Jika Tidak Memperoleh Sesuai yang Diinginkan,
Janganlah Katakan: “Seandainya Aku Lakukan Demikian dan Demikian, pasti …” Lalu
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika engkau tertimpa suatu
musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan
demikian.’” Maksudnya di sini adalah setelah engkau semangat dan giat
melakukan sesuatu, juga engkau tidak lupa meminta pertolongan pada Allah, serta
engkau terus melakukan amalan tersebut hingga usai, namun ternyata hasil yang
dicapai di luar keinginan, maka janganlah engkau katakan: “Seandainya aku
melakukan demikian dan demikian”. Karena mengenai hasil adalah di luar
kemampuanmu. Kamu memang sudah melaksanakan sesuatu prosedur yang
diperintahkan, namun Allah pasti tidak terkalahkan dalam setiap putusan-Nya.
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan
Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21)
Misalnya: Seseorang ingin melakukan perjalanan jauh dalam
rangka mengunjungi saudaranya. Namun di tengah jalan mobil yang dia gunakan
rusak. Akhirnya dia pun kembali, lalu berkata: Seandainya aku tadi menggunakan
mobil lain tentu tidak akan seperti ini. Kami katakan: Janganlah engkau katakan
demikian. Engkau memang sudah giat melakukan amalan tersebut. Seandainya Allah
menghendakimu sampai ke tempat tujuan, itu pun karena takdir-Nya. Akan tetapi
saat ini, Allah tidak menghendakinya.
Kenapa Tidak Boleh Mengatakan “Seandainya Aku
Melakukan Demikian dan Demikian, pasti …”? Jika seseorang telah
mencurahkan seluruh usaha untuk melakukan suatu amalan, namun hasil yang
diperoleh tidak sesuai keinginan, maka pada saat ini hendaklah ia menyandarkan
segala urusannya pada Allah karena hanya Dia-lah yang menakdirkan segalanya.
Oleh karena itu, maksud hadits ini adalah: “Jika engkau telah mencurahkan
seluruh usahamu, juga tidak lupa meminta pertolongan pada Allah, lalu hasilnya
tidak tercapai, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku melakukan
demikian, maka nanti akan demikian dan demikian’.” Ketetapan mengenai hal ini
telah ada, tidak mungkin hal tersebut dirubah kembali. Urusan tersebut telah
ditetapkan di Lauh Al Mahfuzh sebelum penciptaan langit dan bumi 50.000 tahun
yang lalu. Apa hikmah tidak boleh mengatakan ‘Seandainya aku melakukan
demikian, maka pasti akan demikian dan demikian’? Hal ini diterangkan dalam
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya, “Karena perkataan law
(seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” Maksudnya apa? Yaitu perkataan law
(seandainya) dalam keadaan seperti ini akan membuka rasa was-was,
sedih, timbul penyesalan, dan kegelisahan. Akibatnya karena rasa sedih
semacam ini, engkau pun mengatakan, “Seandainya aku melakukan demikian, maka
pasti akan demikian dan demikian”.
Apakah Semua Perkataan Seandainya Terlarang? Kata
‘law (seandainya atau andaikata)’ biasa digunakan dalam beberapa keadaan dengan
hukum yang berbeda-beda. Berikut rinciannya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Qoulul Mufid (2/220-221), juga oleh
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Bahjatul Qulub (hal. 28) dan ada
beberapa contoh dari kami.
Pertama: Apabila ucapan ‘seandainya’
digunakan untuk memprotes syari’at, dalam hal ini hukumnya haram.
Contohnya adalah perkataan: “Seandainya judi itu halal, tentu kami sudah untung
besar setiap harinya.”
Kedua: Apabila ucapan ‘seandainya’
digunakan untuk menentang takdir, maka hal ini juga hukumnya haram.
Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak demam, tentu saya tidak akan
kehilangan kesempatan yang bagus ini.”
Ketiga: Apabila ucapan ‘seandainya’
digunakan untuk penyesalan, ini juga hukumnya haram.
Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak ketiduran, tentu saya tidak akan
ketinggalan pesawat tersebut.”
Keempat: Apabila ucapan ‘seandainya’
digunakan untuk menjadikan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat,
maka hukumnya haram. Seperti perkataan orang-orang musyrik:
وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ “Dan
mereka berkata: Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki ,
tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” (QS. Az Zukhruf: 20)
Kelima: Apabila ucapan ‘seandainya’
digunakan untuk berangan-angan, ini dihukumi sesuai dengan
yang diangan-angankan karena terdapat kaedah bahwa hukum sarana sama
dengan hukum tujuan. Jadi, apabila yang diangan-angankan adalah sesuatu yang
jelek dan maksiat, maka kata andaikata dalam hal ini menjadi tercela dan
pelakunya terkena dosa, walaupun dia tidak melakukan maksiat. Misalnya:
“Seandainya saya kaya seperti si fulan, tentu setiap hari saya bisa berzina
dengan gadis-gadis cantik dan elok.” Namun, apabila yang dianggan-angankan
adalah hal yang baik-baik atau dalam hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang
bermanfaat). Misalnya: “Seandainya saya punya banyak kitab, tentu saya akan
lebih paham masalah agama”. Atau kalimat lain: “Seandainya saya punya banyak
harta seperti si fulan, tentu saya akan memanfaatkan harta tersebut untuk
banyak berderma.”
Keenam: Apabila ucapan ‘seandainya’
digunakan hanya sekedar pemberitaan, maka ini hukumnya boleh. Contoh:
“Seandainya engkau kemarin menghadiri pengajian, tentu engkau akan banyak paham
mengenai jual beli yang terlarang.” Haruslah Engkau Yakin, Semua Ini
Adalah Takdir Allah Setelah kita berusaha melakukan yang bermanfaat,
lalu tidak lupa memohon pertolongan pada Allah dan kita tidak mendapatkan
sesuatu yang diinginkan, janganlah sampai lisan ini mengatakan: “Seandainya aku
melakukan demikian dan demikian, …” Oleh karena itu, Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini
sudah jadi takdir Allah”. Maksudnya adalah ini semua sudah menjadi takdir dan
ketetapan-Nya. Apa saja yang Allah kehendaki, pasti Dia laksanakan. إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.”(QS.
Huud: 107)
Tidak ada seorang pun yang berada di bawah kekuasaan-Nya
mencegah kehendak-Nya. Jika Dia menghendaki sesuatu, pasti terjadi. Akan
tetapi, wajib engkau tahu bahwa Allah subhnahu wa ta’ala tidak melainkan
sesuatu melainkan ada hikmah di balik itu yang tidak kita ketahui atau
pun sebenarnya kita tahu. Yang menjelaskan hal ini adalah firman Allah
Ta’ala,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا “Dan
kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al Insan: 30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kehendak Allah berkaitan dengan
hikmah dan ilmu. Betapa banyak perkara yang terjadi pada seseorang, namun di balik
itu ada akhir yang baik. Sebagaimana pula Allah Ta’ala berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ “Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 216)
Banyak cerita mengenai hal ini. Ada sebuah kejadian kecelakaan
pesawat terbang di Saudi Arabia yaitu penerbangan Riyadh-Jeddah. Penumpang yang
akan menaiki pesawat terbang tersebut adalah lebih dari 300 penumpang. Salah
satu pria yang akan menaiki pesawat tersebut pada saat itu sedang menunggu di
ruang keberangkatan, namun ketika itu dia tertidur. Kemudian diumumkan bahwa
pesawat sebentar lagi akan berangkat. Ketika pria yang tertidur itu terbangun,
ternyata pintu pesawat telah tertutup kemudian pesawat pun lepas landas.
Akhirnya, pria tadi sangat sedih karena ketinggalan pesawat. Kenapa dia bisa
ketinggalan pesawat? Namun, Allah memiliki ketetapan yaitu di tengah perjalanan
ternyata pesawat tersebut mengalami kecelakaan. Subhanallah, laki-laki tersebut
ternyat yang selamat. Awalnya dia sedih dan tidak suka karena ketinggalan
pesawat. Namun ternyata hal itu baik baginya.
Oleh karena itu –saudaraku-, jika engkau telah mencurahkan
seluruh usaha dan engkau meminta pertolongan pada Allah, namun hasil yang
dicapai tidak seperti yang engkau inginkan, janganlah engkau merasa sedih hati.
Janganlah engkau mengatakan, “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian,
pasti akan …”. Jika engkau mengatakan seperti ini, maka akan terbukalah pintu
setan. Engkau pun akan merasa was-was, gelisah, sedih, dan tidak bahagia. Yang
sudah terjadi memang sudah terjadi. Tugasmu hanyalah memasrahkan semua urusanmu
pada Allah ‘azza wa jalla. Oleh karena itu, katakanlah, “Apa yang Allah
kehendaki, pasti terlaksana”. Mengambil Sebab Bukan Berarti Tidak
Tawakkal Hadits ini juga menunjukkan beriman kepada takdir dan
ketetapan Allah, di samping itu kita harus melakukan usaha (sebab). Dua hal
inilah yang merupakan kaedah pokok yang ditunjukkan dalam dalil yang amat
banyak dalam Al Kitab dan As Sunnah. Keadaan agama seseorang tidaklah sempurna
melainkan dengan meyakini takdir dan melakukan usaha. Segala macam perkara pun
tidak akan sempurna melainkan dengan dua hal ini. Karena maksud sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat
bagimu, …”, ini maksudnya adalah perintah untuk melakukan usaha baik dalam
urusan dunia maupun agama. Dalil yang lain yang menunjukkan hal ini adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Dari Umar bin Al Khoththob
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
”Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut
pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan
kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al
Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310)
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al
Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:
Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan
melakukan usaha untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang
memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi hari
untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-:
Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan
segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan
berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki
tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian
kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar
pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah
ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.” (Darul
Falihin, 1/335)
Al Munawi juga mengatakan,
”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan
kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah
yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan
bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan
berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja
mendapatkan rizki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk
mencari rizki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya
hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan,”Aku tidak mengerjakan
apa-apa sehingga rizkiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan,”Orang
ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Allah
menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam
hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu
sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari,
23/68-69)
Tak Pernah Usai Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al Utsaimin mengatakan, “Seandainya, kalau kita menelusuri terus
kandungan hadits ini, niscaya kita akan dapati faedah yang amat banyak. Namun
itulah manusia, terkadang mereka melanggar wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sangat berharga ini.
Pertama, sebagian kita kurang
bersemangat melakukan hal yang bermanfaat baginya, malah semangat jika
melakukan hal yang berbahaya atau hal yang tidak ada bahaya dan manfaat. Siang
dan malam hanya dia lewati dengan sia-sia, tanpa faedah, dan sirna begitu saja.
Kedua, jika dia memang melakukan hal
yang bermanfaat, lalu dia tidak memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkan,
akhirnya dia akan menyesal. Perlahan-lahan keluar dari lisannya, “Seandainya
saya melakukan ini dan ini, pasti akan …”. Sikap semacam ini tidaklah tepat.
Selama seseorang sudah berusaha melakukan yang bermanfaat baginya dan tidak
lupa meminta kemudahan dari Allah untuk menyelesaikan urusan tersebut, maka
serahkanlah semuanya pada Allah.”
֎֎֎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^