“Hubungan intim kalian (suami-istri) adalah sedekah.”
(Sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari sahabat Abu Dzar). Lalu
kapan hubungan intim atau seksual bisa bernilai ibadah?
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَفِى
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا
شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى
حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى
الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ »
“Dan hubungan intim di antara kalian adalah sedekah.” Para
sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa mendatangi istri dengan
syahwat (disetubuhi) bisa bernilai pahala?” Ia berkata, “Bagaimana pendapatmu
jika ada yang meletakkan syahwat tersebut pada yang haram (berzina) bukankah
bernilai dosa? Maka sudah sepantasnya meletakkan syahwat tersebut pada yang
halal mendatangkan pahala.” (HR. Muslim no. 1006).
Kapan
Hubungan Intim Bisa Bernilai Sedekah, Ibadah dan Ketaatan?
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Budh’i dalam
hadits, yang dimaksud adalah jima’ atau bisa bermakna kemaluan. Kedua makna
tersebut benar. Hal ini menunjukkan bahwa suatu hal yang mubah bisa dinilai
suatu ketaatan jika didasari niat yang benar.
Jima’ (bersetubuh atau hubungan
intim) bisa bernilai ibadah jika maksudnya adalah untuk menunaikan hak istri,
bergaul baik dengannya, dan melakukan kebajikan sebagaimana yang Allah
perintahkan. Di samping itu, jima’ bisa bernilai ibadah bila maksudnya untuk
memperoleh keturunan yang sholeh, membentengi diri agar tidak terjerumus dalam
zina, agar pasangan tidak memandang hal-hal yang diharamkan, juga agar tidak
berpikiran atau bermaksud yang bukan-bukan, atau niatan baik lainnya.” (Syarh
Shahih Muslim, 7: 83-84).
Didasari Niat, Bukan Hanya Melampiaskan Syahwat
Jika kita lihat dari tekstual hadits yang kita bahas di atas,
maka tidak dipersyaratkan niat. Karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sekedar
bersabda, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram,
dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia
mendapat pahala”. Jadi sekedar menumpahkan syahwat saja bernilai pahala. Karena
hubungan seksual dengan istri adalah seperti kita menanam benih dan nantinya
kita akan menuai hasilnya.
Ulama lain berpendapat bahwa tetap harus didasari niatan
ikhlas, barulah bernilai pahala di sisi-Nya. Karena hadits di atas adalah
hadits mutlaq, maka dibawa ke hadits muqoyyad yang mempersyaratkan niat. Di
antara dalil yang mempersyaratkan niat, hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqosh,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكَ
لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا
، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Tidaklah nafkah yang engkau cari untuk mengharapkan wajah
Allah kecuali engkau akan diberi balasan karenanya, sampai apa yang engkau
masukkan dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari no. 56)
Juga dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala,
لَا
خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ
مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,
atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan
barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak
Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisa’: 114). Di sini
dipersyaratkan dapat pahala jika disertai niat ikhlas.
Hadits yang kita bahas kali ini, juga bisa sebagai dalil
dengan pemahaman qiyas al ‘aqs (analogi berkebalikan), bahwa
jika hubungan intim dengan niatan ikhlas, itu mendapat pahala. Jika tidak, maka
tidak demikian. Sama halnya dengan hadits Ibnu Mas’ud, “Barangsiapa yang
mati dalam keadaan berbuat syirik pada Allah, maka ia masuk neraka.”
Berarti sebaliknya, barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik,
maka ia akan masuk surga.
Jadi, niatkanlah ikhlas untuk raih pahala dalam setiap
hubungan intim, supaya bernilai sedekah dan menuai ganjaran di sisi Allah.
(Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits ke-25, 2: 56-70).
֎֎֎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^