Bahasan berikut adalah lanjutan dari bahasan sebelumnya
tentang aturan dan adab dalam hubungan intim. Seperti
adab yang sering jadi pelanggaran adalah menyebarkan rahasia di ranjang. Simak
saja lanjutannya dalam edisi berikut.
Keenam: Boleh-boleh saja suami istri tidak
berpakaian sehingga bisa saling melihat satu dan lainnya
Hal ini dibolehkan karena tidak ada batasan aurat antara suami
istri. Kita dapat melihat bukti hal ini dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata,
كُنْتُ
أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ
جَنَابَةٍ
“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub” (HR. Bukhari
no. 263 dan Muslim no. 321). Al-Hafizh lbnu Hajar Al Asqalani rahimahullahberkata,
“Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami
melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Pendapat ini dikuatkan dengan kabar yang
diriwayatkan lbnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya
tentang hukum seorang suami melihat aurat istrinya. Maka Sulaiman pun berkata,
‘Aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang hal ini, ia menjawab, ‘Aku pernah
menanyakan permasalahan ini kepada ‘Aisyah maka ‘Aisyah membawakan hadits ini
dengan maknanya’.” (Fathul Bari, 1: 364).
Sebagai pendukung lagi adalah dari ayat Al Qur’an berikut,
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela” (QS. Al Mu’minun: 5-6). Ibnu Hazm
berkata, “Ayat ini umum, menjaga kemaluan hanya pada istri dan hamba sahaya
berarti dibolehkan melihat, menyentuh dan bercampur dengannya.” (Al Muhalla,
10: 33)
Sedangkan hadits,
إِذَا
أَتَى أَهْلَهُ فَلاَ يَتَجَرَّدَا تَجَرُّدَ العَيْرَيْن
“Jika seseorang menyetubuhi istrinya, janganlah saling
telanjang.” (HR. An Nasai dalam Al Kubro 5: 327 dan Al Baihaqi dalam
Syu’abul Iman 6: 163. Abu Zur’ah mengatakan Mandal yang meriwayatkan hadits ini
adalah keliru). Penulis Shahih Fiqh Sunnah (3: 188) mengatakan bahwa hadits ini
munkar, tidak shahih. Maka asalnya boleh suami istri saling telanjang ketika
hubungan intim. Wallahu a’lam.
Ketujuh: Istri hendaklah tidak menolak ketika
diajak hubungan intim oleh suaminya
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا
الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si
istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh”
(HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436). Namun jika istri ada halangan,
seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi
hal ini. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil
haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid
bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya.”
(Syarh Shahih Muslim, 10: 7)
Kedelapan: Jika seseorang tidak sengaja memandang
wanita lain, lantas ia begitu takjub, maka segeralah datangi istrinya
Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau pernah melihat seorang wanita,
lalu ia mendatangi istrinya Zainab yang saat itu sedang menyamak kulit
miliknya. Lantas beliau menyelasaikan hajatnya (dengan berjima’, hubungan
intim), lalu keluar menuju para sahabatnya seraya berkata,
إِنَّ
الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ
فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ
يَرُدُّ مَا فِى نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita datang dalam rupa setan, dan pergi
dalam rupa setan. Jika seorang di antara kalian melihat seorang wanita yang
menakjubkan (tanpa sengaja), maka hendaknya ia mendatangi (bersetubuh dengan)
istrinya, karena hal itu akan menolak sesuatu (berupa syahwat) yang terdapat
pada dirinya” (HR. Muslim no. 1403)
Para ulama berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan seperti ini sebagai penjelasan bagi para sahabat
mengenai apa yang mesti mereka lakukan dalam keadaan demikian (yaitu ketika
melihat wanita yang tidak halal, pen). Beliau mencontohkan dengan perbuatan dan
perkataan sekaligus. Hadits ini juga menunjukkan tidak mengapa mengajak istri
untuk hubungan intim di siang hari atau waktu lain yang menyibukkan selama
pekerjaan yang ada mungkin ditinggalkan. Karena bisa jadi laki-laki sangat tinggi
sekali syahwatnya ketika itu yang bisa jadi membahayakan badan, hati atau
pandangannya jika ditunda (Lihat Syarh Shahih Muslim, 9: 179).
Kesembilan: Tidak boleh menyebarkan rahasia
hubungan ranjang
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ
يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sesungguhnya termasuk manusia paling jelek kedudukannya di
sisi Allah pada hari kiamat adalah laki-laki yang menggauli istrinya kemudian
dia sebarkan rahasia ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1437). Syaikh Abu Malik
berkata, “Namun jika ada maslahat syar’i sebagaimana yang dilakukan istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebarkan bagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berinteraksi dengan
istrinya, maka tidaklah masalah” (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 189).
Kesepuluh: Jika seseorang datang dari safar,
hendaklah dia mengabarkan istrinya dan jangan datang sembunyi-sembunyi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى
تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ
“Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka
janganlah ia mendatangi istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) agar wanita
yang ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya”
(HR. Bukhari no. 5246 dan Muslim no. 715).
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
نَهَى
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً
يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ
“Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang
seseorang mendatangi istrinya di malam hari untuk mencari-cari tahu apakah
istrinya berkhianat kepadanya atau untuk mencari-cari
kesalahannya” (HR. Muslim no. 715).
Kesebelas: Boleh menyetubuhi wanita saat menyusui
Dari ‘Aisyah, dari Judaamah binti Wahb, saudara perempuan
‘Ukaasyah, ia berkata bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَقَدْ
هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ
يَصْنَعُونَ ذَلِكَ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ
“Sungguh, semula aku ingin melarang (kalian) dari perbuatan
ghiilah. Lalu aku melihat bangsa Romawi dan Persia dimana mereka melakukan
ghiilah terhadap anak-anak mereka. Ternyata hal itu tidak membahayakan
anak-anak mereka” (HR. Muslim no. 1442). Ghiilah bisa
bermakna menyutubuhi wanita yang sedang menyusui. Ada pula yang mengartikan
wanita menyusui yang sedang hamil (Lihat Syarh Shahih Muslim, 10: 16).
Kebolehan menyetubuhi wanita yang sedang menyusui tentu saja dengan melihat
maslahat dan mudhorot (bahaya) sebagai pertimbangan.
֎֎֎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^