Kadang kita
-sebagai suami- merasa lelah, capek sehingga banyak mengeluh. Pergi begitu
pagi, pulang pun ketika matahari akan tenggelam, rasa lelah yang kita dapat.
Kegiatan mencari nafkah sebenarnya suatu amalan yang mulia yang patut diniatkan
dengan ikhlas sehingga bisa meraih pahala. Karena keutamaannya amat luar biasa,
pahalanya yang besar, bahkan bisa sebagai tameng dari jilatan neraka.
Sebelum kita
memahami keutamaan mencari nafkah, terlebih dahulu kita melihat bagaimanakah
Islam mengajarkan prioritas dalam penyaluran harta atau penghasilan suami.
Prioritas
dalam Pengeluaran Harta
Dari
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لاَ
حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى
هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى
بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak
boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah
anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang
Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan
mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)
Ketika
menjelaskan hadits di atas, Ibnu Battol rahimahullah menjelaskan:
Sebagian
ulama menyebutkan bahwa pengeluaran harta dalam kebaikan dibagi menjadi tiga:
1. Pengeluaran untuk
kepentingan pribadi, keluarga dan orang yang wajib dinafkahi dengan bersikap
sederhana, tidak bersifat pelit dan boros.
Nafkah seperti ini lebih afdhol dari sedekah biasa dan bentuk
pengeluaran harata lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah
(harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat
nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun
makanan yang kamu berikan kepada istrimu” (HR. Bukhari).
2. Penunaian zakat dan hak
Allah. Ada ulama yang menyatakan bahwa siapa saja yang menunaikan zakat, maka
telah terlepas darinya sifat pelit.
3. Sedekah tathowwu’ (sunnah)
seperti nafkah untuk menyambung hubungan dengan kerabat yang jauh dan teman
dekat, termasuk pula member makan pada mereka yang kelaparan.
Setelah
merinci demikian, Ibnu Battol lantas menjelaskan, “Barangsiapa yang menyalurkan
harta untuk tiga jalan di atas, maka ia berarti tidak menyia-nyiakan harta dan
telah menyalurkannya tepat sasaran, juga boleh orang seperti ini didengki
(bersaing dengannya dalam hal kebaikan).” (Lihat Syarh Bukhari, Ibnu Battol, 5:
454, Asy Syamilah).
Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah
menjelaskan, “Sebagian orang tatkala bersedekah untuk fakir miskin atau yang
lainnya maka mereka merasa bahwa mereka telah mengamalkan amalan yang mulia dan
menganggap sedekah yang mereka keluarkan itu sangat berarti. Adapun tatkala mengeluarkan
harta mereka untuk memberi nafkah kepada keluarganya maka seakan-akan perbuatan
mereka itu kurang berarti, padahal memberi nafkah kepada keluarga hukumnya
wajib dan bersedekah kepada fakir miskin hukumnya sunnah. Dan Allah lebih
mencintai amalan wajib daripada amalan sunnah.” (Sebagaimana penjelasan beliau
dalam Riyadhus Shalihiin)
Penjelasan
di atas menunjukkan bahwa mesti ada prioritas dalam penyaluran harta. Yang
utama sekali adalah pada istri, anak, lebih lagi pada anak perempuan
sebagaimana diterangkan dalam keutamaan mencari nafkah berikut ini. Setelah
kewajiban pada keluarga, barulah harta tersebut disalurkan pada zakat dan
sedekah sunnah.
Mengenai
keutamaan mencari nafkah di antaranya dijabarkan dalam enam poin berikut ini.
Pertama: Nafkah kepada keluarga
lebih afdhol dari sedekah tathowwu’ (sunnah)
Dari Abu
Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى
سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ
بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا
الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Satu
dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau
keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang
engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang
engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan
kebaikan yang disebutkan tadi, pen)” (HR. Muslim no. 995).
Imam Nawawi
membuat judul untuk hadits ini, “Keutamaan nafkah bagi keluarga dan hamba
sahaya, serta dosa bagi orang yang melalaikan dan menahan nafkahnya untuk
mereka”. Dalam Syarh Muslim (7: 82), Imam Nawawi mengatakan, “Nafkah kepada
keluarga itu lebih afdhol dari sedekah yang hukumnya sunnah”.
Kedua: Jika mencari nafkah
dengan ikhlas, akan menuai pahala besar
Dari Sa’ad
bin Abi Waqqosh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ
نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا
تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sungguh
tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan
(melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan
ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada
istrimu.” (HR. Bukhari no. 56). Imam Al Bukhari memasukkan hadits ini pada
masalah ‘setiap amalan tergantung pada niat’. Ini menunjukkan bahwa mencari nafkah bisa
menuai pahala jika diniatkan dengan ikhlas untuk meraih wajah Allah. Namun jika
itu hanya aktivitas harian semata, atau yakin itu hanya sekedar kewajiban
suami, belum tentu berbuah pahala.
Ketiga: Memberi nafkah termasuk
sedekah
Dari Al Miqdam
bin Ma’dikarib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ
فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا
أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ
لَكَ صَدَقَةٌ
“Harta
yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu.
Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah.
Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah
untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk
sedekah” (HR. Ahmad 4: 131. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini hasan).
Keempat: Harta yang dinafkahi
semakin barokah dan akan diberi ganti
Dari Abu
Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ
الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ
أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفً
“Tidaklah
para hamba berpagi hari di dalamnya melainkan ada dua malaikat yang turun,
salah satunya berkata, “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang senang
berinfak.” Yang lain mengatakan, “Ya Allah, berilah kebangkrutan kepada orang
yang pelit.” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010). Seseorang yang
memberi nafkah untuk keluarganya termasuk berinfak sehingga termasuk dalam
keutamaan hadits ini.
Kelima: Setiap orang akan
dimintai pertanggungjawaban apakah ia benar memperhatikan nafkah untuk
keluarganya
Dari Anas
bin Malik, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ سَائِلٌ كُلَّ
رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ
“Allah
akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin” (HR. Tirmidzi
no. 1705. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam
riwayat Ibnu Hibban disebutkan,
إن الله سائل كل راع عما
استرعاه : أحفظ أم ضيع
“Allah
akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin, apakah ia
memperhatikan atau melalaikannya” (HR. Ibnu Hibban 10: 344. Syaikh Syu’aib
Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits inishahih).
Keenam: Memperhatikan nafkah
keluarga akan mendapat penghalang dari siksa neraka
‘Adi bin
Hatim berkata,
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ
بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Selamatkanlah
diri kalian dari neraka walau hanya melalui sedekah dengan sebelah kurma”
(HR. Bukhari no. 1417)
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata,
دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا
ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ
فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ
مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ
“Ada seorang
ibu bersama dua putrinya menemuiku meminta makanan, akan tetapi ia tidak
mendapati sedikit makanan pun yang ada padaku kecuali sebutir kurma. Maka aku pun
memberikan kurma tersebut kepadanya, lalu ia membagi sebutir kurma tersebut
untuk kedua putrinya, dan ia tidak makan kurma itu sedikit pun. Setelah itu ibu
itu berdiri dan pergi keluar. Lalu masuklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka aku pun mengabarkannya tentang ini, lantas beliau bersabda,
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ
الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa
yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada
mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka” (HR.
Bukhari no 1418 dan Muslim no 2629).
Ummu
Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَنْفَقَ عَلَى ابْنَتَيْنِ أَوْ أُخْتَيْنِ أَوْ ذَوَاتَىْ قَرَابَةٍ يَحْتَسِبُ النَّفَقَةَ عَلَيْهِمَا حَتَّى يُغْنِيَهُمَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ أَوْ يَكْفِيَهُمَا كَانَتَا لَهُ سِتْراً مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa
mengeluarkan hartanya untuk keperluan kedua anak perempuannya, kedua saudara
perempuannya atau kepada dua orang kerabat perempuannya dengan mengharap pahala
dari Allah, lalu Allah mencukupi mereka dengan karunianya, maka amalan tersebut
akan membentengi dirinya dari neraka” (HR. Ahmad 6: 293. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if)
Dua hadits
terakhir ini menerangkan keutamaan memberi nafkah pada anak perempuan karena
mereka berbeda dengan anak laki-laki yang bisa mencari nafkah, sedangkan
perempuan asalnya di rumah.
Ya Allah,
berikanlah kami taufik untuk mencari nafkah dengan ikhlas dan cara yang halal
sehingga kami pun terbebas dari siksa neraka dan dimasukkan dalam surga.
֎֎֎