Ada istilah
“wath’u” (الوطء) dan istilah
“jima’” (الجماع), keduanya dimaksudkan
untuk hubungan badan atau bersetubuh. Dalam istilah fiqih, jima’ didefinisikan
dengan memasukkan kemaluan laki-laki pada kemaluan perempuan sehingga
seakan-akan seperti satu kesatuan.
Macam
Jima’
Perlu sekali
kita mengetahui tentang masalah jima’ ini karena akan berkonsekuensi pada hukum
halal dan haram. Ada jima’ (hubungan badan) yang menyebabkan seseorang
terjerumus dalam dosa bahkan dosa besar. Namun ada jima’ yang mengantarkan pada
meraih pahala. Oleh karena itu, para ulama fiqih membagi jima’ menjadi dua
macam, yaitu jima’ masyru’ dan jima’ mahzhur.
Jima’ masyru’ adalah jima’ yang halal, yaitu berhubungan badan dengan istri
atau hamba sahaya. Namun jima’ seperti ini dapat berubah menjadi haram (jima’
mahzhur) ketika menyetubuhi istri dalam keadaan haidh atau nifas.
Jima’ mahzhur yang
berkonsekuensi haram dapat dibagi menjadi dua macam:
1.
Jima’ yang haram yang sewaktu-waktu bisa berubah jadi halal. Seperti jima’
dengan wanita bukan mahrom di kemaluannya setelah menikahinya. Setelah
menikahinya barulah menjadi halal, sebelumnya haram.
2.
Jima’ yang selama-lamanya tetap haram, tidak bisa berubah menjadi halal.
Seperti liwath (homoseksual), menyetubuhi wanita yang halal
untuknya tetapi di duburnya, menyetubuhi wanita yang belum halal untuknya
(belum dinikahi atau belum menjadi budak), menyetubuhi binatang. Yang lebih
parah, apabila yang disetubuhi masih ada hubungan mahrom.
Sebab
Jima’ yang Halal
Sekarang
kita melihat jima’ yang masyru’ (yang halal). Ada dua sebab yang menyebabkan
jima’ menjadi halal, yaitu akad nikah dan pemilikan hamba sahaya.
Pasangan
yang telah menikah boleh menyetubuhi pasangannya kapan pun itu. Waktu yang
dikecualikan adalah ketika haidh, mendapati nifas, dalam keadaan dizhihar
sebelum bayar kafaroh, dalam keadaan ihrom dan beberapa kondisi lainnya.
Mengenai halalnya hubungan badan keduanya disebutkan dalam firman AllahTa’ala,
وَالَّذِينَ هُمْ
لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْعَادُونَ (7)
“Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5-7).
Dalam ayat
di atas disebutkan pula mengenai halalnya hamba sahaya yang dimiliki oleh
tuannya, artinya ia boleh disetubuhi layaknya istri. Bahkan para ulama tidak
berselisih pendapat tentang bolehnya menyetubuhi hamba sahaya yang telah sah
dimiliki, sekali pun tanpa melalui akad nikah. Ibnu Qudamah berkata, “Hamba
sahaya memberikan manfaat dalam kepemilikan, termasuk di dalamnya adalah
bolehnya disetubuhi (oleh tuannya).”
Pahala
Jima’ yang Halal
Dalam hadits
riwayat Muslim, dari Abu Dzar Al Ghifari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ
صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ
وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ
أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ
لَهُ أَجْرٌ »
“Hubungan
badan antara kalian (dengan isteri atau hamba sahaya kalian) adalah sedekah.
Para sahabat lantas ada yang bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu
mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah jika kalian bersetubuh pada
yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada
yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala’.” (HR. Muslim no. 1006)
Berdasarkan
hadits di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa pahala seorang pria yang
menyetubuhi istri atau budaknya bisa diraih jika didasari niat yang
sholeh, yaitu untuk menjaga dirinya atau pula pasangannya agar tidak
terjerumus dalam yang haram. Atau jima’ tadi diniatkan untuk menunaikan hak
dari pasangannya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan. Atau
hubungan badan tadi bertujuan untuk mencari keturunan sehingga anak-anaknya
kelak bisa mewariskan ilmu orang tuanya dan bisa semakin menyemarakkan Islam.
Inilah niatan-niatan sholeh yang dimaksud.
Lantas bagaimana
jika hubungan badan tersebut hanya ingin memuaskan nafsu syahwat dengan istri
atau budak, tidak diniatkan dengan niatan sholeh seperti dicontohkan di atas?
Hal ini terdapat khilaf (beda pendapat) di antara para ulama.
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa keadaan seperti itu tetap mendapatkan
pahala. Sebagian lainnya mengatakan tidak. Yang lebih tepat dalam hal ini
adalah pendapat terakhir, yaitu tidak mendapati pahala karena tidak didasari
niat yang sholeh saat berhubungan badan. Dalil penguatnya di antaranya adalah
hadits berikut,
إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ
نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهْوَ يَحْتَسِبُهَا ، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Jika
seorang muslim berinfak pada keluarganya dengan maksud meraih pahala dari
Allah, maka itu dinilai sedekah.” (HR. Bukhari no. 5351).
Imam
Nawawi rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud hadits ini
adalah sedekah dan infak secara umum dengan syarat ingin mengharap wajah Allah
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/88). Para ulama yang mengatakan
mesti dengan niatan sholeh berkata, “Jika pada infak yang wajib saja
disyaratkan meraih pahala Allah, bagaimana lagi dengan jima’ yang asalnya
mubah?” Sehingga hal ini menunjukkan bahwa jima’ yang bisa berpahala adalah
jika diniatkan meraih pahala atau didasari niatan sholeh dan tidak sekedar
melampiaskan syahwat belaka.
Demikian
bahasan kami seputar jima’ yang halal. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
֎֎֎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^