Senin, 22 Oktober 2012

:: MENCARI MAKNA KEHIDUPAN ::


Bagai telur di ujung tanduk, barangkali begitulah melukiskan keadaan kondisiku saat ini, panggil saja Citra, aku seorang anak perempuan yang cacat tanpa kaki sebelah, tapi semua itu tak pernah menyurutkan aku mencari biaya untuk keluargaku, bapakku sudah meninggal waktu adik bungsuku masih bayi, kini emak dan ke-6 keluargaku tinggal di sebuah gubuk kecil dipingiran kota, pada waktu pagi semua terlelap tidur aku bergegas mencari rejeki di pinggiran jalan raya untuk mengamen, mungkin karena kondisiku yang cacat sering kali ejekan demi ejekan aku terima dari temanku, sedih hati ini tidak semua orang berharap menjadi orang yang cacat. Umur 14 tahun, ibuku sakit parah dan akhirnya meninggal, menyesal hati ini, andaikan aku punya uang yang banyak pasti nyawa ibuku terselamatkan, tapi penghasilanku tidak seberapa hanya cukup untuk makan adik-adikku, kini beban semakin berat di pundakku, rasa ingin sekolah aku tepis jauh-jauh aku harus bisa menjadi bapak dan ibu untuk 1 kakak perempuanku yang berumur 17 tahun dan adik-adikku, tiap pagi sampai sore ku berjuang mencari rejeki, sedangkan kakak sibuk mengurus di rumah merawat adik-adikku.

Kadang lelah tenaga ini lelah pikiran ini, tapi hidup harus di jalani, tiap pagi aku bagaikan menjadi bapak untuk adik-adikku yang mau berangkat sekolah untuk meminta uang saku. Air mata ini menetes, jika melihat adik kecilku tidur berjejer bagaikan pindang asin yang di pajang dipasar. Ku hanya bisa memandang baju dan alas tidur yang tak layak di pakai buat mereka tapi apa daya aku sudah berusaha membahagiakan mereka tapi aku sungguh sudah maksimal. Terbesit di benak ini, aku ingin adik-adikku hidup layak tidak kesusahan seperti aku dan kakakku, akhirnya ku putuskan aku mendatangi sebuah panti asuhan dan mengharap sudi kiranya panti asuhan itu merawat adik-adikku. 

Alhamdulillah ALLAH MAHA BESAR, mereka dengan senang hati menerima ke empat adikku. Dengan dalih berbohong kuajak mereka ke sebuah rumah besar dan bersih yaitu Pondok sebuah Yatim Piatu, Air mata ini meleleh di kalah melihat adik-adikku berlarian ke lapangan dan main ayun-ayunan aku belum pernah sekalipun melihat wajah bahagia mereka seperti saat ini, tiba waktunya aku undur diri, Pak Ustad pun berharap aku tinggal di tempat ini, tapi kutolak permintaan itu, kakakku akan menikah dia akan tinggal dengan suaminya aku akan menempati rumah kecil peninggalan bapak ibuku. Ku cium adiku satu persatu, mereka melihat air mataku membasahi pipiku, dan bertanya "Kenapa kakak menangis.." ujar salah satu adiku, "Kakak hanya capek ujarku, kalian di sini baik-baik dengarkan kata Pak Ustad dan Ibu-ibu yang merawat kalian..!!" kataku sambil berlinangan air mataku. "Tidak kak, kita mau ikut kakak saja kami janji gak nakal jangan tinggalkan kami kak..." ujar salah satu adiku, betapa runtuh hati jiwa ini, belum pernah sekalipun kami berpisah, tapi demi kebahagiaan mereka ini harus terjadi. "Dengar ya, kalau kalian masih menangis dan gak dengar omongan kakak jangan harap kalian bertemu kakak lagi.." kataku sambil sedikit membentak. "Iya kak, kami janji akan patuh sama Pak ustad dan Ibu di sini yang merawat kami, tapi kakak janji jangan pernah tinggalkan kami..."
Ya Allah, sungguh aku tak mampu menerima ucapan salah satu adikku, aku sungguh tidak mampu, ku peluk mereka dan kami pun menangis bersama-sama. Dan aku pun berpamitan pada adik-adikku, "Jaga diri kalian baik-baik, lain kali kakak akan datang menjenguk kalian.." ujarku. "Iya kakak, kami tunggu.” kata si bungsu. Da.. Da.. Da kakak.. Cepat jenguk kami lagi ya," dia lambaikan tangan untukku sambil ku lihat air mata mereka menetes di pipinya. Akupun berpamitan, sekali lagi Pak Ustad menawariku tinggal di asrama, tapi aku tolak, aku ingin merawat rumah peninggalan orang tuaku. Setelah ku keluar dari pintu pagar, kulihat adik bungsuku lari mengejarku sambil menangis memanggil namaku, dengan cepat aku langkahkan kaki ini yang di temani sebuah kayu untuk menghindari adiku.
"Kakakkkkkkkkkk.... Jangan tinggalkan kami, aku mau kakak...." ku dengar rengekkan si bungsu, aku yang sembunyi di balik mobil yang terparkir di depan asrama, aku pun tak mampu memendung air mata, MAAFkan kakak,  ini semua demi kebaikan kalian, batinku.

Kini rumah yang aku tempati begitu sepi, tak terasa air mata ini jatuh di pipi, aku rindu adik-adikku, aku rindu canda tawa mereka, aku rindu melihat mereka gembira sekali di saat aku pulang ngamen ku bawakan cilok kesukaan mereka, tapi kini hidupku sunyi sepi, tapi aku berharap mereka akan sukses suatu kelak tidak seperti aku yang cacat dan tidak berpendidikan sama sekali.
Malam telah larut, mata ini ingin kututup, tapi air mata ini tetap meleleh.. “AKU KANGEN KALIAN DIK.” ucap lirihku dan akhirnya aku pun tertidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^

Senin, 22 Oktober 2012

:: MENCARI MAKNA KEHIDUPAN ::


Bagai telur di ujung tanduk, barangkali begitulah melukiskan keadaan kondisiku saat ini, panggil saja Citra, aku seorang anak perempuan yang cacat tanpa kaki sebelah, tapi semua itu tak pernah menyurutkan aku mencari biaya untuk keluargaku, bapakku sudah meninggal waktu adik bungsuku masih bayi, kini emak dan ke-6 keluargaku tinggal di sebuah gubuk kecil dipingiran kota, pada waktu pagi semua terlelap tidur aku bergegas mencari rejeki di pinggiran jalan raya untuk mengamen, mungkin karena kondisiku yang cacat sering kali ejekan demi ejekan aku terima dari temanku, sedih hati ini tidak semua orang berharap menjadi orang yang cacat. Umur 14 tahun, ibuku sakit parah dan akhirnya meninggal, menyesal hati ini, andaikan aku punya uang yang banyak pasti nyawa ibuku terselamatkan, tapi penghasilanku tidak seberapa hanya cukup untuk makan adik-adikku, kini beban semakin berat di pundakku, rasa ingin sekolah aku tepis jauh-jauh aku harus bisa menjadi bapak dan ibu untuk 1 kakak perempuanku yang berumur 17 tahun dan adik-adikku, tiap pagi sampai sore ku berjuang mencari rejeki, sedangkan kakak sibuk mengurus di rumah merawat adik-adikku.

Kadang lelah tenaga ini lelah pikiran ini, tapi hidup harus di jalani, tiap pagi aku bagaikan menjadi bapak untuk adik-adikku yang mau berangkat sekolah untuk meminta uang saku. Air mata ini menetes, jika melihat adik kecilku tidur berjejer bagaikan pindang asin yang di pajang dipasar. Ku hanya bisa memandang baju dan alas tidur yang tak layak di pakai buat mereka tapi apa daya aku sudah berusaha membahagiakan mereka tapi aku sungguh sudah maksimal. Terbesit di benak ini, aku ingin adik-adikku hidup layak tidak kesusahan seperti aku dan kakakku, akhirnya ku putuskan aku mendatangi sebuah panti asuhan dan mengharap sudi kiranya panti asuhan itu merawat adik-adikku. 

Alhamdulillah ALLAH MAHA BESAR, mereka dengan senang hati menerima ke empat adikku. Dengan dalih berbohong kuajak mereka ke sebuah rumah besar dan bersih yaitu Pondok sebuah Yatim Piatu, Air mata ini meleleh di kalah melihat adik-adikku berlarian ke lapangan dan main ayun-ayunan aku belum pernah sekalipun melihat wajah bahagia mereka seperti saat ini, tiba waktunya aku undur diri, Pak Ustad pun berharap aku tinggal di tempat ini, tapi kutolak permintaan itu, kakakku akan menikah dia akan tinggal dengan suaminya aku akan menempati rumah kecil peninggalan bapak ibuku. Ku cium adiku satu persatu, mereka melihat air mataku membasahi pipiku, dan bertanya "Kenapa kakak menangis.." ujar salah satu adiku, "Kakak hanya capek ujarku, kalian di sini baik-baik dengarkan kata Pak Ustad dan Ibu-ibu yang merawat kalian..!!" kataku sambil berlinangan air mataku. "Tidak kak, kita mau ikut kakak saja kami janji gak nakal jangan tinggalkan kami kak..." ujar salah satu adiku, betapa runtuh hati jiwa ini, belum pernah sekalipun kami berpisah, tapi demi kebahagiaan mereka ini harus terjadi. "Dengar ya, kalau kalian masih menangis dan gak dengar omongan kakak jangan harap kalian bertemu kakak lagi.." kataku sambil sedikit membentak. "Iya kak, kami janji akan patuh sama Pak ustad dan Ibu di sini yang merawat kami, tapi kakak janji jangan pernah tinggalkan kami..."
Ya Allah, sungguh aku tak mampu menerima ucapan salah satu adikku, aku sungguh tidak mampu, ku peluk mereka dan kami pun menangis bersama-sama. Dan aku pun berpamitan pada adik-adikku, "Jaga diri kalian baik-baik, lain kali kakak akan datang menjenguk kalian.." ujarku. "Iya kakak, kami tunggu.” kata si bungsu. Da.. Da.. Da kakak.. Cepat jenguk kami lagi ya," dia lambaikan tangan untukku sambil ku lihat air mata mereka menetes di pipinya. Akupun berpamitan, sekali lagi Pak Ustad menawariku tinggal di asrama, tapi aku tolak, aku ingin merawat rumah peninggalan orang tuaku. Setelah ku keluar dari pintu pagar, kulihat adik bungsuku lari mengejarku sambil menangis memanggil namaku, dengan cepat aku langkahkan kaki ini yang di temani sebuah kayu untuk menghindari adiku.
"Kakakkkkkkkkkk.... Jangan tinggalkan kami, aku mau kakak...." ku dengar rengekkan si bungsu, aku yang sembunyi di balik mobil yang terparkir di depan asrama, aku pun tak mampu memendung air mata, MAAFkan kakak,  ini semua demi kebaikan kalian, batinku.

Kini rumah yang aku tempati begitu sepi, tak terasa air mata ini jatuh di pipi, aku rindu adik-adikku, aku rindu canda tawa mereka, aku rindu melihat mereka gembira sekali di saat aku pulang ngamen ku bawakan cilok kesukaan mereka, tapi kini hidupku sunyi sepi, tapi aku berharap mereka akan sukses suatu kelak tidak seperti aku yang cacat dan tidak berpendidikan sama sekali.
Malam telah larut, mata ini ingin kututup, tapi air mata ini tetap meleleh.. “AKU KANGEN KALIAN DIK.” ucap lirihku dan akhirnya aku pun tertidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^