Berbakti
kepada orang tua adalah kewajiban yang tak boleh dielakan. Menghormati Abi dan
Ummi merupakan keharusan yang wajib dipenuhi. Pasalnya, merekalah yang selama
ini menjadi perantara setiap ilmu kebaikan dan rizki kepada kita, sehinggga
kita bisa menjadi seperti sekarang ini.
Durhaka
kepada orang tua adalah tindakan terlaknat yang membawa seseoran masuk kedalam
kesuraman. Mengecewakan Abi dan Ummi merupakan prestasi buruk dalam hidup,
karena membahagiakan mereka adalah kewajiban setiap putra dan putrinya.
Akan tetapi,
dalam pandangan Islam, ada dua persoalan yang tidak termasuk durhaka kepada
orang tua bila dilakukan, meskipun orang tua marah dan kecewa kepada sikap
kita. Apakah dua persoalan itu?
Pertama:
Memberikan Kesaksian Benar yang Memberatkan Orang Tua
Memberikan
kesaksian benar yang memberatkan kedua orang tua, jika kedua rang tua itu
memiliki tanggungan hak orang lain, bukan termasuk perilaku durhaka sama
sekali, justru termasuk bentuk bakti kepada orang tua.
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan” (QS An Nisa[4]: 135).
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam pernah bersabda kepada para sahabatnya,
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
“Tolonglah
saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi.”
Kemudian ada
seseorang bertanya tentang bagaimana cara menolong orang yang berbuat zalim?
Beliau menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat zalim, maka sesungguhnya engkau
telah menolongnya.”
Maka
bukanlah sebuah sikap durhaka kepada orang tua, bila kita mendapati diantara
kedua orang tua kita ternyata melakukan sebuah kedustaan sedangkan kita tahu,
maka wajib bagi kita untuk meluruskan, dan bila kita diminta untuk bersaksi
bahwa kedua orang tua jelas berbohong, maka wajib seoarang anak berkata dengan
benar, meski harus menyalahkan tindakan kedua orang tuanya.
Karena dalam
Islam, membela sebuah kebenaran itu adalah kewajiban, selain itu dengan kita
berkata benar, mekipun kedua orang tua kita marah, maka hakikatnya kita sedang
menolong mereka dari kebinasaan.
Hanya saja,
bagaimanapun salah orang tua kita bila jelas data dan fakta, sebaiknya seorang
anak tetap memakai akhlak dan kalimat yang santun dalam memberikan sebuah
kesaksian. Sebagai tanda bukti bahwa kita masih menghormati mereka sebagai anak
kepada orang tuanya.
Kedua: Meninggalkan
Perintah Orang Tua demi Perintah Allah dan Rosul
Membela
kebenaran adalah harga mati, kebanaran yang dimaksudkan adalah segala sesuatu
yang datang dari wahyu Allah. Apabila hal ini terjadi pada kita, dimana orang
tua lebih memilih pada kebatilan sedangkan kita berpihak pada kebenaran, maka
wajib bagi kita untuk istiqomah dalam kebenaran.
Muslimah
yang diperintah untuk mencopot jilbabnya, ikhwan yang dipaksa mencukur
jenggotnya biar keliatan muda, pegawai yang dimarahi karena celananya mendadak
cingkrang, atau dipaksa dipajang di depan para tamu di saat walimahan
pernikahan.
Terlebih
lagi bila orang tua memerintahkan untuk melakuan sebuah tindakan syirik atau
mengajak pada pemahaman syirik untuk diyakini, maka hal seperti ini haram untuk
diikuti. Di dalam kitab Al Quran, Allah -Ta’ala- menjelaskan hal ini dalam
firman-Nya,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [العنكبوت/8]
“Dan Kami
wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu,
lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabut : 8 )
Allah -Azza
wa Jalla- berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [لقمان/14، 15]
“Dan kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya
kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Aku akan beritakan kepadamu apa yang telah kalian kerjakan”.(QS. Luqman :
14-15)
Al-Imam
Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata:
“Jika
ketaatan kepada kedua orang tua tidak boleh dalam kondisi seperti ini, padahal
keduanya memaksa sang anak, maka tidak bolehnya taat kepada keduanya (yakni,
dalam maksiat), karena hanya sekedar permintaan mereka, tanpa ada paksaan
adalah lebih utama. Digolongkan dalam permintaan kesyirikan oleh keduanya,
seluruh kemaksiatan kepada Allah –Subhanahu-. Jadi, tak ada ketaatan kepada
kedua orang tua dalam perkara kemaksiatan kepada Allah sebagaimana hal itu
telah shohih dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-“. [Lihat Fathul
Qodir (5/430)]
Bagaiaman
pun tingginya kedudukan orang tua kita, maka seorang anak dilarang keras dalam
agama untuk menaati mereka dalam perkara maksiat. Yakni, jika mereka menyuruh
kita berbuat maksiat dan dosa, baik dipaksa atau tidak, maka haram hukumnya
menaati mereka menurut agama!
Hal yang
seperti ini sama hukumnya dengan pimpinan negara atau panglima pasukan. Jika
mereka memerintahkan kita berbuat maksiat, maka tak boleh kita taati, siapapun
dia!
Dari Ali bin
Abi Tholib -radhiyallahu anhu- berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا. فَأَرَادَ نَاسٌ أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ الآخَرُونَ إِنَّا قَدْ فَرَرْنَا مِنْهَا. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا « لَوْ دَخَلْتُمُوهَا لَمْ تَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ». وَقَالَ لِلآخَرِينَ قَوْلاً حَسَنًا وَقَالَ « لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ ».
“Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengirim pasukan dan mengangkat bagi
mereka seorang pimpinan.Kemudian pimpinan itu menyalakan api seraya berkata,
“Masukilah api itu!!”
Beberapa
orang ingin masuk ke api itu. Yang lain lagi berkata, “Sesungguhnya kita itu
lari dari api”.
Akhirnya,
perkara itu dilaporkan kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Kemudian Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepada orang-orang
yang mau memasuki api itu,
“Andaikan kalian
memasukinya, maka kalian akan terus berada dalam api itu sampai hari kiamat”.
Beliau
mengucapkan ucapan yang baik kepada kelompok yang lain, seraya bersabda, “Tak
ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah.Ketaatan
itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya
(7257) dan Muslim dalam Shohih-nya (1840)]
Dari sini
maka jelaslah sudah bahwa kewajiban seorang anak kepada orang tua untuk
menghormati serta taat adalah sebuah hal yang harus ditunaikan.Akan tetapi,
bila hal itu bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah maka haram untuk
menjalankanya, meskipun di saat itu orang tua kita marah dan mencaci kita.
Semoga Allah berikan keberkahan dalam hidup kita. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^