“Sendiri dalam ketakwaan itu lebih
baik daripada bersama dalam kemaksiatan. Karena sesungguhnya kita tak pernah
benar-benar sendiri, selalu ada Allah yang menemani.”
Kata-kata di atas itu semoga menjadi pengingat ketika kita
lupa. Lupa karena hati gersang, iman sedang turun atau bahkan tergoda untuk
berpasangan dalam kemaksiatan.
Hidup ‘sendiri’ memang sungguh tidak nyaman. Sendiri di sini
maksudnya belum memunyai pasangan yang sah, belahan jiwa yang akan mendampingi
diri meraih ridho-Nya. Tak ada teman untuk berbagi, berkeluh-kesah, curhat,
atau ‘sekadar’ teman ngobrol. Ada kerinduan yang kadangkala hadir tanpa
diundang. Apalagi bila melihat teman-teman menggandeng suaminya atau bahkan
menggendong buah hati dalam dekapan. Hati perempuan mana yang tak merasakan
fitrah untuk berada pada posisi yang sama.
Wajar. Karena naluri untuk mencintai baik kepada pasangan
ataupun anak keturunan itu sudah ‘built in’ alias anugrah dari Sang Mahacinta.
Sehingga serapat apapun kita menyimpannya, tak sepeduli apapun kita untuk
memikirkannya, ketukan itu nyata ada. Padahal di saat yang sama, Allah masih
menyimpan ‘dia’ yang akan menjadi pasangan hidup kita. Allah bukan sedang
membenci atau menghukum kita, hanya karena belahan jiwa belum ada. Sebaliknya,
Allah sedang menempa kualitas diri kita, sejauh mana bisa tetap bersabar dan
bersyukur disaat hati seolah-olah sempit. Bukankah Allah sesuai persangkaan
hamba-Nya?
²Allah bukan sedang membenci atau
menghukum kita, hanya karena belahan jiwa belum ada. Sebaliknya, Allah sedang
menempa kualitas diri kita, sejauh mana bisa tetap bersabar dan bersyukur
disaat hati seolah-olah sempit. Bukankah Allah sesuai persangkaan hamba-Nya?²
Dititik inilah, kondisi hati paling rawan untuk berpaling.
Ya... berpaling dari ketakwaan yang selama ini digenggam. Muncul anggapan
seolah-olah jodoh itu jauh karena kita tak mengikuti trend kebanyakan.
Pacaran, tabarruj (berhias untuk non-mahrom), ber-khalwat (berduaan dengan
lawan jenis non-mahrom) dan ber-ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan
perempuan tanpa alasan yang syar’i) mulai dijadikan ajang coba-coba.
Telah banyak kisah nyata yang mengabarkan bahwa si A, yang
dulu berhijab dengan baik sekarang mulai berubah. Sedikit demi sedikit,
hijabnya berubah bentuk hingga akhirnya ditanggalkan sama sekali. Naudzubillah.
Lelah hatinya menunggu. Imannya tergerus oleh kegelisahan akan rindunya pada
pernikahan, yang tak kunjung datang. Akhirnya ia pun ‘menggugat’ Allah. Ia tak
lagi mau taat pada-Nya karena toh ‘sekadar’ suami saja ia beranggapan Allah tak
mengabulkannya. Astaghfirullah.
Ujian manusia itu bisa beragam warna. Ibarat sekolah, mustahil
tak ada ujian untuk menentukan kualitas dan pemahaman peserta didik. Dan
kehidupan ini adalah madrasah terbesar manusia untuk menghadapi jenis ujian,
apapun itu bentuknya. Ada yang diuji masalah jodoh yang tak kunjung datang. Ada
juga yang diuji sudah ada jodoh tapi tak sesuai harapan. Yang lainnya lagi,
diuji anak yang sangat membangkang atau orang tua yang selalu turut campur
urusan rumah tangga anaknya. Bisa jadi masalah ekonomi datang menghantam,
dipecat tanpa pesangon dengan tiba-tiba. Atau mungkin saja, penyakit yang tak
sembuh-sembuh bahkan nyawa pun harus kembali pada-Nya dengan cepat.
Inilah hidup. Toh tak semua melulu berbentuk kesedihan. Ia
datang silih berganti dengan kebahagiaan. Mungkin ada yang belum menemukan
belahan jiwa, tapi ia berprestasi di kuliah. Belum bisa menikah dengan segera,
tapi Allah menganugerahinya keluarga besar yang selalu harmonis. Masih merindu
sosok imam yang akan menuntunnya ke surga, ia masih bisa menumpahkan rindu itu
dipertiga malam dengan tahajudnya. Ia masih bisa berbuat banyak untuk umat
disegala bidang yang ia bisa.
²Bersabar itu memang tak berbatas. Bila
ia mempunyai batas, maka bukan bersabar lagi namanya. Begitu juga dengan
penantian ini, ia harus dibekali dengan kesabaran yang luar biasa. ²
Bersabar itu memang tak berbatas. Bila ia memunyai batas, maka
bukan bersabar lagi namanya. Begitu juga dengan penantian ini, ia harus
dibekali dengan kesabaran yang luar biasa. Bila merasa kesabaran itu sudah
mulai menipis, maka harus segera di-recharge. HP saja bisa lowbat kalau
dipakai terus-menerus, apalagi ini kualitas iman. Maka benarlah kalau tombo ati
(penawar hati) itu ada 5: baca Quran dan maknanya, lakukan salat malam,
berkumpul dengan orang-orang salih, perbanyak puasa dan dzikir di kala malam.
Sungguh, rasakan manisnya iman saat kita berada dalam
kesempitan. Meskipun ketika berada dalam kelapangan, manisnya iman itu
seharusnya juga tetap ada. Tak perlu tergoda rayuan duniawi, dengan cara
berpacaran atau menanggalkan rasa malu sebagai ciri khas muslimah. Apalagi
sampai menanggalkan keimanan hanya karena pasangan, naudzubillah. Toh, tak ada
yang kekal di dunia ini. Begitu juga nikmat dan bahagianya pernikahan, selalu
ada pasang surutnya.
Sembari bersabar menunggu belahan jiwa datang, mengapa tak
fokus untuk mempelajari dinullah ini? Semakin kita paham Islam dengan baik dan
benar, semakin kuat pula kita memegang tali agama Allah. Dan semakin kuat
memegang tali agama Allah, semakin terasa ‘ringan dan kecil’ penantian ini,
insya Allah. Rasakan indahnya ‘kesendirian’ ini karena sesungguhnya kita tak
pernah benar-benar sendiri. Ada Allah dengan segenap cinta-Nya yang terus
menemani bahkan tanpa kita sadari.
Wallahu alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^