Meski kita
jauh di Indonesia, bahkan jauh di Amerika, shalawat kita akan sampai pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidak perlu
seseorang repot-repot bersafar hanya maksud ke kubur Nabi, bukan ke masjid
Nabawi sebagai maksud utama. Begitu pula tidak perlu titip salam kita
untuk Nabi pada teman kita yang berada di Madinah karena jika kita bershalawat
sendiri dari tempat yang jauh sekali pun akan sampai.
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ
قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِى عِيدًا وَصَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ
تَبْلُغُنِى حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah
jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur sebagai ‘ied,
sampaikanlah shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di
mana saja kalian berada.” (HR. Abu Daud no. 2042 dan Ahmad 2: 367. Hadits
ini shahih dilihat dari berbagai jalan penguat, sebagaimana
komentar Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth dalam catatan kaki Kitab Tauhid, hal.
89-90).
Walau di
Andalus Sekalipun, Shalawat Tetap Sampai
Mengenai
hadits tentang sampainya shalawat pada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
disebutkan oleh Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
فَأَخْبَرَ أَنَّهُ يَسْمَعُ
الصَّلَاةَ وَالسَّلَامَ مِنْ الْقَرِيبِ وَأَنَّهُ يَبْلُغُهُ ذَلِكَ مِنْ
الْبَعِيدِ
“Hadits
tersebut mengabarkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
mendengar shalawat dan salam dari dekat, begitu pula yang jauh sekali pun.”
(Majmu’ Al Fatawa, 26: 147)
Di tempat
lain dalam Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah berkata,
. فَالصَّلَاةُ تَصِلُ إلَيْهِ مِنْ
الْبَعِيدِ كَمَا تَصِلُ إلَيْهِ مِنْ الْقَرِيبِ
“Shalawat
akan sampai kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- walau dari jauh sekali
pun sebagaimana yang dari dekat pun sampai.” (Majmu’ Al Fatawa, 27: 322)
Ibnu
Taimiyah rahimahullah juga mengatakan,
فَمَا أَنْتَ وَرَجُلٌ
بِالْأَنْدَلُسِ مِنْهُ إلَّا سَوَاءٌ
“Engkau dan
orang yang berada di Andalus (di masa silam: Spanyol) itu sama (dalam sampainya
shalawat).” (Majmu’ Al Fatawa, 1: 238)
Larangan
Menjadikan Kubur Sebagai ‘Ied
Ibnu
Taimiyah berkata bahwa hadits tersebut mengisyaratkan bahwa shalawat dan salam
bisa sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dekat
maupun jauh, sehingga tidak perlu menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied.
Demikian dinukil dari Fathul Majid (hal. 269).
Tidak perlu
dijadikan sebagai ‘ied yang dimaksud adalah terlarang mengulang-ulang ziarah
kubur ke sana. Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata,
نهيه عن الإكثار من الزيارة
“Hadits
tersebut menunjukkan terlarangnya memperbanyak ziarah ke kubur beliau.” (Kitab
Tauhid, hal. 91)
Di halaman
yang sama, Syaikh Muhammad At Tamimi menyampaikan faedah dari hadits yang kita
kaji,
نهيه عن زيارة قبره على وجه
مخصوص ، ومع أن زيارته من أفضل الأعمال
“Hadits ini
juga menerangkan bahwa terlarang berziarah kubur dengan tata cara khusus ke
kubur nabi, walaupun ziarah ke kubur beliau adalah amalan yang utama.”
Juga yang
dimaksudkan menjadikan kubur sebagai ‘ied -sebagaimana telah diterangkan
sebelumnya- adalah tidak boleh kubur Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dijadikan sebagai tempat ibadah pada waktu tertentu. Jika kubur nabi saja tidak
boleh demikian, maka kubur lainnya seperti kubur wali, habib, kyai, atau Gus,
juga sama. Sehingga hal ini menjelaskan pula kelirunya ritual haul pada kubur
para wali untuk mengenang setahun kematian mereka.
Bagaimana
Nabi Membalas Salam?
Mengenai
bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas salam
untuknya, telah disebutkan dalam kitab sunan,
مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ
عَلَىَّ إِلاَّ رَدَّ اللَّهُ عَلَىَّ رُوحِى حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ
“Tidaklah
seseorang menyampaikan salam untukku, melainkan Allah akan mengembalikan ruhku
hingga aku membalas salam tersebut untuknya.”(HR. Abu Daud no. 2041. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits inihasan)
Larangan
Safar dengan Maksud Utama Ziarah Kubur Nabi
Jika
dikatakan bahwa shalawat dari tempat yang jauh pun sampai, maka ini menunjukkan
bahwa tidak perlu seseorang repot-repot bersafar dengan maksud untuk ziarah
kubur, bukan masjid Nabawi yang jadi tujuan utama. Karena jika bersengaja safar
hanya untuk ziarah ke kubur nabi, ini jelas terlarang dalam hadits Nabi
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ
إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ – صلى
الله عليه وسلم – وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Tidaklah
pelana itu diikat –yaitu tidak boleh bersengaja melakukan perjalanan (dalam
rangka ibadah ke suatu tempat)- kecuali ke tiga masjid: masjidil haram, masjid
Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan masjidil aqsho” (HR. Bukhari 1189
dan Muslim no. 1397). Jadi safar yang dibolehkan dengan maksud ibadah adalah
jika masjid Nabawi yang jadi tujuan, bukan kubur nabi secara khusus. Jika
setelah shalat di masjid, lalu ke kubur Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
maka tidaklah masalah, asal tidak keseringan sebagaimana keterangan di atas.
֎֎֎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^