Sebagian
orang ada yang memajang foto tokoh spiritual atau tokoh agama (Kyai, Tengku,
Ustadz) dengan tujuan sekedar dipajang, atau dikenang, ada tujuan lainnya untuk
ngalap berkah, bahkan untuk pesugihan (cepat kaya). Bahkan bukan hanya tokoh
spiritual, tokoh ghaib pun dipajang seperti foto Nyi Roro Kidul.
Hukum
Memajang Foto
Adapun
secara hukum memajang foto tokoh spiritual semacam itu terlarang berdasarkan
banyak hadits.
Dalam
hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ
تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ
“Para
malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu
gambar makhluk hidup bernyawa)” (HR. Bukhari 3224 dan Muslim no. 2106)
Dalam hadits
Jabir radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
نَهَى رسول الله صلى الله عليه
وسلم عَنِ الصُّوَرِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ
“Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam melarang adanya gambar di dalam rumah dan beliau
melarang untuk membuat gambar.” (HR. Tirmizi no. 1749 dan beliau berkata
bahwa hadits ini hasan shahih)
Dalam hadits
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً
إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرَفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Jangan
kamu membiarkan ada gambar kecuali kamu hapus dan tidak pula kubur yang
ditinggikan kecuali engkau meratakannya.” (HR. Muslim no. 969)
Dalam
riwayat An Nasai,
وَلَا صُورَةً فِي بَيْتٍ إِلَّا
طَمَسْتَهَا
“Dan
tidak pula gambar di dalam rumah kecuali kamu hapus.” (HR. An Nasai no.
2031. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي الْبَيْتِ يَعْنِي
الْكَعْبَةَ لَمْ يَدْخُلْ وَأَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ وَرَأَى إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ عَلَيْهِمَا السَّلَام بِأَيْدِيهِمَا الْأَزْلَامُ فَقَالَ
قَاتَلَهُمْ اللَّهُ وَاللَّهِ مَا اسْتَقْسَمَا بِالْأَزْلَامِ قَطُّ
“Bahwa
tatkala Nabi melihat gambar di (dinding) Ka’bah, beliau tidak masuk ke dalamnya
dan beliau memerintahkan agar semua gambar itu dihapus. Beliau melihat gambar
Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas ssalam tengah memegang anak panah (untuk
mengundi nasib), maka beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka, demi
Allah keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sekalipun.“
(HR. Ahmad 1: 365. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih
sesuai syarat Bukhari dan periwayatnya tsiqoh, termasuk perowi Bukhari Muslim
selain ‘Ikrimah yang hanya menjadi periwayat Bukhari)
Jika
Dianggap Bawa Berkah
Kalau
tujuannya untuk meraih berkah, maka seperti itu adalah cara yang keliru karena
tidak diajarkan dalam Islam. Karena sebagian memajang foto tokoh spiritual biar
rumahnya terjaga, biar terus maju usahanya dan kebaikan lainnya yang ingin
diraih. Seperti ini masuk dalam hukum memasang jimat. Memajang seperti itu
termasuk kesyirikan.
Dari ‘Uqbah
bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً
فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa
yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan
menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang
(untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah tidak
akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).
Dalam
riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ
أَشْرَكَ
“Barangsiapa
yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR.
Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy
atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana
dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).
Hukum
Memajang Foto Tokoh Spiritual
Semakin
keras larangan memajang foto jika yang dipasang adalah foto tokoh spiritual
atau agama. Karena sebab peribadahan pada orang shalih adalah bermula dari
gambar. Gambar yang dipajang tersebut akhirnya diagungkan dan terjadilah
kesyirikan di masa silam.
Dari
‘Aisyah, ia berkata bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan tentang
gereja yang mereka lihat di negeri Habasyah. Di dalamnya terdapat
gambar-gambar. Mereka menceritakan hal itu kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda,
إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ
فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ،
وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ
اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya
mereka itu apabila di antara mereka terdapat orang yang shalih yang meninggal
dunia, maka mereka pun membangun di atas kuburnya masjid (tempat ibadah) dan
mereka memasang di dalamnya gambar-gambar untuk mengenang orang-orang shalih
tersebut. Mereka itu adalah makhluk yang paling buruk di sisi Allah pada hari
kiamat kelak” (HR. Bukhari no. 427 dan Muslim no. 528).
Begitu pula
kita dapat mengambil pelajaran dari firman Allah Ta’ala,
وَقَالُوا
لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ
وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan
mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan
kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan
jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr” (QS. Nuh: 23).
Disebutkan
dalam Shahih Al Bukhari,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى
الله عنهما – صَارَتِ الأَوْثَانُ الَّتِى كَانَتْ فِى قَوْمِ نُوحٍ فِى الْعَرَبِ
بَعْدُ ، أَمَّا وُدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ ، وَأَمَّا
سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ ، وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِى
غُطَيْفٍ بِالْجُرُفِ عِنْدَ سَبَا ، وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ ،
وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ ، لآلِ ذِى الْكَلاَعِ . أَسْمَاءُ رِجَالٍ
صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ ، فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى
قَوْمِهِمْ أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِى كَانُوا يَجْلِسُونَ
أَنْصَابًا ، وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى
إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ
Dari Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Patung-patung yang
ada di kaum Nuh menjadi sesembahan orang Arab setelah itu. (Patung) Wadd
menjadi sesembahan bagi Bani Kalb di Dumatul-Jandal, (patung) Suwaa’ bagi Bani
Hudzail, (patung) Yaghuuts bagi Bani Murad dan Bani Ghuthaif di Al-Jauf sebelah
Saba’, Ya’uuq bagi Bani Hamdaan, dan Nasr bagi Bani Himyar dan kemudian bagi
keluarga Dzul-Kalaa’. Mereka adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nuh.
Ketika mereka meninggal, maka syaithan membisikkan kepada kaum mereka (yaitu
kaum Nuh) agar meletakkan patung-patung mereka dalam majelis-majelis dimana
kaum Nuh biasa mengadakan pertemuan, sekaligus memberi nama patung-patung
tersebut dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukannya. Patung tersebut
tidaklah disembah pada waktu itu. Akhirnya setelah generasi pertama mereka
meninggal dan ilmu telah dilupakan, maka patung-patung tersebut akhirnya
disembah” (Diriwayatkan oleh Bukhari no. 4920).
Jadi
intinya bermula dari membuat gambar atau patung, lalu dipajang, lantas beralih
pada pengagungan dan menyembahnya. Intinya, perbuatan seperti itu adalah jalan
menuju kesyirikan sehingga mesti dilarang.
֎֎֎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^