Sabtu, 13 September 2014

Kala Hati Merindu Belahan Jiwa

“Sendiri dalam ketakwaan itu lebih baik daripada bersama dalam kemaksiatan. Karena sesungguhnya kita tak pernah benar-benar sendiri, selalu ada Allah yang menemani.”


Kata-kata di atas itu semoga menjadi pengingat ketika kita lupa. Lupa karena hati gersang, iman sedang turun atau bahkan tergoda untuk berpasangan dalam kemaksiatan.
Hidup ‘sendiri’ memang sungguh tidak nyaman. Sendiri di sini maksudnya belum memunyai pasangan yang sah, belahan jiwa yang akan mendampingi diri meraih ridho-Nya. Tak ada teman untuk berbagi, berkeluh-kesah, curhat, atau ‘sekadar’ teman ngobrol. Ada kerinduan yang kadangkala hadir tanpa diundang. Apalagi bila melihat teman-teman menggandeng suaminya atau bahkan menggendong buah hati dalam dekapan. Hati perempuan mana yang tak merasakan fitrah untuk berada pada posisi yang sama.

Wajar. Karena naluri untuk mencintai baik kepada pasangan ataupun anak keturunan itu sudah ‘built in’ alias anugrah dari Sang Mahacinta. Sehingga serapat apapun kita menyimpannya, tak sepeduli apapun kita untuk memikirkannya, ketukan itu nyata ada. Padahal di saat yang sama, Allah masih menyimpan ‘dia’ yang akan menjadi pasangan hidup kita. Allah bukan sedang membenci atau menghukum kita, hanya karena belahan jiwa belum ada. Sebaliknya, Allah sedang menempa kualitas diri kita, sejauh mana bisa tetap bersabar dan bersyukur disaat hati seolah-olah sempit. Bukankah Allah sesuai persangkaan hamba-Nya?


²Allah bukan sedang membenci atau menghukum kita, hanya karena belahan jiwa belum ada. Sebaliknya, Allah sedang menempa kualitas diri kita, sejauh mana bisa tetap bersabar dan bersyukur disaat hati seolah-olah sempit. Bukankah Allah sesuai persangkaan hamba-Nya?²


Dititik inilah, kondisi hati paling rawan untuk berpaling. Ya... berpaling dari ketakwaan yang selama ini digenggam. Muncul anggapan seolah-olah jodoh itu jauh karena kita tak mengikuti trend kebanyakan. Pacaran, tabarruj (berhias untuk non-mahrom), ber-khalwat (berduaan dengan lawan jenis non-mahrom) dan ber-ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa alasan yang syar’i) mulai dijadikan ajang coba-coba.

Telah banyak kisah nyata yang mengabarkan bahwa si A, yang dulu berhijab dengan baik sekarang mulai berubah. Sedikit demi sedikit, hijabnya berubah bentuk hingga akhirnya ditanggalkan sama sekali. Naudzubillah. Lelah hatinya menunggu. Imannya tergerus oleh kegelisahan akan rindunya pada pernikahan, yang tak kunjung datang. Akhirnya ia pun ‘menggugat’ Allah. Ia tak lagi mau taat pada-Nya karena toh ‘sekadar’ suami saja ia beranggapan Allah tak mengabulkannya. Astaghfirullah.


Ujian manusia itu bisa beragam warna. Ibarat sekolah, mustahil tak ada ujian untuk menentukan kualitas dan pemahaman peserta didik. Dan kehidupan ini adalah madrasah terbesar manusia untuk menghadapi jenis ujian, apapun itu bentuknya. Ada yang diuji masalah jodoh yang tak kunjung datang. Ada juga yang diuji sudah ada jodoh tapi tak sesuai harapan. Yang lainnya lagi, diuji anak yang sangat membangkang atau orang tua yang selalu turut campur urusan rumah tangga anaknya. Bisa jadi masalah ekonomi datang menghantam, dipecat tanpa pesangon dengan tiba-tiba. Atau mungkin saja, penyakit yang tak sembuh-sembuh bahkan nyawa pun harus kembali pada-Nya dengan cepat.

Inilah hidup. Toh tak semua melulu berbentuk kesedihan. Ia datang silih berganti dengan kebahagiaan. Mungkin ada yang belum menemukan belahan jiwa, tapi ia berprestasi di kuliah. Belum bisa menikah dengan segera, tapi Allah menganugerahinya keluarga besar yang selalu harmonis. Masih merindu sosok imam yang akan menuntunnya ke surga, ia masih bisa menumpahkan rindu itu dipertiga malam dengan tahajudnya. Ia masih bisa berbuat banyak untuk umat disegala bidang yang ia bisa.


²Bersabar itu memang tak berbatas. Bila ia mempunyai batas, maka bukan bersabar lagi namanya. Begitu juga dengan penantian ini, ia harus dibekali dengan kesabaran yang luar biasa.²


Bersabar itu memang tak berbatas. Bila ia memunyai batas, maka bukan bersabar lagi namanya. Begitu juga dengan penantian ini, ia harus dibekali dengan kesabaran yang luar biasa. Bila merasa kesabaran itu sudah mulai menipis, maka harus segera di-recharge. HP saja bisa lowbat kalau dipakai terus-menerus, apalagi ini kualitas iman. Maka benarlah kalau tombo ati (penawar hati) itu ada 5: baca Quran dan maknanya, lakukan salat malam, berkumpul dengan orang-orang salih, perbanyak puasa dan dzikir di kala malam.

Sungguh, rasakan manisnya iman saat kita berada dalam kesempitan. Meskipun ketika berada dalam kelapangan, manisnya iman itu seharusnya juga tetap ada. Tak perlu tergoda rayuan duniawi, dengan cara berpacaran atau menanggalkan rasa malu sebagai ciri khas muslimah. Apalagi sampai menanggalkan keimanan hanya karena pasangan, naudzubillah. Toh, tak ada yang kekal di dunia ini. Begitu juga nikmat dan bahagianya pernikahan, selalu ada pasang surutnya.


Sembari bersabar menunggu belahan jiwa datang, mengapa tak fokus untuk mempelajari dinullah ini? Semakin kita paham Islam dengan baik dan benar, semakin kuat pula kita memegang tali agama Allah. Dan semakin kuat memegang tali agama Allah, semakin terasa ‘ringan dan kecil’ penantian ini, insya Allah. Rasakan indahnya ‘kesendirian’ ini karena sesungguhnya kita tak pernah benar-benar sendiri. Ada Allah dengan segenap cinta-Nya yang terus menemani bahkan tanpa kita sadari.

Wallahu alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^

Sabtu, 13 September 2014

Kala Hati Merindu Belahan Jiwa

“Sendiri dalam ketakwaan itu lebih baik daripada bersama dalam kemaksiatan. Karena sesungguhnya kita tak pernah benar-benar sendiri, selalu ada Allah yang menemani.”


Kata-kata di atas itu semoga menjadi pengingat ketika kita lupa. Lupa karena hati gersang, iman sedang turun atau bahkan tergoda untuk berpasangan dalam kemaksiatan.
Hidup ‘sendiri’ memang sungguh tidak nyaman. Sendiri di sini maksudnya belum memunyai pasangan yang sah, belahan jiwa yang akan mendampingi diri meraih ridho-Nya. Tak ada teman untuk berbagi, berkeluh-kesah, curhat, atau ‘sekadar’ teman ngobrol. Ada kerinduan yang kadangkala hadir tanpa diundang. Apalagi bila melihat teman-teman menggandeng suaminya atau bahkan menggendong buah hati dalam dekapan. Hati perempuan mana yang tak merasakan fitrah untuk berada pada posisi yang sama.

Wajar. Karena naluri untuk mencintai baik kepada pasangan ataupun anak keturunan itu sudah ‘built in’ alias anugrah dari Sang Mahacinta. Sehingga serapat apapun kita menyimpannya, tak sepeduli apapun kita untuk memikirkannya, ketukan itu nyata ada. Padahal di saat yang sama, Allah masih menyimpan ‘dia’ yang akan menjadi pasangan hidup kita. Allah bukan sedang membenci atau menghukum kita, hanya karena belahan jiwa belum ada. Sebaliknya, Allah sedang menempa kualitas diri kita, sejauh mana bisa tetap bersabar dan bersyukur disaat hati seolah-olah sempit. Bukankah Allah sesuai persangkaan hamba-Nya?


²Allah bukan sedang membenci atau menghukum kita, hanya karena belahan jiwa belum ada. Sebaliknya, Allah sedang menempa kualitas diri kita, sejauh mana bisa tetap bersabar dan bersyukur disaat hati seolah-olah sempit. Bukankah Allah sesuai persangkaan hamba-Nya?²


Dititik inilah, kondisi hati paling rawan untuk berpaling. Ya... berpaling dari ketakwaan yang selama ini digenggam. Muncul anggapan seolah-olah jodoh itu jauh karena kita tak mengikuti trend kebanyakan. Pacaran, tabarruj (berhias untuk non-mahrom), ber-khalwat (berduaan dengan lawan jenis non-mahrom) dan ber-ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa alasan yang syar’i) mulai dijadikan ajang coba-coba.

Telah banyak kisah nyata yang mengabarkan bahwa si A, yang dulu berhijab dengan baik sekarang mulai berubah. Sedikit demi sedikit, hijabnya berubah bentuk hingga akhirnya ditanggalkan sama sekali. Naudzubillah. Lelah hatinya menunggu. Imannya tergerus oleh kegelisahan akan rindunya pada pernikahan, yang tak kunjung datang. Akhirnya ia pun ‘menggugat’ Allah. Ia tak lagi mau taat pada-Nya karena toh ‘sekadar’ suami saja ia beranggapan Allah tak mengabulkannya. Astaghfirullah.


Ujian manusia itu bisa beragam warna. Ibarat sekolah, mustahil tak ada ujian untuk menentukan kualitas dan pemahaman peserta didik. Dan kehidupan ini adalah madrasah terbesar manusia untuk menghadapi jenis ujian, apapun itu bentuknya. Ada yang diuji masalah jodoh yang tak kunjung datang. Ada juga yang diuji sudah ada jodoh tapi tak sesuai harapan. Yang lainnya lagi, diuji anak yang sangat membangkang atau orang tua yang selalu turut campur urusan rumah tangga anaknya. Bisa jadi masalah ekonomi datang menghantam, dipecat tanpa pesangon dengan tiba-tiba. Atau mungkin saja, penyakit yang tak sembuh-sembuh bahkan nyawa pun harus kembali pada-Nya dengan cepat.

Inilah hidup. Toh tak semua melulu berbentuk kesedihan. Ia datang silih berganti dengan kebahagiaan. Mungkin ada yang belum menemukan belahan jiwa, tapi ia berprestasi di kuliah. Belum bisa menikah dengan segera, tapi Allah menganugerahinya keluarga besar yang selalu harmonis. Masih merindu sosok imam yang akan menuntunnya ke surga, ia masih bisa menumpahkan rindu itu dipertiga malam dengan tahajudnya. Ia masih bisa berbuat banyak untuk umat disegala bidang yang ia bisa.


²Bersabar itu memang tak berbatas. Bila ia mempunyai batas, maka bukan bersabar lagi namanya. Begitu juga dengan penantian ini, ia harus dibekali dengan kesabaran yang luar biasa.²


Bersabar itu memang tak berbatas. Bila ia memunyai batas, maka bukan bersabar lagi namanya. Begitu juga dengan penantian ini, ia harus dibekali dengan kesabaran yang luar biasa. Bila merasa kesabaran itu sudah mulai menipis, maka harus segera di-recharge. HP saja bisa lowbat kalau dipakai terus-menerus, apalagi ini kualitas iman. Maka benarlah kalau tombo ati (penawar hati) itu ada 5: baca Quran dan maknanya, lakukan salat malam, berkumpul dengan orang-orang salih, perbanyak puasa dan dzikir di kala malam.

Sungguh, rasakan manisnya iman saat kita berada dalam kesempitan. Meskipun ketika berada dalam kelapangan, manisnya iman itu seharusnya juga tetap ada. Tak perlu tergoda rayuan duniawi, dengan cara berpacaran atau menanggalkan rasa malu sebagai ciri khas muslimah. Apalagi sampai menanggalkan keimanan hanya karena pasangan, naudzubillah. Toh, tak ada yang kekal di dunia ini. Begitu juga nikmat dan bahagianya pernikahan, selalu ada pasang surutnya.


Sembari bersabar menunggu belahan jiwa datang, mengapa tak fokus untuk mempelajari dinullah ini? Semakin kita paham Islam dengan baik dan benar, semakin kuat pula kita memegang tali agama Allah. Dan semakin kuat memegang tali agama Allah, semakin terasa ‘ringan dan kecil’ penantian ini, insya Allah. Rasakan indahnya ‘kesendirian’ ini karena sesungguhnya kita tak pernah benar-benar sendiri. Ada Allah dengan segenap cinta-Nya yang terus menemani bahkan tanpa kita sadari.

Wallahu alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^