seperti aku dan kakakku, akhirnya ku putuskan aku
mendatangi sebuah panti asuhan dan mengharap sudi kiranya panti asuhan itu
merawat adik-adikku.
Alhamdulillah ALLAH MAHA BESAR, mereka dengan senang hati
menerima ke empat adikku. Dengan dalih berbohong kuajak mereka ke sebuah rumah
besar dan bersih yaitu Pondok sebuah Yatim Piatu, Air mata ini meleleh di kalah
melihat adik-adikku berlarian ke lapangan dan main ayun-ayunan aku belum pernah
sekalipun melihat wajah bahagia mereka seperti saat ini, tiba waktunya aku
undur diri, Pak Ustad pun berharap aku tinggal di tempat ini, tapi kutolak
permintaan itu, kakakku akan menikah dia akan tinggal dengan suaminya aku akan
menempati rumah kecil peninggalan bapak ibuku. Ku cium adiku satu persatu, mereka
melihat air mataku membasahi pipiku, dan bertanya "Kenapa kakak
menangis.." ujar salah satu adiku, "Kakak hanya capek ujarku, kalian
di sini baik-baik dengarkan kata Pak Ustad dan Ibu-ibu yang merawat kalian..!!"
kataku sambil berlinangan air mataku. "Tidak kak, kita mau ikut kakak saja
kami janji gak nakal jangan tinggalkan kami kak..." ujar salah satu adiku,
betapa runtuh hati jiwa ini, belum pernah sekalipun kami berpisah, tapi demi kebahagiaan
mereka ini harus terjadi. "Dengar ya, kalau kalian masih menangis dan gak
dengar omongan kakak jangan harap kalian bertemu kakak lagi.." kataku
sambil sedikit membentak. "Iya kak, kami janji akan patuh sama Pak ustad
dan Ibu di sini yang merawat kami, tapi kakak janji jangan pernah tinggalkan
kami..."
Ya Allah, sungguh aku tak mampu
menerima ucapan salah satu adikku, aku sungguh tidak mampu, ku peluk mereka dan
kami pun menangis bersama-sama. Dan aku pun berpamitan pada adik-adikku, "Jaga
diri kalian baik-baik, lain kali kakak akan datang menjenguk kalian.." ujarku.
"Iya kakak, kami tunggu.” kata si bungsu. Da.. Da.. Da kakak.. Cepat
jenguk kami lagi ya," dia lambaikan tangan untukku sambil ku lihat air
mata mereka menetes di pipinya. Akupun berpamitan, sekali lagi Pak Ustad
menawariku tinggal di asrama, tapi aku tolak, aku ingin merawat rumah
peninggalan orang tuaku. Setelah ku keluar dari pintu pagar, kulihat adik
bungsuku lari mengejarku sambil menangis memanggil namaku, dengan cepat aku
langkahkan kaki ini yang di temani sebuah kayu untuk menghindari adiku.
"Kakakkkkkkkkkk.... Jangan
tinggalkan kami, aku mau kakak...." ku dengar rengekkan si bungsu, aku
yang sembunyi di balik mobil yang terparkir di depan asrama, aku pun tak mampu
memendung air mata, MAAFkan kakak, ini
semua demi kebaikan kalian, batinku.
Kini rumah yang aku tempati
begitu sepi, tak terasa air mata ini jatuh di pipi, aku rindu adik-adikku, aku
rindu canda tawa mereka, aku rindu melihat mereka gembira sekali di saat aku
pulang ngamen ku bawakan cilok kesukaan mereka, tapi kini hidupku sunyi sepi, tapi
aku berharap mereka akan sukses suatu kelak tidak seperti aku yang cacat dan tidak
berpendidikan sama sekali.
Malam telah larut, mata ini ingin
kututup, tapi air mata ini tetap meleleh.. “AKU KANGEN KALIAN DIK.” ucap
lirihku dan akhirnya aku pun tertidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^