Setelah
membahas kewajiban suami sampai serial ketiga, saat ini kita akan
melanjutkan ke serial terakhir. Moga dengan mengetahui kewajiban ini, kita
sebagai suami bisa menjalankan kewajiban dalam rumah tangga dengan baik
sehingga bisa menggapai keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Ketujuh: Tidak mempersoalkan kesalahan kecil si istri
Inilah
petunjuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ
مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah
seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika si pria tidak menyukai suatu
akhlak pada si wanita, maka hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridhoi”
(HR. Muslim no. 1469). Karena istri tentu saja dalam bersikap dan kelakuan
tidak bisa seratus persen perfect sebagaimana yang suami
inginkan. Bersabarlah dan tetap terus menasehati istri dengan cara yang baik.
Kedelapan: Tidak memukul istri di wajah dan tidak menjelek-jelekkan
istri
Dari
Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengenai kewajiban suami
pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا
طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ
الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau
memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian
sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul
istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak
mendiamkannya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no.
2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Kenapa
tidak boleh memukul wajah istri?
Karena wajah
adalah bagian tubuh yang paling mulia dan paling terlihat oleh orang lain. Di
wajah terdapat anggota lainnya yang mulia dan lembut. Hadits ini merupakan
dalil wajibnya menjauhi memukul wajah ketika mendidik istri.
Dalam hadits
di atas pun terdapat ajaran tidak menjelek-jelekkan istri dan tidak mencela
atau mendoakan jelek pada istri seperti dengan do’a “semoga Allah
menjelakkanmu”. Seperti ini tidak dibolehkan (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 6: 127).
Dalam hadits
lainnya dari ‘Abdullah bin Zam’ah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda,
لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ
جَلْدَ الْعَبْدِ ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِى آخِرِ الْيَوْمِ
“Salah
seorang di antara kalian tidak boleh mencambuk istrinya seperti cambukan pada
seorang budak lalu ia menyetubuhi istrinya di akhir malam” (HR. Bukhari no.
5204).
‘Aisyah
menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ
وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku
tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul
sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”.
(HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits inishahih sesuai
syarat Bukhari-Muslim)
Boleh
mendidik istri dengan memukul namun tidak di wajah dan tidak dengan pukulan
yang keras atau tidak boleh dengan pukulan yang menampakkan bekas. Sebagaimana nasehat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamketika haji wada’,
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ
فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Kewajiban
istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang
pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka
dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).
Kaedah
dalam memukul istri
Diterangkan
dalam ayat berikut ini,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya (pembangkangannya), maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS. An Nisa’: 34).
Disimpulkan bahwa ada tiga kaedah ketika ingin memukul istri:
1. Ketika nasehat tidak lagi
diperhatikan dan tidak ada manfaat setelah berpisah dengan istri dari ranjang.
2. Pukulannya dalam rangka
mendidik dan tidak membekas serta tidak merusak tulang.
3. Tidak lagi memukul istri
ketika istri sudah berubah menjadi taat dan menurut pada perintah suami.
Kesembilan: Tidak meng-hajr (pisah ranjang) dalam rangka mendidik
selain di dalam rumah
Hal ini
sebagaimana diterangkan dalam ayat dan hadits sebelumnya di atas. Mengenai
makna hajr di ranjangpada ayat,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Dan
hajr-lah (pisahkanlah mereka) di tempat tidur mereka”, Syaikh ‘Abdurrahman bin
Nashir As Sa’dirahimahullah mengatakan bahwa maknanya adalah tidak
satu ranjang dengannya dan tidak berhubungan intim dengan istri sampai ia sadar
dari kesalahannya (Lihat Taisir Al Karimir Rahman, 177).
Ibnul Jauzi
menerangkan mengenai makna hajr di ranjang ada beberapa
pendapat di kalangan pakar tafsir:
1. Tidak berhubungan intim
2. Tidak mengajak berbicara,
namun masih tetap berhubungan intim
3. Mengeluarkan kata-kata
yang menyakiti istri ketika diranjang
4. Pisah ranjang (Lihat
Zaadul Masiir, 2: 76).
Dan hajr boleh
dilakukan di luar rumah jika ada maslahat sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallampernah meng-hajr istri-istrinya selama sebulan
di luar rumah mereka.
Kesepuluh: Memberikan hak istri dalam hubungan intim
Hal ini
dapat kita ambil pelajaran dari hadits Abu Darda’ berikut ini.
آخَى النَّبِىُّ – صلى الله
عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا
الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا
شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا
. فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ
فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ .
فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ .
فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ
اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ
عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى
الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم
– « صَدَقَ سَلْمَانُ »
Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu saat
Salman mengunjungi –saudaranya- Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istrinya,
Ummu Darda’, dalam keadaan tidak mengenakkan. Salman pun berkata kepada Ummu
Darda’, “Kenapa keadaanmu seperti ini?” “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan
ia tidak lagi mempedulikan dunia”, jawab wanita tersebut. Abu Darda’
kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’. Salman
berkata, “Makanlah”. “Maaf, saya sedang puasa”, jawab Abu Darda’.
Salman pun berkata, “Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan.”
Lantas Abu Darda’ menyantap makanan tersebut.
Ketika malam
hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Salman malah berkata
pada Abu Darda’, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia
pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi yang sama, “Tidurlah”.
Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.”
Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya engkau memiliki
kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri
(yaitu memberi supply makanan dan mengistirahatkan badan), dan engkau
pun punya kewajiban pada keluargamu (yaitu melayani istri). Maka berilah porsi yang
pas untuk masing-masing kewajiban tadi.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda,
“Salman itu benar” (HR. Bukhari no. 968).
Menurut
pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
suami itu wajib menyetubuhi istrinya sesuai dengan kemampuan suami dan
kecukupan istri. Inilah pendapat yang tepat, berbeda dengan pendapat sebagian
ulama yang mengharuskan suami harus menyetubuhi istrinya minimal empat bulan
sekali. Namun yang tepat adalah pendapat pertama.
Kesebelas: Memberikan istri kesempatan untuk menghadiri shalat jama’ah
selama keluar dengan hijab yang sempurna dan juga memberi izin bagi istri untuk
mengunjungi kerabatnya, sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam kisah Ummu
Zar’ dan Abu Zar’ sebelumnya.
Keduabelas: Tidak menyebar rahasia dan aib istri, sebagaimana pernah diterangkan
dalam kewajiban istri.
Ketigabelas: Berhias diri di hadapan istri sebagaimana suami menginginkan
demikian pada istri
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”
(QS. Al Baqarah: 228).
Keempatbelas: Selalu berprasangka baik dengan istri
Inilah
mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
agar suami tidak terlalu penuh curiga ketika ia meninggalkan istrinya lalu
datang dan ingin mengungkap aib-aibnya. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ
لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ
وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ
“Jika
salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka janganlah ia mendatangi
istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) agar wanita yang ditinggal suaminya
mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya” (HR. Bukhari no.
5246 dan Muslim no. 715).
Dari Jabir
bin Abdillah, ia berkata,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ
يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ
“Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi istrinya di malam
hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya atau untuk
mencari-cari kesalahannya” (HR. Muslim no. 715).
Hadits
semacam ini kata Al Muhallab adalah dalil yang menunjukkan terlarang
mencari-cari kesalahan dan kelengahan istri karena ini adalah bagian dari
fitnah dan termasuk berburuk sangka padanya (Lihat Syarh Al Bukhari li Ibni
Battol, 13: 372, Asy Syamilah).
Semoga Allah
memudahkan kita selaku para suami untuk memenuhi kewajiban ini terhadap istri
dan anak-anak kita. Semoga dengan mengamalkannya keluarga kita akan mendapatkan
rahmat Allah dan selalu diisi dengan kasih sayang.
֎֎֎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^