Menurut para ulama, sabar adalah setengah keimanan. Yang setengah lagi adalah
syukur. Secara etimologi, sabar (ash shabr) berarti menahan (al habs). Dari
sini sabar dimaknai sebagai upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah.
Sabar adalah akhlak mulia yang paling banyak disebutkan dalam Al Qur’an. Lebih dari seratus kali Al Qur’an menyebutkan kata sabar. Itu artinya, sabar adalah sebuah keutamaan. Sabar adalah poros sekaligus asas segala macam kemuliaan akhlak.
Muhammad bin Abdul Aziz Al Khudhairi mengungkapkan bahwa saat kita menelusuri kebaikan serta keutamaan, kita akan menemukan bahwa sabar selalu menjadi asas dan landasannya. ‘Iffah (menjaga kesucian diri) misalnya, adalah bentuk kesabaran dalam menahan diri dari memperturutkan syahwat. Qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada) adalah sabar dengan menahan diri dari angan-angan dan keserakahan. Hilm (lemah-lembut) adalah kesabaran dalam menahan dan mengendalikan amarah. Pemaaf adalah sabar untuk tidak membalas kesalahan orang lain. Demikian pula akhlak-akhlak mulia lainnya, semuanya memiliki kaitan erat dengan kesabaran.
“Kedudukan sabar dalam agama bagaikan kepala bagi jasad.
Jika kepala putus, badan pun akan hancur”.
— Ali bin Abi Thalib —
Di sini saya kutipkan sebuah kisah kesabaran berlapis dari seorang ibu saat menghadapi salah satu kondisi tersulit dalam hidupnya. Ibu ini sangat sabar dalam berdoa, berikhtiar, dan menunggu pertolongan Allah. Kisah ini diceritakan seorang dokter, Dr. Abdullah namanya. Ia mengungkapkan pengalamannya:
“Seorang ibu berusia sekitar 40 tahunan datang kepada saya dengan menyeret langkah-langkah kakinya, ia menggendong anaknya yang tengah sakit parah. Ia memeluk anaknya yang masih kecil ke dadanya, seakan-akan anak tersebut adalah potongan tubuhnya. Kondisi anak itu memprihatinkan, terdengar satu dua tarikan nafas dari dadanya.
‘Berapa umurnya?’
Ia menjawab, ‘Dua setengah tahun.’
Saya dan tim dokter melakukan pemeriksaan kepada anak itu, ternyata pembuluh-pembuluh darah di livernya mengalami masalah serius. Kami pun segera melakukan tindakan operasi kepadanya. Alhamdulillah, dengan penanganan yang cepat dan tepat operasi pun berhasil dilakukan dengan baik. Dua hari setelah operasi, anak itu sudah sehat kembali. Ibunya pun tampak gembira.
Ia bertanya kepada saya, ‘Kapan anak saya boleh pulang Dok?’
Ketika saya hendak menulis surat keterangan pulang, tiba-tiba anak kecil itu mengalami pendarahan hebat di tenggorokannya, sehingga jantungnya berhenti berdetak selama 45 menit. Kesadarannya langsung hilang. Tim dokter langsung berkumpul di ruangannya untuk memberikan pertolongan. Beberapa jam telah berlalu, tetapi kami tidak sanggup membuatnya tersadar.
Salah seorang anggota tim dokter segera mendatangi ibu itu dan berkata kepadanya, ‘Kemungkinan anak Anda mengalami kematian otak (koma) dan saya mengira bahwa ia tidak memiliki harapan untuk hidup.’ Saya menoleh kepada teman saya itu dan memperingatkannya agar tidak mengatakan sesuatu yang melemahkan semangat dan belum tentu terjadi.
Lalu saya melihat kepada si ibu, demi Allah, perkataan teman saya itu tidak menambah selain ia mengucapkan, ‘Penyembuh adalah Allah, Pemberi kesehatan adalah Allah.’
Ia pun berkata, ‘Saya hanya memohon kepada Allah jika ada kebaikan pada kesembuhan anak saya, semoga Allah menyembuhkan ia.’ Setelah itu ia diam dan berjalan menuju sebuah kursi kecil, lalu duduk. Kemudian ia mengambil mushaf kecilnya yang berwarna hijau dan membacanya.
Para dokter pun keluar, saya juga keluar bersama mereka. Saya berjalan melewati anak itu, kondisinya belum berubah, sesosok tubuh yang terbujur kaku laksana mayat di atas tempat tidur putih. Lalu saya menoleh kepada ibunya, keadaannya juga masih tetap seperti sebelumnya. Ia asyik membaca Al Qur’an. Sepertinya, wanita ini tak bosan-bosannya membaca Al Qur’an. Satu hari ia membacakan Al Qur’an kepada anaknya; satu hari membacanya dan satu hari setelahnya mendoakannya. Beberapa hari kemudian, salah seorang perawat memberitahu saya bahwa anak itu sudah mulai bergerak, saya langsung memuji Allah.
Saya berkata kepada si ibu, ‘Saya sampaikan kabar gembira kepada Anda bahwa keadaan si kecil mulai membaik.’ Ia hanya mengucapkan satu ucapan sambil menahan air matanya, ‘Alhamdulillah, Alhamdulillah.’
Dua puluh empat jam kemudian kami dikejutkan dengan kondisi si anak, ia kembali mengalami pendarahan hebat seperti pendarahan sebelumnya, dan jantungnya berhenti berdetak untuk kedua kalinya. Tubuhnya yang kecil terlihat lelah, gerakannya telah hilang. Salah seorang dokter masuk untuk melihat kondisinya secara langsung, lalu saya mendengarnya berucap, ‘Mati otak.’ Sang ibu terus menerus mengulang-ulang, ‘Alhamdulillah, atas setiap keadaan, penyembuh adalah Allah.’
Ajaibnya, beberapa hari kemudian anak itu sembuh kembali. Namun, baru berlalu beberapa jam, ia kembali mengalami pendarahan di dalam livernya, lalu gerakannya berhenti. Beberapa hari kemudian ia sadar lagi, lalu kembali mengalami pendarahan baru, kondisinya aneh, saya tidak pernah melihat kondisi seperti itu selama hidup saya, pendarahannya berulang-ulang hingga enam kali, sedangkan dari lisan ibunya hanya keluar ucapan, ‘Segala puji bagi Allah, Penyembuh adalah Rabb-ku, Dia-lah Penyembuh.’
Setelah beberapa kali pemeriksaan dan pengobatan, para dokter spesialis batang tenggorokan berhasil mengatasi pendarahan, anak itu mulai bergerak-gerak lagi. Tiba-tiba, ia kembali diuji dengan bisul besar (tumor) dan radang otak.
Saya sendiri yang memeriksa keadaannya. Saya berkata kepada ibunya, ’Keadaan anak Anda mengenaskan sekali dan kondisinya berbahaya.’ la tetap mengulang-ulang ucapannya, ‘Penyembuh adalah Allah’. la pun mulai membacakan kembali Al Qur’an kepada buah hatinya itu. Setelah dua minggu berlalu, tumor itu tetap ada. Dua hari kemudian, kondisi anak itu mulai membaik. Kami pun sangat bersyukur dan memuji Allah karenanya.
Ibu itu yang telah sekian lama menunggu di rumah sakit, mulai bersiap-siap untuk pulang. Namun satu hari kemudian, tiba-tiba anak tersebut mengalami radang ginjal parah yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronis dan hampir menyebabkan kematiannya.
Hari-hari berlalu, tim dokter terus berusaha memeriksa dan mengobati anak itu secara maraton hingga tiga bulan lamanya. Alhamdulillah, melalui perjuangan panjang, kondisinya pun membaik, segala puji hanya bagi Allah.
Akan tetapi, kisah ini belum berhenti sampai di sini saja, si anak kembali diserang penyakit aneh yang belum pernah saya kenal selama hidup. Setelah empat bulan, ia terserang radang pada selaput kristal yang mengitari jantung, sehingga memaksa kita untuk membuka sangkar dadanya dan membiarkannya terbuka untuk mengeluarkan nanah.
Ibunya hanya melihat kepadanya sambil berucap, ‘Saya memohon kepada Allah agar menyembuhkannya, Dia adalah penyembuh dan pemberi kesehatan.’ Lalu, ia kembali ke kursinya dan membuka mushafnya.
Terkadang saya melihat kepada ibu tersebut, sementara mushaf ada di depannya, ia tidak menoleh ke sekelilingnya. Kemudian saya masuk ke ruang refreshing, saya pun melihat banyak pasien dengan berbagai penyakit dan para penunggu mereka. Tampak sebagian dari pasien-pasien tersebut berteriak-teriak dan yang lainya mengaduh-aduh, sedangkan para penunggunya menangis, dan sebagian dari mereka berjalan dengan wajah gelisah di belakang para dokter.
Ibu ini benar-benar berbeda. Ia tetap berada di atas kursinya memegang mushaf Al Qur’an dengan tenang. Ia tidak berpaling kepada orang yang berteriak dan tidak berdiri menghampiri dokter serta tidak berbicara dengan seorang pun.
Saya merasa bahwa ia adalah gunung, setelah berada selama enam bulan di ruang refreshing. Saya berjalan melewati anaknya, saya melihat matanya terpejam, tidak berbicara dan tidak bergerak, dadanya terbuka. Kami mengira bahwa ini merupakan akhir kehidupannya, sedangkan sang ibu tetap dalam keadaannya, membaca Al Qur’an.
Seorang penyabar yang tidak mengeluh dan tidak mengaduh. Demi Allah, ia tidak mengajak saya bicara dengan sepatah kata pun dan tidak pula bertanya kepada saya tentang kondisi anaknya. Ia hanya berbicara setelah saya mulai mengajaknya bicara tentang anaknya tersebut.
Adapun usia suaminya sudah lebih dari empat puluh tahun. Terkadang suaminya menemui saya di dekat anaknya, ketika ia menoleh kepada saya untuk bertanya, istrinya menarik tangannya dan menenangkannya serta mengangkat semangatnya dan mengingatkannya bahwa sang Penyembuh adalah Allah.
Setelah berlalu dua bulan, keadaan anak tersebut sudah membaik, lalu kami memindahkannya ke ruangan khusus anak-anak di rumah sakit, kondisinya sudah mengalami banyak kemajuan.
Keluarganya pun mulai membiasakan kepadanya berbagai jenis terapi dan pelatihan. Setelah itu, anak tersebut pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki, ia melihat dan berbicara seakan-akan ia tidak pernah tertimpa sesuatu sebelumnya.
Maaf, kisah menakjubkan ini belum selesai, karena satu setengah tahun kemudian, ketika berada di ruang kerja saya, tiba-tiba suami wanita itu masuk menemui saya, sedangkan di belakangnya istrinya menyusulnya sambil menggendong bayi kecil yang sehat. Ternyata si anak kecil itu sedang diperiksakan secara rutin di rumah sakit tersebut, mereka datang kepada saya untuk menyampaikan salam.
Saya bertanya kepada si suami, ‘Masya Allah, apakah bayi kecil ini adalah anak yang keenam atau ketujuh di dalam keluarga Anda?’ Ia menjawab, ‘Ini yang kedua, dan anak pertama kami adalah anak yang Anda obati setahun yang lalu. Ia merupakan anak pertama kami yang lahir setelah tujuh belas tahun kami menikah dan sembuh dari kemandulan.’
Saya menundukkan kepala, dan langsung teringat dengan gambaran ibunya ketika sedang menunggui anaknya. Saya tidak mendengar suara yang keluar darinya dan tidak melihat tanda kegelisahan pada dirinya.
Saya mengucap di dalam hati, ‘Subhanallah.’ Setelah tujuh belas tahun bersabar dan mencoba berbagai terapi kemandulan, lalu diberi rezeki dengan seorang anak laki-laki yang dilihatnya mati berkali-kali di hadapannya. Akan tetapi, wanita tersebut hanya berpegang teguh pada kalimat ‘Lâilâha illallâh’ dan keyakinan bahwa Allah adalah Zat Penyembuh dan Pemberi kesehatan. Subhanallah! Betapa besar tawakkal dan keimanan yang dimiliki wanita itu.”
“Saat terjadi penundaan ijabahnya doa, saat itulah iman dimurnikan dan akan menjadi jelas beda antara Mukmin sejati dengan selainnya. Seorang Mukmin pada saat ijabahnya tertunda, hatinya tidak akan berubah dalam menghadap Rabb-nya,
justru ibadahnya kepada Allah Azza wa Jalla akan semakin bertambah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^