Dalam sebagian ajaran fikih yang tersebar di negeri kita
disebutkan bahwa boleh memandang seluruh tubuh istri kecuali pada kemaluan.
Inilah yang tersebar di sebagian kalangan, jadi ketika jima’ (hubungan intim)
tidak boleh melihat aurat atau kemaluan istri.
Namun yang benar boleh antara suami istri saling memandang
aurat satu dan lainnya. Dalilnya, dari ‘Aisyah, ia berkata,
كُنْتُ
أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
إِنَاءٍ بَيْنِي وَبَيْنَهُ وَاحِدٍ ، فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُولَ دَعْ لِي ،
دَعْ لِي ، قَالَتْ: وَهُمَا جُنُبَانِ
“Aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari satu bejana antara aku dan beliau. Kemudian beliau bergegas-gegas
denganku mengambil air, sampai aku mengatakan: tinggalkan air untukku,
tinggalkan air untukku.” Ia berkata, “Mereka berdua kala itu dalam keadaan
junub.” (HR. Bukhari no. 261 dan Muslim no. 321). Al Hafizh Ibnu Hajar
berkata, “Ad Daudi berdalil dengan dalil ini akan bolehnnya laki-laki memandang
aurat istrinya dan sebaliknya.” (Fathul Bari, 1: 364)
Juga dikuatkan lagi dengan hadits,
احْفَظْ
عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budak yang kau
miliki.” (HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2769, hasan). Ibnu Hajar
berkata, “Yang dipahami dari hadits ‘kecuali dari istrimu’ menunjukkan
bahwa istrinya boleh-boleh saja memandang aurat suami. Hal ini diqiyaskan pula,
boleh saja suami memandang aurat istri.” (Fathul Bari, 1: 386). Dan yang
berpandangan bolehnya memandang aurat satu sama lain antara suami istri adalah
pendapat jumhur ulama (mayoritas). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 32: 89)
Ibnu Hazm Azh Zhohiri juga berkata, “Halal bagi suami untuk
memandang kemaluan istri dan hamba sahaya miliknya yang boleh ia setubuhi.
Demikian pula istri dan hamba sahayanya tadi boleh memandang kemaluannya. Hal
ini tidak dianggap makruh sama sekali. Di antara dalilnya adalah hadits yang
masyhur dari jalan ‘Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah yang kesemuanya adalah
ummahatul mukminin (istri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Di antara
mereka pernah mandi junub bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari satu bejana. Yang aneh, mereka menghalalkan menyetubuhi
istri di kemaluan, namun melarang dari memandang kemaluan (padahal memandang
masih lebih mending dari menyetubuhi, pen). Cukup sebagai dalil akan bolehnya
adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (29) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (30)
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al Ma’arij: 29-30).
Perintah Allah untuk menjaga kemaluan kecuali pada istri dan hamba sahaya yang
dimiliki menunjukkan bahwa boleh saja melihat, menyentuh dan berkholwat dengan
mereka. Kami tidak mengetahui hal ini kecuali karena berpegang pada riwayat
yang bermasalah dari seorang wanita yang majhul (yang tidak diketahui) dan ia
mengatakan dari salah seorang ummul mukminin (istri Rasul), ia berkata, “Aku
tidaklah pernah melihat kemaluan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama
sekali.” (Al Muhalla, 10: 33)
Hadits yang disebutkan di atas adalah riwayat Ibnu Majah dalam
kitab sunannya (662) dari Musa bin ‘Abdillah, dari bekas budak ‘Aisyah, dari
‘Aisyah bahwa beliau berkata,
مَا
نَظَرْتُ أَوْ مَا رَأَيْتُ فَرْجَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَطُّ
“Aku tidak pernah memandang atau melihat kemaluan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali. ” Hadits ini
adalah hadits dho’if yang tidak bisa dijadikan hujjah karena
perowi dari ‘Aisyah tidak diketahui siapa. Al Hafizh Ibnu Rajab dalam Fathul
Bari (1: 336) mengatakan bahwa dalam sanad hadits ini adalah perowi yang tidak
dikenal.
֎֎֎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^