“Tujuh
puluh ribu orang dari umatku akan masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah
orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak beranggapan sial dan mereka selalu
bertawakkal pada Rabbnya.”
Hadits ini
disebutkan oleh Syaikh Muhammad At Tamimi dalam Kitab Tauhid ketika membahas
keutamaan menyempurnakan tauhid akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa.
Yang
dimaksud menyempurnakan tauhid (tahqiq tauhid) adalah dengan meninggalkan kesyirikan
baik syirik besar dan syirik kecil, meninggalkan perbuatan bid’ah, dan
meninggalkan maksiat. (Lihat At Tamhid li Syarh Kitabit
Tauhid, hal. 56).
Syaikh
Sulaiman At Tamimi menjelaskan bahwa yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah
tidak ada di hati seseorang sesuatu selain Allah, tidak ada keinginan pada apa
yang Allah haramkan, selalu patuh pada perintah Allah. Itulah bukti dari
merealisasikan kalimat laa ilaha illallah. (Lihat Taisir Al
‘Azizil Hamid, 1: 253).
Baik kita
sekarang lihat hadits panjang yang dimaksud. Hushain bin ‘Abdurrahman -rahimahullah-
berkata,
كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا ثُمَّ قُلْتُ أَمَا إِنِّي لَمْ أَكُنْ فِي صَلَاةٍ وَلَكِنِّي لُدِغْتُ قَالَ فَمَاذَا صَنَعْتَ قُلْتُ اسْتَرْقَيْتُ قَالَ فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قُلْتُ حَدِيثٌ حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِيُّ فَقَالَ وَمَا حَدَّثَكُمْ الشَّعْبِيُّ قُلْتُ حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ حُصَيْبٍ الْأَسْلَمِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَا رُقْيَةَ إِلَّا مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ فَقَالَ قَدْ أَحْسَنَ مَنْ انْتَهَى إِلَى مَا سَمِعَ وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي فَقِيلَ لِي هَذَا مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي الْإِسْلَامِ وَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللَّهِ وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَخُوضُونَ فِيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمْ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ
“Saya pernah
bersama Sa’id bin Jubair lalu dia berkata, ‘Siapa di antara kalian yang melihat
bintang jatuh semalam?‘ Aku menjawab, ‘Aku’. Kemudian aku berkata, ‘Tapi aku
tidak sedang mengerjakan shalat. Aku terbangun karena aku disengat (binatang).’
Sa’id lalu berkata, “Lantas apa yang kamu perbuat?‘ Aku menjawab, ‘Aku meminta
untuk diruqyah.’ Sa’id bertanya, ‘Apa yang alasanmu sampai meminta diruqyah? ‘
Aku menjawab, ‘Sebuah hadits yang Asy Sya’bi ceritakan kepadaku.’ Sa’id
bertanya lagi, ‘Apa yang diceritakan Asy Sya’bi kepada kalian.’ Aku menjawab,
‘Dia telah menceritakan kepada kami dari Buraidah bin Hushaib Al Aslami, bahwa
dia berkata, “Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan oleh penyakit ‘ain dan
racun (sengatan binatang berbisa).” Maka Sa’id pun menjawab, “Sungguh
sangat baik orang melaksanakan dalil yang telah ia dengar.” Hanya saja Ibnu
Abbas telah menceritakan kepada kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda,
“Telah
ditampakkan padaku semua umat. Aku melihat seorang nabi yang hanya memiliki
beberapa pengikut (3 sampai 9 orang). Ada juga nabi hanya memiliki satu atau
dua orang pengikut saja. Bahkan ada nabi yang tidak memiliki pengikut sama
sekali. Tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sekumpulan orang, maka aku menyangka
bahwa mereka adalah umatku. Ada yang berkata padaku, ‘Mereka adalah Nabi
Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya. Tetapi lihatlah ke ufuk.’
Lalu aku pun memandang, ternyata ada kumpulan kaum yang besar yang berwarna
hitam (yakni saking banyaknya orang kelihatan dari jauh). Lalu dikatakan lagi
kepadaku, ‘Lihatlah ke ufuk yang lain.’ Ternyata di sana juga terdapat kumpulan
kaum yang besar yang berwarna hitam. Dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah umatmu
dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang akan memasuki surga tanpa
dihisab dan disiksa‘.”
Setelah menceritakan
itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bangkit
lalu masuk ke dalam rumahnya. Orang-orang lalu memperbincangkan mengenai mereka
yang akan dimasukkan ke dalam surga tanpa dihisab dan tanpa disiksa. Sebagian
dari mereka berkata, “Mungkin mereka adalah orang-orang yang selalu bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ada pula yang
mengatakan, “Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam Islam dan
tidak pernah melakukan perbuatan syirik terhadap Allah.” Mereka mengemukakan
pendapat masing-masing. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam keluar menemui mereka, lalu beliau bertanya, “Apa yang telah
kalian perbincangkan?” Mereka pun menerangkannya kepada beliau. Lantas
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka
adalah orang-orang yang tidak meruqyah, tidak meminta untuk diruqyah, tidak
melakukan thiyaroh (beranggapan sial) dan hanya kepada Allah mereka bertawakal.”
‘Ukkasyah
bin Mihshan berdiri lalu berkata, “Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk
bagian dari mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Engkau termasuk bagian dari mereka.” Kemudian ada lagi yang berdiri dan
berkata, “Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk bagian dari mereka.”
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ukkasyah
telah mendahuluimu.” (HR. Bukhari no. 5752 dan Muslim
no. 220)
Dalam
riwayat Bukhari disebutkan,
هُمْ الَّذِينَ لَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka
itu tidak melakukan thiyaroh (beranggapan sial), tidak meminta untuk diruqyah,
dan tidak menggunakan kay (pengobatan dengan besi panas), dan hanya kepada Rabb
merekalah, mereka bertawakkal.” (HR. Bukhari no. 5752)
Faedah
dari hadits di atas:
1- Hushain
bin ‘Abdurrahman khawatir jika orang-orang menyangka ia melakukan shalat malam
ketika melihat bintang. Ia tidak mau dinilai melakukan ibadah saat itu padahal
ia tidak melakukannya. Inilah yang menunjukkan keutamaan salafush sholeh dan
menunjukkan bagaimana keikhlasan pada diri mereka. Mereka berusaha menjauhkan
diri dari riya’. Mereka tidak mau mengatakan bahwa ia telah melakukan seperti
ini dan seperti itu supaya orang-orang sangka ia adalah wali Allah. Ada yang
memakai biji tasbih di leher atau sengaja membawa tasbih di tangannya ketika
berjalan, supaya orang-orang sangka ia sedang berdzikir. Dan memang memamerkan
biji tasbih di leher ketika jalan lebih cenderung pada riya’ (ingin memamerkan
amalan).
2- Hushain
ketika tersengat kalajengking mengambil pilihan untuk meminta diruqyah karena
ia punya pegangan dalil dari Asy Sya’bi (‘Amir bin Syarohil Al Hamdani Asy
Sya’bi) dari Buraidah bin Al Hushaib. Dalilnya mengatakan bahwa tidak ada
ruqyah yang lebih manjur kecuali pada penyakit ‘ain (mata
dengki) atau pada humah (sengatan kalajengking). Ini
menunjukkan bahwa boleh meminta diruqyah dalam hal seperti ini, namun ada jalan
yang lebih baik sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair.
3- Ketika
Sa’id bin Jubair meminta dalil pada Hushain kenapa ia meminta diruqyah, ini
menunjukkan bahwa para ulama salaf dahulu sudah biasa saling menanyakan dalil
atas pendapat yang mereka anut. Saling bertanya ilmiah ini adalah kebiasaan
yang baik yang patut dicontoh, “Apa dalil Anda dalam masalah ini?”
4- Al
Khottobi mengatakan bahwa maksud hadits “Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan
oleh penyakit ‘ain dan racun (sengatan binatang berbisa)” yaitu tidak ada
ruqyah yang lebih mujarab kecuali pada ‘ain dan humah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah meruqyah dan
diruqyah. (Lihat Ma’alimus Sunan, 4: 210 danMasyariqul Anwar,
1: 366).
Yang
dimaksud ‘ain adalah pandangan tidak suka dari orang yang
hasad. Sedangkan humah adalah sengatan kalajengking dan
semacamnya.
5- Sa’id bin
Jubair mengatakan, “Sungguh sangat baik orang melaksanakan dalil yang telah ia
dengar”. Ini menunjukkan bahwa jika seseorang telah mengamalkan ilmu yang telah
sampai padanya, maka itu sudah disebut baik karena ia telah melakukan
kewajibannya. Beda halnya dengan orang yang beramal dilandasi kebodohan atau
tidak mengamalkan ilmunya, maka ia jelas berdosa.
6- Perkataan
Sa’id bin Jubair juga menunjukkan baiknya adab salaf dalam menyampaikan ilmu
dan bagaimana menyatakan pendapatnya dengan lemah lembut. Lalu Sa’id
menunjukkan pada Hushain tentang manakah cara yang lebih baik ditempuh, padahal
apa yang dilakukan oleh Hushain masih boleh.
7- Siapa
yang telah mengamalkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya sudah disebut baik, bukan
hanya sekedar berdiam pada perkataan ulama madzhab.
8- Hadits
yang disampaikan pertama yaitu tidak ada ruqyah yang lebih mujarab kecuali pada
‘ain dan humah dan hadits kedua dari Ibnu ‘Abbas tentang orang-orang yang
meninggalkan meminta ruqyah tidaklah kontradiksi atau bertentangan.
9- Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditampakkan umat yang disebutkan dalam hadits
adalah saat peristiwa Isra’ Mi’raj.
10- Ada Nabi
yang pengikutnya banyak, ada nabi yang pengikutnya sedikit. Ini menunjukkan
bahwa tidak selamanya jumlah pengikut yang banyak menunjukkan atas kebenaran.
Yang jadi patokan kebenaran bukanlah jumlah, namun diilihat dari pedoman
mengikuti Al Qur’an dan hadits, siapa pun dia dan di mana pun dia berada.
11-
Sekelompok orang yang disebutkan dalam hadits, yang dimaksud adalah jumlah
orang yang banyak yang dilihat dari jauh.
12-
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan umat Nabi Musa
yang begitu banyak, itu menunjukkan keutamaan Musa dan pengikutnya.
13- Lalu
dilihat lagi sekelompok umat yang besar yang itu adalah umatnya Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tengah-tengah umat
Muhammad terdapat 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa.
Mereka itulah orang-orang yang mentahqiq tauhid atau merealisasikan tauhid
dengan benar.
14- Umat
Muhammad bisa terbedakan dari umat lainnya karena dilihat dari bekas wudhu
mereka. Umat Muhammad nampak bekas wudhu mereka pada wajah, tangan dan kaki
mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits riwayat Muslim,
إِنَّ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ
“Sesungguhnya
umatku datang pada hari kiamat dalam keadaan wajah, tangan dan kakinya
bercahaya karena bekas wudhu” (HR. Muslim no. 246).
15- Ada
70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Dalam riwayat lain
disebutkan bahwa setiap 1000 dari 70.000 tadi ada 70.000 lagi. Dari Abu Umamah,
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
وَعَدَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِى سَبْعِينَ أَلْفاً بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعُونَ أَلْفاً
“Rabbku
‘azza wa jalla telah menjajikan padaku bahwa 70.000 orang dari umatku akan
dimasukkan surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Setiap 1000 dari jumlah tersebut
terdapat 70.000 orang lagi.” (HR. Ahmad 5: 268. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini shahih dan sanad hadits ini hasan).
Berarti berdasarkan hadits ini ada 4.900.000 orang yang dimaksud.
16- Setelah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan ada 70.000
orang dari umatnya yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa, lalu beliau
masuk rumah. Para sahabat pun berbincang-bincang siapakah orang-orang yang
dimaksud tersebut. Ini menunjukkan bahwa boleh berdiskusi ilmiah dalam masalah
ilmu untuk mengambil faedah dan mendapatkan kebenaran.
17- Apa yang
mereka diskusikan menunjukkan bagaimana dalamnya ilmu para sahabat. Mereka
mengetahui bahwa untuk menggapai keutamaan tersebut harus dengan beramal. Itu
pun menunjukkan semangat mereka dalam kebaikan.
18- Sifat
pertama dari 70.000 orang tersebut adalah tidak meminta diruqyah. Dalam riwayat
Muslim disebutkan “laa yarqun”, artinya tidak meruqyah. Tambahan tidak meruqyah
di sini keliru karena orang yang meruqyah adalah orang yang berbuat baik.
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang
ruqyah, beliau bersabda,
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Siapa
yang mampu di antara kalian untuk memberi kemanfaatan pada saudaranya, maka
lakukanlah“(HR. Muslim no. 2199).
‘Auf bin
Malik berkata,
كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِى ذَلِكَ فَقَالَ « اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا »
“Kami dahulu
pernah meruqyah di masa jahiliyah, kami berkata, “Wahai Rasulullah bagaimana
pendapatmu tentang ruqyah yang kami lakukan?” Beliau bersabda, “Tunjukkan
ruqyah kalian. Yang namanya ruqyah tidaklah mengapa selama tidak ada kesyirikan
di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 3886, shahih kata Syaikh
Al Albani).
Alasan
lainnya, meruqyah orang lain tidaklah masalah karena Jibril pernah meruqyah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah meruqyah para sahabatnya.
19-
Perbedaannya jelas antara orang yang meruqyah dan orang yang meminta diruqyah.
Orang yang meminta diruqyah cenderung hatinya bergantung pada selain Allah.
Adapun orang yang meruqyah orang lain adalah orang yang berbuat baik.
20- Sifat
70.000 orang tersebut yang lainnya adalah tidak meminta diruqyah. Namun
pengobatan kay yaitu penyembuhan luka dengan besi panas asalnya boleh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus dokter pada
Ubay bin Ka’ab untuk mengobati lukanya dengan cara kay.
Hadits-hadits
yang membicarakan tentang pengobatan kay ada empat macam: (1) Nabi shallallahumelakukannya,
(2) beliau tidak suka dengan pengobatan kay, (3) beliau memuji orang yang tidak
dikay, (4) beliau melarang pengobatan kay. Yang beliau lakukan menunjukkan
bahwa kay itu boleh. Beliau tidak pada kay bukan berarti pengobatan kay itu
terlarang. Hadits yang menunjukkan beliau memuji orang yang meninggalkan kay
berarti meninggalkan kay lebih utama. Adapun hadits yang menyatakan beliau
melarangnya menunjukkan bahwa kay itu makruh. Jadi dalil-dalil yang ada tidak
saling bertentangan. Demikian kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad.
21- Sifat
70.000 orang tersebut selanjutnya adalah mereka tidak bertathoyyur. Tathoyyur
adalah beranggapan sial dengan burung atau lainnya. Kalau di tengah-tengah kita
misalnya menganggap sial dengan bulan Suro.
22- Ibnul
Qayyim mengatakan bahwa sifat utama dari 70.000 orang tersebut terkumpul pada
sifat tawakkal. Karena tawakkal mereka yang sempurna, mereka tidak meminta
diruqyah, tidak meminta dikay, dan tidak beranggapan sial. Lihat Miftah
Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
23- Hadits
yang dibicarakan saat ini tidaklah menunjukkan untuk meninggalkan usaha atau
sebab. Dan tawakkal itu adalah cara yang utama untuk meraih sebab. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa
yang bertawakkal pada Allah, Dialah yang mencukupinya.“(QS. Ath Thalaq: 3).
Jadi mereka punya enggan melakukan yang dimakruhkan yaitu meminta diruqyah dan
meminta dikay, mereka lebih memilih tawakkal daripada mengambil sebab yang
makruh tersebut.
24- Adapun
mengambil sebab dan berobat dengan cara yang tidak makruh, maka seperti itu
boleh dan tidak mencacati tawakkal. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Allah
tidaklah menurunkan penyakit melainkan menurunkan pula penawar (obatnya)”
(HR. Bukhari no. 5678).
25-
‘Ukkasyah bin Mihshan adalah di antara 70.000 orang tersebut. Ia adalah di
antara penunggang kuda terbaik di kalangan Arab dahulu. Beliau mati syahid
tahun 12 H ketika berperang bersama Kholid bin Walid memerangi orang-orang yang
murtad.
26- Hadits
ini menunjukkan boleh meminta do’a pada orang yang punya keutamaan yang lebih
seperti yang dilakukan oleh Ukkasyah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
27- Lantas
orang berikutnya setelah ‘Ukkasyah ingin meminta lagi pada Nabi agar berdo’a
pada Allah supaya ia juga termasuk dalam 70.000 golongan tersebut. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau sudah kedahuluan oleh ‘Ukkasyah”.
Ini adalah cara Nabi supaya yang lainnya tidak meminta seperti itu lagi. Ini
menunjukkan kelemah lembutan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
akhlak beliau yang baik.
28- Orang
yang meminta kedua kalinya bukanlah munafik dengan dua alasan: (a) para sahabat
Nabi asalnya bukanlah orang munafik, (2) orang yang meminta seperti itu pada
Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berarti yakin akan benarnya Rasul
dan itu tidak muncul dari orang munafik.
29- Boleh
menolak sesuatu dengan cara yang terlihat seperti berbohong, namun maksudnya
tidak demikian.
Faedah-faedah
di atas diambil dari kitab Taisir Al ‘Azizil Hamid karya
Syaikh Sulaiman At Tamimi, yang merupakan kitab penjelasan pertama, paling
lengkap dan memuaskan dari kitab tauhid Syaikh Muhammad At Tamimi.
֎֎֎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tinggalkan pesan, kritik dan sarannya.. Makasih ^_^