Saudaraku,
yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Saat ini kita telah
berada di pertengahan bulan Syawwal. Di bulan Ramadhan yang telah kita lalui
dapat kita saksikan bahwa kaum muslimin begitu giat dalam beramal. Kita lihat
di antara mereka gemar untuk mentadabburi Kalamullah, menghidupkan
malam Ramadhan dengan shalat tarawih, juga sebagian lainnya giat untuk berbagi
dengan sesama melalui kelebihan harta yang mereka miliki. Namun yang sangat
disayangkan, amalan-amalan ketaatan semacam ini kadang terhenti setelah
Ramadhan itu berakhir. Amalan-amalan tersebut terasa hanya musiman saja karena
baru muncul dan laris manis di bulan Ramadhan, namun setelah Ramadhan berakhir
akan lenyap begitu saja. Padahal amalan yang paling baik dan dicintai oleh
Allah tidaklah demikian.
Pada
kesempatan kali ini, kami akan mengangkat pembahasan yang cukup menarik yaitu
bagaimana seharusnya kita beramal. Apakah amalan kita haruslah banyak? Ataukah
lebih baik amalan kita itu rutin walaupun sedikit? Itulah yang akan kami
ketengahkan ke hadapan pembaca pada tulisan yang sederhana ini.Hanya Allah
yang senantiasa memberi segala kemudahan.
Rajin
Ibadah Janganlah Sesaat
Wahai
saudaraku … Perlu diketahui bahwa ibadah tidak semestinya dilakukan hanya
sesaat di suatu waktu. Seperti ini bukanlah perilaku yang baik. Para ulama pun
sampai mengeluarkan kata-kata pedas terhadap orang yang rajin shalat –misalnya-
hanya pada bulan Ramadhan saja. Sedangkan pada bulan-bulan lainnya amalan
tersebut ditinggalkan. Para ulama kadang mengatakan, “Sejelek-jelek
orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang
yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang
tahun”. Ibadah bukan hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, Rajab atau
Sya’ban saja. Sebaik-baik ibadah adalah yang dilakukan sepanjang tahun.
Asy Syibliy
pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau
pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya
adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan, sepanjang
tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat
mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.”
Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya
beribadah pada bulan Ramadhan saja.
Begitu pula
amalan suri tauladan kita –Muhammad shallallahu ’alaihi wa
sallam- adalah amalan yang rutin dan bukan musiman pada waktu atau
bulan tertentu. Itulah yang beliau contohkan kepada kita. ’Alqomah pernah
bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam, ”Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk
beramal?” ’Aisyah menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً
”Beliau
tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan
yang kontinu (ajeg).”
Tanda
Diterimanya Suatu Amalan
Saudaraku …
Perlulah engkau ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila
amalan tersebut membuahkan amalan ketaatan berikutnya. Di antara bentuknya
adalah apabila amalan tersebut dilakukan secara kontinu (rutin). Sebaliknya
tanda tertolaknya suatu amalan (alias tidak diterima), apabila amalan tersebut
malah membuahkan kejelekan setelah itu. Cobalah kita simak ungkapan para ulama
yang mendalam ilmunya mengenai hal ini.
Sebagian
ulama salaf mengatakan,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ
الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di
antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan
kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”
Ibnu Rajab
menjelaskan hal di atas dengan membawakan perkataan salaf lainnya, ”Balasan
dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa
melaksanakan kebaikan lalu melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah
tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang
melaksanakan kebaikan, namun malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka
ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah
dilakukan.”
Pentingnya
Beramal Kontinu (Rutin), Walaupun Sedikit
Di antara
keunggulan suatu amalan dari amalan lainnya adalah amalan yang rutin (kontinu)
dilakukan. Amalan yang kontinu –walaupun sedikit- itu akan mengungguli amalan
yang tidak rutin –meskipun jumlahnya banyak-. Amalan inilah yang lebih dicintai
oleh Allah Ta’ala. Di antara dasar dari hal ini adalah
dalil-dalil berikut.
Dari ’Aisyah
–radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallambersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan
yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu
sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan
keras untuk merutinkannya.
Dari
’Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam ditanya mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah.
Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab,
أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
”Amalan
yang rutin (kontinu), walaupun sedikit.”
’Alqomah
pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah, ”Wahai Ummul Mukminin,
bagaimanakah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam beramal?
Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah
menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً
وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَسْتَطِيعُ
”Tidak. Amalan
beliau adalah amalan yang kontinu (rutin dilakukan). Siapa saja di antara
kalian pasti mampu melakukan yang beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lakukan.”
Di antaranya
lagi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam contohkan dalam amalan
shalat malam. Pada amalan yang satu ini, beliau menganjurkan agar mencoba untuk
merutinkannya. Dari ’Aisyah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى
تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ
قَلَّ
”Wahai
sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah
tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang
paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.”
Keterangan
Ulama Mengenai Amalan yang Kontinu
Mengenai
hadits-hadits yang kami kemukakan di atas telah dijelaskan maksudnya oleh ahli
ilmu sebagai berikut.
Ibnu Rajab
Al Hambali mengatakan, ”Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah agar kita
bisa pertengahan dalam melakukan amalan dan berusaha melakukan suatu amalan
sesuai dengan kemampuan. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah
amalan yang rutin dilakukan walaupun itu sedikit.”
Beliau pun
menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam adalah amalan yang terus menerus dilakukan (kontinu). Beliau
pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana
beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin
’Umar.” Yaitu Ibnu ’Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ
تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
“Wahai
‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat
malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”
Para salaf
pun mencontohkan dalam beramal agar bisa dikontinukan.
Al Qosim bin
Muhammad mengatakan bahwa ’Aisyah ketika melakukan suatu amalan, beliau selalu
berkeinginan keras untuk merutinkannya.
Al Hasan Al
Bashri mengatakan, ”Wahai kaum muslimin, rutinlah dalam beramal, rutinlah
dalam beramal. Ingatlah! Allah tidaklah menjadikan akhir dari seseorang beramal
selain kematiannya.”
Beliau
rahimahullah juga mengatakan, ”Jika syaithon melihatmu kontinu dalam melakukan
amalan ketaatan, dia pun akan menjauhimu. Namun jika syaithon melihatmu beramal
kemudian engkau meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja,
maka syaithon pun akan semakin tamak untuk menggodamu.
Maka dari
penjelasan ini menunjukkan dianjurkannya merutinkan amalan yang biasa
dilakukan, jangan sampai ditinggalkan begitu saja dan menunjukkan pula
dilarangnya memutuskan suatu amalan meskipun itu amalan yang hukumnya sunnah.
Hikmah
Mengapa Mesti Merutinkan Amalan
Pertama, melakukan amalan yang
sedikit namun kontinu akan membuat amalan tersebut langgeng, artinya akan terus
tetap ada.
An Nawawi
rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun rutin
dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja
dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan
melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan
keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang
Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit yang rutin dilakukan
akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan
yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”
Kedua, amalan yang kontinu akan
terus mendapat pahala. Berbeda dengan amalan yang dilakukan sesekali saja
–meskipun jumlahnya banyak-, maka ganjarannya akan terhenti pada waktu dia
beramal. Bayangkan jika amalan tersebut dilakukan terus menerus, maka pahalanya
akan terus ada walaupun amalan yang dilakukan sedikit.
Ibnu Rajab
Al Hambali mengatakan, ”Sesungguhnya seorang hamba hanyalah akan diberi balasan
sesuai amalan yang ia lakukan. Barangsiapa meninggalkan suatu amalan -bukan
karena udzur syar’i seperti sakit, bersafar, atau dalam keadaan lemah di usia
senja-, maka akan terputus darinya pahala dan ganjaran jika ia meninggalkan
amalan tersebut.” Namun perlu diketahui bahwa apabila seseorang
meninggalkan amalan sholih yang biasa dia rutinkan karena alasan sakit, sudah
tidak mampu lagi melakukannya, dalam keadaan bersafar atau udzur syar’i
lainnya, maka dia akan tetap memperoleh ganjarannya. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika
seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan
sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan
dalam keadaan sehat.”
Ketiga, amalan yang sedikit
tetapi kontinu akan mencegah masuknya virus ”futur” (jenuh untuk beramal). Jika
seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan
jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus),
maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu
ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun
jumlahnya sedikit. Kadang kita memang mengalami masa semangat dan kadang pula
futur (malas) beramal. Sehingga agar amalan kita terus menerus ada pada
masa-masa tersebut, maka dianjurkanlah kita beramal yang rutin walaupun itu
sedikit.
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda,
وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ ،
وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ، فَقَدِ
اهْتَدَى ، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ، فَقَدْ ضَلَّ
”Setiap
amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada
masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah
(petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk.
Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah
menyimpang.”
Apabila
seorang hamba berhenti dari amalan rutinnya, malaikat pun akan berhenti
membangunkan baginya bangunan di surga disebabkan amalan yang cuma sesaat.
Al Hasan Al
Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya bangunan di surga dibangun oleh para Malaikat
disebabkan amalan dzikir yang terus dilakukan. Apabila seorang hamba mengalami
rasa jenuh untuk berdzikir, maka malaikat pun akan berhenti dari pekerjaannya
tadi. Lantas malaikat pun mengatakan, ”Apa yang terjadi padamu, wahai fulan?”
Sebab malaikat bisa menghentikan pekerjaan mereka karena orang yang berdzikir
tadi mengalami kefuturan (kemalasan) dalam beramal.”
Oleh karena
itu, ingatlah perkataan Ibnu Rajab Al Hambali, ”Sesungguhnya Allah lebih mencintai
amalan yang dilakukan secara kontinu (terus menerus). Allah akan memberi
ganjaran pada amalan yang dilakukan secara kontinu berbeda halnya dengan orang
yang melakukan amalan sesekali saja.”
Apakah
Kontinuitas Perlu Ada dalam Setiap Amalan?
Syaikh Ibrahim
Ar Ruhailiy hafizhohullah mengatakan, ”Tidak semua amalan
mesti dilakukan secara rutin, perlu kiranya kita melihat pada ajaran dan
petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam hal ini.”
Untuk
mengetahui manakah amalan yang mesti dirutinkan, dapat kita lihat pada tiga
jenis amalan berikut.
Pertama, amalan yang bisa
dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian) dan ketika bersafar.
Contohnya
adalah puasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H), shalat sunnah
qobliyah shubuh (shalat sunnah fajar), shalat malam (tahajud), dan shalat
witir. Amalan-amalan seperti ini tidaklah ditinggalkan meskipun dalam keadaan
bersafar.
Ibnu ‘Abbas
mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu
berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H) baik dalam keadaan
mukim (tidak bersafar) maupun dalam keadaan bersafar.”
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan tidak
mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau
tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat
sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini
baik ketika bermukim dan ketika bersafar.”
Ibnul Qayyim
juga mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah meninggalkan qiyamul lail (shalat malam) baik ketika mukim maupun ketika
bersafar.”
Kedua, amalan yang dirutinkan
ketika mukim (tidak bepergian), bukan ketika safar.
Contohnya
adalah shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah qobliyah shubuh sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnul Qayyim pada perkataan yang telah lewat.
Ketiga, amalan yang kadang
dikerjakan pada suatu waktu dan kadang pula ditinggalkan.
Contohnya
adalah puasa selain hari Senin dan Kamis. Puasa pada selain dua hari tadi boleh
dilakukan kadang-kadang, misalnya saja berpuasa pada hari selasa atau rabu.
Initinya,
tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, itu semua melihat pada ajaran
dan petunjuk Nabishallallahu ’alaihi wa sallam.
Penutup
Ketika ajal
menjemput, barulah amalan seseorang berakhir.Al Hasan Al Bashri mengatakan,
”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan
seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
”Dan
sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al
Hijr: 99). Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al
yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu
yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalahsembahlah
Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut
adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.
Ibadah
seharusnya tidak ditinggalkan ketika dalam keadaan lapang karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى
الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ
“Kenalilah
Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.”
֎֎֎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^