Tanggung
jawab terbesar suami yang menjadi hak istri adalah memberikan nafkah.
Terdapat
banyak dalil yang menunjukkan tanggung jawab memberi nafkah istri, diantaranya,
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Lelaki
adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada
sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan
mereka memberi nafkan dengan hartanya ….” (Q.S. An-Nisa’:34)
Allah juga
berfirman,
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Merupakan
kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada
istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar ….” (Q.S. Al-Baqarah:233)
Dalam hadis
dari Muawiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
‘Ya
Rasulullah, apa hak istri yang menjadi tanggung jawab kami?’
Jawab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ
وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Engkau
memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau
berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya
(dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam
rumah.” (HR.
Ahmad 20013, Abu Daud no. 2142, Ibnu Majah 1850, dan dihasankan Syuaib
al-Arnauth).
Nafkah
Suami kepada Istri Bernilai Sedekah
Nafkah yang
diberikan suami kepada istrinya, merupakan ibadah terbesar suami terhadap
keluarganya. Karena memberikan nafkah keluarga merupakan beban kewajiban
syariat untuk para suami.
Dari Abu
Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
أَنْفَقَ المُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ، وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا، كَانَتْ لَهُ
صَدَقَةً
”Apabila
seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala
darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR.Bukhari 5351).
Dalam hadis
lain dari Sa’d bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكَ
مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ، فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ، حَتَّى اللُّقْمَةُ
الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ
“Semua
nafkah yang engkau berikan, itu bernilai sedekah. Hingga suapan yang engkau
ulurkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari 2742 dan Muslim 1628).
Apa
Cakupan Nafkah?
Dalam Fatawa
Islam ditegaskan,
والنفقة
تشمل : الطعام والشراب والملبس والمسكن ، وسائر ما تحتاج إليه الزوجة لإقامة
مهجتها ، وقوام بدنها
Nafkah
mencakup: makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan segala sarana yang
menjadi kebutuhan istri untuk hidup dengan layak. (Fatawa Islam no. 3054).
Harta
Istri
Berdasarkan
keterangan di atas, kita menyimpulkan bahwa dari setiap penghasilan yang
diperoleh suami, di sana ada jatah nafkah istri yang harus ditunaikan.
Ini berbeda
dengan harta istri. Allah menegaskan bahwa harta itu murni menjadi miliknya,
dan tidak ada seorangpun yang boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan istri.
Dalil kesimpulan ini adalah ayat tentang mahar,
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 4)
Fatawa
Syabakah Islamiyah menjelaskan tafsir ayat ini,
والآية
الكريمة علقت جواز أخذ مال الزوجة على أن يكون بطيب النفس وهو أبلغ من مجرد الإذن،
فإن المرأة قد تتلفظ بالهبة والهدية ونحو ذلك بسبب ضغط الزوج عليها مع عدم رضاها
بإعطائه، وعلم من هذا أن المعتبر في تحليل مال الزوجة إنما هو أن يكون بطيب النفس
Ayat di atas
menjelaskan bahwa suami boleh mengambil harta istri jika disertai kerelaan
hati. Dan kerelaan hati itu lebih dari sebatas izin. Karena terkadang ada
wanita yang dia menghibahkan atau menghadiahkan hartanya atau semacamnya,
disebabkan tekanan suami kepadanya. Sehingga diberikan tanpa kerelaan.
Disimpulkan dari sini, bahwa yang menjadi acuan tentang halalnya harta istri
adalah adanya kerelaan hati. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 32280)
Jika harta
mahar, yang itu asalnya dari suami diberikan kepada istrinya, tidak boleh
dinikmati suami kecuali atas kerelaan hati sang istri, maka harta lainnya yang
murni dimiliki istri, seperti penghasilan istri atau warisan milik istri dari
orang tuanya, tentu tidak boleh dinikmati oleh suaminya kecuali atas kerelaan
istri juga.
Dalam Fatwa
Islam ditegaskan,
وأما
بخصوص راتب الزوجة العاملة : فإنه من حقها ، وليس للزوج أن يأخذ منه شيئاً إلا
بطِيب نفسٍ منها
”Khusus
masalah gaji istri yang bekerja, semuanya menjadi haknya. Suami tidak boleh
mengambil harta itu sedikitpun, kecuali dengan kerelaan hati istrinya.” (Fatwa
Islam, no. 126316).
Allahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^