Di padang pasir Samawah, dekat Kufah (Irak), Na’ilah lahir dan dibesarkan.
Sebagaimana penduduk pedesaan padang pasir pada umumnya, Na’ilah fasih dalam
berbahasa. Kecerdasan dan kelembutan hati juga menjadi bagian dari dirinya.
Saat saudara perempuannya, Hindun, menjadi istri Sa'id bin Al Ash, Gubernur Kufah, nasib Na'ilah pun ikut berubah. Atasan Sa’id, Amirul Mukminin Utsman bin Affan ra yang mengenal Said, memintanya mencarikan istri untuknya dari Samawah. Pilihan jatuh kepada Na’ilah.
Farafishah meminta anak lelakinya yang Muslim, Dhab, untuk menikahkan adiknya itu dengan Utsman. Na’ilah saat itu pun masih seorang Nasrani. Setelah diboyong ke Madinah dan menikah dengan Utsman, barulah ia memeluk Islam.
Sesuai pesan ayahnya, Na’ilah selalu memakai celak dan menjaga kebersihan tubuhnya untuk suaminya. Utsman amat menyukai apa yang dilakukan Na’ilah, apalagi perilaku dan tutur bahasanya bagus. Na’ilah mendapat tempat tersendiri di hati Utsman yang saat itu telah memiliki istri-istri lain.
Di Madinah, Na’ilah belajar langsung dari Ummul Mukminin Aisyah ra. Darinya pula Na’ilah meriwayatkan beberapa hadits, selain meriwayatkan dari suaminya sendiri. Bertambahlah keistimewaan Na'ilah dengan ilmu Al-Qur'an dan hadits yang dimilikinya.
Bersama Utsman, Na’ilah hidup bahagia dengan putri mereka, Maryam. Namun, kebahagiaan itu pun berakhir. Gejolak yang timbul semasa pemerintahan Utsman berujung pada pembunuhan Khulafaur Rasyidin ketiga tersebut.
Saat itu, Utsman dikurung di rumah, ditemani Na’ilah. Tanpa dapat dicegah, para pemberontak masuk untuk membunuh Utsman. Na'ilah berusaha melindungi sang Khalifah dan menjadikan dirinya tameng hidup. Meski jari tangannya putus, usaha Na'ilah tak membuahkan hasil. Utsman, pemilik dua cahaya Rasulullah (Dzun Nurain), akhirnya syahid. Itu terjadi pada 35 Hijriah.
Betapa pedih luka fisik dan batin Na’ilah. Apalagi jenazah suaminya tak bisa dikuburkan segera lantaran kekacauan yang terjadi setelah pembunuhan itu. Dalam gelap malam, Na’ilah, Ummul Banin (istri Utsman yang lain) dan beberapa orang lainnya menguburkan Utsman di Baqi’.
Sepeninggal Utsman, Na’ilah selalu menyebut-nyebut kebaikan Utsman dalam berbagai kesempatan. Cinta dan kesetiaannya hanya untuk Utsman. Ia tak ingin menikah lagi. Lamaran Muawiyah bin Abu Sufyan ia tolak. Bahkan ia mematahkan gigi depannya sendiri agar tak lagi terlihat cantik sehingga tak ada yang mau melamarnya lagi.
Tak ada catatan kapan perempuan setia ini wafat. Namun, Na’ilah wafat dengan satu harapan: kelak akan berkumpul kembali dengan Utsman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^