Melanjutkan
pelajaran terdahulu mengenai kewajiban suami, saat ini akan dikupas
mengenai beberapa sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang suami. Seperti
lemah lembut, perhatian dan meluangkan waktu untuk bercanda dengan istri
tercinta. Sifat-sifat ini telah diajarkan oleh suri tauladan kita, Nabi
Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam. Sudah sepatutnya pun kita selaku
seorang suami meneladani dan mempraktekannya.
Ketiga: Meluangkan waktu untuk bercanda dengan istri tercinta
Inilah yang
dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ
عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ «
هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ ».
Ia pernah
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar.
‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari
lagi bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia
kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6:
264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyempatkan diri
untuk bermain dan bersenda gurau dengan istrinya tercinta.
Dari Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata,
رَأَيْتُ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ
“Aku
melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutup-nutupi pandanganku dengan
pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang
bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya,
sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda” (HR.
Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892). Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bercanda sambil menutup-nutupi pandangan istrinya
yang ingin memandang seorang pemuda. Lihatlah candaan beliau dan senda gurau
kepada istrinya tercinta! Sebagai suami pernahkah kita seperti itu?
Keempat: Menyempatkan waktu untuk mendengar curhatan istri
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa duduk dan menyimak curhatan dan cerita
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sampai pun kisah itu panjang. Di antara
cerita ‘Aisyah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan
dalam hadits yang lumayan panjang berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَلَسَ
إِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً فَتَعَاهَدْنَ وَتَعَاقَدْنَ أَنْ لاَ يَكْتُمْنَ مِنْ
أَخْبَارِ أَزْوَاجِهِنَّ شَيْئًا
Sebelas
orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan bersepakat untuk tidak
menyembunyikan sedikit pun cerita tentang suami mereka.
قَالَتِ الأُوْلَى زَوْجِي
لَحْمُ جَمَلٍ غَثٍّ عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ لاَ سَهْلَ فَيُرْتَقَى وَلاَ سَمِيْنَ
فَيُنْتَقَلُ
Wanita
pertama berkisah,
“Sesungguhnya suamiku adalah daging unta yang kurus yang berada di atas puncak
gunung yang tanahnya berlumpur yang tidak mudah untuk didaki dan dagingnya
juga tidak gemuk untuk diambil.
[Maksud
perkataan di atas: Si wanita memisalkan suaminya dengan daging yang kurus,
sedikit dagingnya. Lalu daging tersebut diletakkan di atas gunung yang terjal
yang sulit didaki. Daging unta berbeda dengan daging domba atau kambing yang
terasa lebih enak. Artinya, si istri ingin menyatakan sulitnya bergaul dengan
suaminya. Ia tidak mengerti bagaimana cara yang baik untuk berbicara dengan
suaminya karena suaminya buruk perangainya. Sudah dengan usaha keras, si istri
ingin berhubungan baik dengan suaminya, ia tidak bisa meraih dan
bersenang-senang dengannya.]
قَالَتْ الثَانِيَةُ زَوْجِي
لاَ أَبُثُّ خَبَرَهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ لاَ أَذَرَهُ إِنْ أَذْكُرْهُ أَذْكُرْ
عُجَرَهُ وَبُجَرَهُ
Wanita
kedua berkisah,
“Mengenai suamiku, aku tidak akan menceritakannya karena jika aku berkisah
tentangnya aku khawatir aku (tidak mampu) meninggalkannya. Jika aku menyebutkan
tentangnya maka aku akan menyebutkan urat-uratnya yang muncul di tubuhnya dan
juga perutnya”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia mengisyaratkan bahwa suaminya itu penuh dengan ‘aib. Jika
diceritakan, ia khawatir tidak akan ada ujungnya kisah tentang suaminya karena
saking banyaknya ‘aib suaminya. Jika aibnya disebut maka akan nampak aib luar
seperti urat di badan dan dalam tubuhnya seperti urat di perut. Ada pula yang
menafsirkan, jika si istri menceritakan aib suaminya, maka ia khawatir akan
berpisah darinya. Karena jika sampai ketahuan, suaminya akan menceraikannya dan
ia khawatir karena masih ada anak dan hubungan dengan suaminya.]
قَالَتْ الثَّالِثَةُ زَوْجِي
الْعَشَنَّقُ إِنْ أَنْطِقْ أُطَلَّقْ وَإِنْ أَسْكُتْ أُعَلَّقْ
Wanita
ketiga berkisah,
“Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka
aku akan tergantung”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia memaksudkan suaminya adalah suami yang berperangai buruk
atau ada yang mengatakan bahwa suaminya itu egois (mementingkan diri sendiri).
Ia mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya maka sang suami langsung
menceraikannya. Namun jika ia berdiam diri maka ia akan tersiksa karena seperti
wanita yang tidak bersuami padahal ia bersuami.]
قَالَتِ الرَّابِعَةُ زَوْجِي
كَلَيْلِ تِهَامَةَ لاَ حَرَّ وَلاَ قَرَّ وَلاَ مَخَافَةَ وَلاَ سَآمَةَ
Wanita
keempat berkisah,
“Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tidak ada
ketakutan dan tidak ada rasa bosan”.
[Maksud
perkataan di atas: Tihamah adalah suatu daerah yang ma’ruf. Malam di sana
seimbang (tidak panas dan tidak dingin), cuacanya bagus dan bersahabat. Jadi si
wanita menyifati suaminya yang pelembut dan berperangai baik. Si wanita selalu
tentram, tidak penuh kekhawatiran ketika berada di sisi suaminya. Suaminya
tidak ada rasa bosan dengannya. Istrinya merasakan keadaannya di sisi suaminya
seperti keadaan penduduk Tihamah, suaminya menikmati hubungan dengannya seperti
kenikmatan di Tihamah yang tidak panas dan tidak dingin serta dalam cuaca yang
bersahabat.]
قَالَتِ الْخَامِسَةُ زَوْجِي
إِنْ دَخَلَ فَهِدَ وَإِنْ خَرَجَ أَسِدَ وَلاَ يَسْأَلُ عَمَّا عَهِدَ
Wanita
kelima berkisah,
“Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka seperti singa dan
tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya (yang didapatinya)”.
[Maksud
perkataan di atas: Cerita si wanita bisa jadi sebuah pujian, bisa jadi suatu
celaan. Apabila yang dimaksud adalah pujian, maka ada beberapa tafsiran.
Tafsiran pertama, suaminya disifatkan seperti macan karena biasa menundukkan
dan menjima’ istrinya. Aritnya, istrinya begitu disayangi sampai si suami tidak
kuat tatkala memandangnya. Jika keluar dari rumah, ia adalah seorang yang gagah
seperti singa. Jika datang, ia biasa membawa makanan, minuman dan pakaian,
jangan ditanya di mana ia memperolehnya. Tafsiran kedua, masih sebagai pujian.
Jika ia memasuki rumah, seperti macan, yaitu ia tidak pernah mengomentari apa
yang terjadi di rumah, adakah yang cacat, dan tidak banyak komentar. Jika ia
keluar dari rumah, ia begitu perkasa seperti singa. Ia tidak banyak bertanya
apa yang terjadi. Maksudnya adalah si suami begitu bergaul dengan istri
meskipun ia melihat kekurangan yang nampak pada istrinya.
Adapun jika
maksud perkataan si wanita adalah celaan, dapat ditafsirkan ia mensifati
suaminya ketika suaminya masuk ke dalam rumah seperti macan, yaitu bersikap
kasar, tidak ada muqoddimah atau ancang-ancang sebelum hubungan intim. Juga ia
memaksudkan bahwa suaminya memiliki perangai buruk, sering menyiksa dan
memukulnya tanpa bertanya padanya. Jika suaminya keluar dan istrinya dalam
keadaan sakit lalu ia kembali, tidak ada perhatiannya padanya dan
anak-anaknya.]
قَالَتِ السَّادِسَةُ زَوْجِي
إِنْ أَكَلَ لَفَّ وَإِنْ شَرِبَ اشْتَفَّ وَإِنِ اضْطَجَعَ الْتَفَّ وَلاَ
يُوْلِجُ الْكَفَّ لِيَعْلَمَ الْبَثَّ
Wanita
keenam berkisah,
“Suamiku jika makan maka banyak menunya dan tidak ada sisanya, jika minum maka
tidak tersisa, jika berbaring maka tidur sendiri sambil berselimutan, dan tidak
mengulurkan tangannya untuk mengetahui kondisiku yang sedih”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia mensifati suaminya yang biasa menyantap makanan apa saja
dan banyak minum. Jika ia tidur, ia sering menjauh dari istrinya dan tidur
sendirian. Ia pun tidak berusaha mengetahui keadaan istrinya yang sedih.
Intinya, ia menyifati suaminya dengan banyak makan dan minum, serta sedikit
jima’ (berhubungan intim). Ini menunjukkan celaan.]
قَالَتِ السَّابِعَةُ زَوْجِي
غَيَايَاءُ أَوْ عَيَايَاءُ طَبَاقَاءُ كُلُّ دَاءٍ لَهُ دَاءٌ شَجَّكِ أَوْ
فَلَّكِ أَوْ جَمَعَ كُلاًّ لَكِ
Wanita
ketujuh berkisah,
“Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak, semua penyakit (aib) dia miliki, dia
melukai kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan seluruhnya untukmu”.
[Maksud
perkataan di atas: Ia menjelaskan bahwa suaminya tidak kuat berhubungan intim
dengan istrinya. Jika ia berbicara, ia biasa menyakiti kepala. Jika ia
berhubungan intim, ia biasa memukul kepala dan melukai jasad.]
قَالَتِ الثَّامِنَةُ زَوْجِي
الْمَسُّ مَسُّ أَرْنَبَ وَالرِّيْحُ رِيْحُ زَرْنَبَ
Wanita
kedelapan berkisah,
“Suamiku sentuhannya seperti sentuhan kelinci dan baunya seperti bau zarnab
(tumbuhan yang baunya harum)”.
[Maksud
perkataan di atas: Suaminya selalu bersikap lemah lembut dan bersikap baik pada
istrinya.]
قَالَتِ التَّاسِعَةُ زَوْجِي
رَفِيْعُ الْعِمَادِ طَوِيْلُ النِّجَادِ عَظِيْمُ الرَّمَادِ قَرِيْبُ الْبَيْتِ
مِنَ النَادِ
Wanita
kesembilan berkisah,
“Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang sarung pedangnya, banyak abunya, dan
rumahnya dekat dengan bangsal (tempat pertemuan)”.
[Maksud
perkataan di atas: Suaminya itu termasuk orang terpandang, banyak tamu yang
mengunjunginya sehingga ia pun biasa menyembelih hewan untuk menyambut tamunya.
Ia pun dianggap mulia oleh keluarganya. Suamiya pun biasa didatangi oleh
orang-orang yang ingin curhat berbagai masalah dan persoalan mereka. Ia
terkenal dengan sifatnya yang mulia, orang yang terpandangan, berakhlak mulia
dan memiliki pergaulan yang baik dengan sesama]
قَالَتِ الْعَاشِرَةُ زَوْجِي
مَالِكٌ وَمَا مَالِكٌ؟ مَاِلكُ خَيْر مِنْ ذَلِكَ لَهُ إِبِلٌ كَثِيْرَاتُ
الْمَبَارِكِ قَلِيْلاَتُ الْمَسَارِحِ، وَإِذَا سَمِعْنَ صَوْتَ الْمُزْهِرِ
أَيْقَنَّ أَنَهُنَّ هَوَالِكُ
Wanita
kesepuluh berkisah,
“Suamiku (namanya) adalah Malik, dan siapakah gerangan si Malik?
Malik adalah lebih baik dari pujian yang disebutkan tentangnya. Ia
memiliki unta yang banyak kandangnya dan sedikit tempat gembalanya, dan jika
unta-unta tersebut mendengar kayu dari tukang jagal maka unta-unta tersebut
yakin bahwa mereka akan disembelih.”
[Maksud
perkataan di atas: Suaminya memiliki banyak unta sebagai persiapan untuk
menyambut tamu. Artinya, suaminya memiliki akhlak mulia, ia sering memuliakan
para tamu dengan pemuliaan yang luar biasa].
قَالَتِ الْحَادِيَةَ عَشْرَةَ
زَوْجِي أَبُوْ زَرْعٍ فَمَا أَبُوْ زَرْعٍ؟ أَنَاسَ مِنْ حُلِيٍّ أُذُنَيَّ
وَمَلَأَ مِنْ شَحْمِ عَضُدَيَّ وَبَجَّحَنِي فَبَجَحْتُ إِلَى نَفْسِي
Wanita
kesebelas berkisah,
“Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan Abu Zar’? Dialah yang telah
memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah memenuhi lemak di lengan atas
tanganku dan menyenangkan aku, maka aku pun gembira.”
[Maksud
perkataan di atas: Maksudnya yaitu suaminya Abu Zar’ memberikannya perhiasan
yang banyak dan memperhatikan dirinya serta menjadikan tubuhnya padat (montok).
Karena jika lengan atasnya padat maka tandanya tubuhnya semuanya padat. Hal ini
menjadikannya gembira. Merupakan sifat suami yang baik adalah menghiasi dan
mempercantik istrinya dengan perhiasan dan memberikan kepada istrinya makanan
pilihan. Sesungguhnya hal ini menjadikan sang istri menjadi sangat mencintai
suaminya karena merasakan perhatian suaminya dan sayangnya suaminya kepadanya.
Para wanita sangat suka kepada perhiasan emas, dan ini merupakan hadiah yang
paling baik yang diberikan kepada wanita. Tubuh yang berisi padat (tidak kurus
dan tidak gemuk) merupakan sifat kecantikan seorang wanita.]
. وَجَدَنِي فِي أَهْلِ غُنَيْمَةٍ بِشِقٍ
فَجَعَلَنِي فِي أَهْلِ صَهِيْلٍ وَأَطِيْطٍ وَدَائِسٍ وَمَنَقٍ، فَعِنْدَهُ
أَقُوْلُ فَلاَ أُقَبَّحُ وَأَرْقُدُ فَأَتَصَبَّحُ وَأَشْرَبُ فَأَتَقَنَّحُ
Ia
mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil dalam kehidupan yang sulit,
lalu ia pun menjadikan aku di tempat para pemilik kuda dan unta, penghalus
makanan dan suara-suara hewan ternak. Di sisinya aku berbicara dan aku tidak
dijelek-jelekan, aku dibiarkan tidur di pagi hari, aku minum hingga aku puas
dan tidak pingin minum lagi.
[Maksud
perkataan di atas: Maksudnya yaitu Abu Zar’ mendapatinya dari keluarga yang
menggembalakan kambing-kambing kecil yang menunjukan keluarga tersebut kurang
mampu dan menjalani hidup dengan susah payah. Lalu Abu Zar’ memindahkannya ke kehidupan
keluarga yang mewah yang makanan mereka adalah makanan pilihan yang dihaluskan.
Mereka memiliki kuda-kuda dan onta-onta serta hewan-hewan ternak lainnya. Jika
ia berbicara di hadapan suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak pernah
membantahnya dan tidak pernah menghinakan atau menjelekkannya karena mulianya
suaminya tersebut dan sayangnya pada dirinya. Ia tidur di pagi hari dan tidak
dibangunkan karena sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia minum
hingga puas sekali dan tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah
memberikannya berbagai macam minuman seperti susu, jus anggur, dan yang
lainnya. Merupakan sifat suami yang baik adalah membantu istrinya diantaranya
dengan mendatangkan pembantu yang bisa membantu tugas-tugas rumah tangga
istrinya.]
. أُمُّ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا أُمُّ أَبِي
زَرْعٍ ؟ عُكُوْمُهَا رِدَاحٌ وَبَيْتُهَا فَسَاحٌ
ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
Ibu Abu
Zar’. Siapakah gerangan Ibu Abu Zar’?, yang mengumpulkan perabotan rumah, dan
memiliki rumah yang luas.
[Maksud
perkataan di atas: Ibu suaminya adalah wanita yang kaya raya yang memiliki
banyak perabot rumah tangga didukung dengan rumahnya yang besar dan luas. Hal
ini menunjukan bahwa sang ibu adalah orang yang sangat baik yang selalu
memuliakan tamu-tamunya. Di antara sifat istri yang sholehah hendaknya ia
menghormati ibu suaminya dan memahami bahwa ibu suaminyalah yang telah
melahirkan suaminya yang telah banyak berbuat baik kepadanya. Kemudian
hendaknya tidak ada permusuhan antara seorang istri yang sholehah dan ibu
suaminya. Dan sesungguhnya tidak perlu adanya permusuhan karena pada hakekatnya
tidak ada motivasi yang mendorong pada hal itu jika keduanya menyadari bahwa masing-masing
memiliki hak-hak khusus yang berbeda yang harus ditunaikan oleh sang suami.]
ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا
ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ
الْجَفْرَةِ
Putra Abu
Zar’, siapakah gerangan dia? Tempat tidurnya adalah pedang yang terhunus keluar
dari sarungnya, ia sudah kenyang jika memakan lengan anak kambing betina.
[Maksud
perkataan di atas: Putra suaminya adalah anak yang gagah dan tampan serta
pemberani, tidak gemuk karena sedikit makannya, tidak kaku dan lembut, namun
sering membawa alat perang dan gagah tatkala berperang.]
بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا
بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا
وَغَيْظُ جَارَتِهَا
Putri Abu
Zar’, siapakah gerangan dia? Taat kepada ayahnya dan ibunya, tubuhnya segar
montok, membuat madunya marah kepadanya.
[Maksud
perkataan di atas: Ia adalah seorang putri yang berbakti kepada kedua orang
tuanya sehingga menjadikannya adalah buah hati kedua orangtuanya. Ia seorang
putri yang cantik dan disenangi suaminya hingga menjadikan istri suaminya yang
lain cemburu dan marah kepadanya karena kecantikannya tersebut.]
جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا
جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ
مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
Budak wanita
Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Ia menyembunyikan rahasia-rahasia kami dan tidak
menyebarkannya, tidak merusak makanan yang kami datangkan dan tidak membawa
lari makanan tersebut, serta tidak mengumpulkan kotoran di rumah kami.
[Maksud
perkataan di atas: Budak wanita tersebut adalah orang yang terpercaya bisa
menjaga rahasia dan amanah. Seluruh kejadian atau pembicaraan yang terjadi di
dalam rumah tidak tersebar keluar rumah. Ia sangat jauh dari sifat khianat dan
sifat mencuri. Dia juga pandai menjaga diri sehingga jauh dari tuduhan tuduhan
sehingga ia tidak membawa kotoran (tuduhan-tuduhan jelek) dalam rumah kami.]
قَالَتْ خَرَجَ أَبُو زَرْعٍ
وَالأَوْطَابُ تُمَخَّضُ فَلَقِيَ امْرَأَةً مَعَهَا وَلَدَانِ لَهَا
كَالْفَهْدَيْنِ يَلْعَبَانِ مِنْ تَحْتِ خِصْرِهَا بِرُمَّانَتَيْنِ فَطَلَّقَنِي
وَنَكَحَهَا
Keluarlah
Abu Zar’ pada saat tempat-tempat dituangkannya susu sedang
digoyang-goyang agar keluar sari susunya, maka ia pun bertemu dengan
seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan. Mereka berdua
sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima. Maka iapun lalu menceraikanku
dan menikahi wanita tersebut.
[Maksud
perkataan di atas: Abu Zar’ suatu saat keluar di pagi hari pada waktu para
pembantu dan para budak sedang sibuk bekerja dan diantara mereka ada yang
sedang menggoyang-goyangkan (mengocok-ngocok) susu agar keluar sari susu
tersebut. Kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki dua orang
anak yang menunjukan bahwa wanita tersebut adalah wanita yang subur. Hal ini
merupakan sebab tertariknya Abu Zar’ untuk menikahi wanita tersebut, karena
orang Arab senang dengan wanita yang subur untuk memperbanyak keturunan. Dan
sang wanita memiliki dua anak yang masih kecil-kecil yang menunjukan bahwa
wanita tersebut masih muda belia. Akhirnya Abu Zar’pun menikahi wanita tersebut
dan mencerai Ummu Zar’]
فَنَكَحْتُ
بَعْدَهُ رَجُلاً سَرِيًا رَكِبَ شَرِيًّا وَأَخَذَ خَطِّيًّا وَأَرَاحَ عَلَيَّ نَعَمًا ثَرِيًا وَأَعْطَانِي مِنْ كُلِّ رَائِحَةٍ زَوْجًا وَقَالَ كُلِي أُمَّ زَرْعٍ وَمِيْرِي أَهْلَكِ قَالَتْ فَلَوْ جَمَعْتُ كُلَّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ مَا بَلَغَ أَصْغَرَ آنِيَةِ أَبِي زَرْعٍ
Setelah itu
aku pun menikahi seoerang pria yang terkemuka yang menunggang kuda pilihan balap.
Ia mengambil tombak khotthi lalu membawa tombak tersebut untuk
berperang dan membawa ghonimah berupa onta yang banyak sekali. Ia memberiku
sepasang hewan dari hewan-hewan yang disembelih dan berkata, “Makanlah wahai
Ummu Zar’ dan berkunjunglah ke keluargamu dengan membawa makanan”. Kalau
seandainya aku mengumpulkan semua yang diberikan olehnya maka tidak akan
mencapai belanga terkecil Abu Zar’.
[Maksud
perkataan di atas: Ummu Zar’ setelah itu menikahi seorang pria yang gagah
perkasa yang sangat baik kepadanya hingga memberikannya makanan yang
banyak, demikian juga pemberian-pemberian yang lain, bahkan ia memerintahkannya
untuk membawa pemberian-pemberian tersebut kepada keluarga Ummu Zar’. Namun
meskipun demikian Ummu Zar’ kurang merasa bahagia dan selalu ingat kepada Abu
Zar’.
Yang
membedakan antara Abu Zar’ dan suaminya yang kedua adalah Abu Zar’ selalu
berusaha mengambil hati istrinya, ia tidak hanya memenuhi kebutuhan istrinya
akan tetapi kelembutannya dan kasih sayangnyalah yang telah memikat hati
istrtinya. Ditambah lagi Abu Zar’ adalah suami pertama dari sang wanita.]
قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ
‘Aisyah
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’.
Dalam
riwayat lain Aisyah berkata
يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ
أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ
“Wahai
Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’” (HR.
An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139)
Kisah yang
panjang di atas menunjukkan tipe-tipe suami, ada yang berakhlak mulia yang
patut kita tiru dan ada yang perangangainya buruk yang harus kita jauhi.
Kisah ini
juga menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang yang selalu sayang dan perhatian kepada Aisyah. Berbeda dengan sebagian
suami yang kasih sayangnya kepada istrinya hanya pada waktu-waktu tertentu
saja, dan pada waktu-waktu yang lain tidak demikian. Kisah ini juga mengandung
pelajaran bahwa sebaiknya suami berusaha untuk memperhatikan dan menyimak
curhatan istrinya, meskipun agak lama seperti dalam kisah ini.
Demikian
ulasan kita pada hari ini. Masih ada beberapa kewajiban suami yang belum
penulis ulas. Moga bisa diteruskan dalam kesempatan yang lain.
Semoga Allah
memudahkan kita menjadi suami idaman, penuh kelembutan, penuh kasih sayang dan
amat perhatian pada istri. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
֎֎֎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^